metode millard

Metode Millard pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli bedah yang bernama Millard (1960) Kelebihan utama dan metode ini ialah penempatan parut yang tinggi di bawah dasar hidung dan sepanjang garis filtrum sehingga memperkecil jarak penglihatan bekas jahitan (parut). Hal inilah yang menyebabkan metode ini banyak dipakai oleh para ahli bedah mulut dalam memperbaiki kelainan celah bibir.

TENNIK PENUTUPAN CEIAH BIBIR DENGAN METODE MILLARD
Tujuan utama penutupan celah bibir. baik celah bibir unilateral maupun celah bibir bilateral adalah mengembalikan anatomi normal. Arah penutupan celah bibir ini ada 2, yaitu mengembalikan estetika bibir sceara normal dan mengembalikan fungsi dan orbicularis oris
Terdapat bermacam-macam teknik penutupan celah bibir yang dapat dipakai, salah satunya dikenal dengari rotation-advancement repair. Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli bedah yang bernama Millard (1960). Adapun yang menjadi kelebihan dari teknik rotation-advancement repair ini adalah penempatan jahitan sepanjang garis filtrum dan dasar hidung sehingga terlihat Lebih natural
Pada teknik ini dilakukan pemindahan sebagiao daii Jan ngan lateral ke dacrah di bawah columella. schingga equids bow dapat sebanyak- banyaknya dipertahankan Teknik ini terutama digunakan pada celah bibir inkomplit yang lebar dan bibir yang tebal dengan batas mucocutaneous junction yang jelas.’
4,1 Teknik Perawatan
Teknik perawatan celah bibir dengan metode Millard sebagat beñkut :
1. Menentukari titik tengah dan equids bow, kemudian titik puncak cupid’s bow dan sisi yang lunak
2. Sebelum melakukan insisi maka dilakukan dulu pembuatan pola gainbar untuk rotasi dari sisi medial dan pola advancerneni dan sisi lateral dengan gentian violet
3. Dacrah yang akan diincisi pada bibir kita anesiesi secara infiltrasi dengan memakai bahan anestesi Lokal ditambah dengan vaso konstriksi..
4. insisi sesual dengan pola rotasi pada vermilion, sehingga equids bow akan terotasi kebawah, Insisi dibuat sedikit tegak lurus desigan mucocutaneous junction untuk menjaga kesembangan bibir. Jika ketika peinbuatan pola rotasi, garis berlanjut lurus ke tubercle vermilion tegak lurus dengan insisi pada 90 derajat ke mucocutaneous junction maka jaringan ikat yang pentrng akan hilang.
5. Incisi lagi sesual dengan pola advancement pada sisi lateral
6. incisi AB tcrletak pada, philtrume colummnela sedangkan Z plasti dan bagian atas tersembunyi pada lipatan dasar hidung
7. Melakukan Penjahitan
Jahitan pada kulit tidak boleh terlalu ketat tetapi diharapkan tepi kulit tidak dapat bergerak untuk menghindarkan parut bekas tusukan jarum setelah penyembuhan. Jahit lapis demi lapis, mukosa dengan mukoa, otot dengan otot. kulit dengan kuIit. Untuk otot dengan benang absorbel. mukosa dan kulit dengan henang non absorbel 3.0, 4.0, 5.0..
8. Setelah selesai, kemudian luka ditutup dengan kasa yang lunak (selalu dibasahi dcngan larutan ringer/air garam fisiologis) dan kasa diganti setiap hari
Dresing dengan kasa basah ini bertujuan untuk menjaga jahitan tctap bersih dan mencegah terjadinya keropeng dan juga kekeringan dari sekresi hidung. juga depat dipakai dengan tule saja. Akhirnya dilapisi dengan plaster sambil membebaskan ketegangan pipi.
Tangan bayi harus diikat agar tidak bergerak dan tidak menarik serta menghapus luka. Jahitan pada kulit dan mukosa dibuka pada hari ke-5 untuk menghindarkan bekas jahitan. Kalau terlalu lama. maka bekas jahitan akan kelihatan dan kemungkinan terbentuknya parut lebih besar.

Keuntunan dari tekrnk ini adalah :
1. Jaringan parut yang terselubung
2 dasar lubang hidung yang terangkat
3. Mengembalikan dasar colummela dalam kedudukan yang benar, terutama di daerah celah
Dapus:
Hoffman, S., Wesser, D.R., Calostypis, f., Simon, B.e., The rotation-advancement technique (millard) as a secondary procedure in cleft lip deformities. http://digital.library.pitt.edu/c/cleftpalate/pdf/e20986v05n1.06.pdf

hipersensitivitas dentin

I. PENDAHULUAN
I.1. KARIES
Karies gigi adalah sebuah penyakit infeksi yang merusak struktur gigi. Penyakit ini menyebabkan gigi berlubang. Jika tidak ditangani, penyakit ini dapat menyebabkan nyeri, penanggalan gigi, infeksi, berbagai kasus berbahaya, dan bahkan kematian. Penyebab utama karies adalah adanya proses demineralisasi pada email. Sisa makanan yang bergula (termasuk karbohidrat) atau susu yang menempel pada permukaan email akan bertumpuk menjadi plak dan menjadi media pertumbuhan yang baik bagi bakteri. Bakteri yang menempel pada permukaan bergula tersebut akan menghasilkan asam dan melarutkan permukaan email sehingga terjadi proses demineralisasi. Demineralisasi tersebut mengakibatkan proses awal karies pada email. Bila proses ini sudah terjadi maka terjadi progresivitas yang tidak bisa berhenti sendiri, kecuali dilakukan pembuangan (penambalan) pada permukaan gigi yang terkena karies oleh dokter gigi.
Macam-macam karies:
1. Karies Email.
Karies email adalah karies yang terjadi pada permukaan enamel gigi (lapisan terluar dan terkeras pada gigi), dan belum terasa sakit, hanya ada pewarnaan hitam atau coklat pada enamel. Setelah karies terbentuk proses demineralisasi berlanjut, email mulai pecah. Sekali permukaan email rusak gigi tidak dapat memperbaiki dirinya sendiri. Rencana perawatan karies:
Remineralisasi dengan pengulasan fluor.
Konsul diet dan factor risiko yang lain.
Aplikasi penutupan fisur.
Restorasi setelah ekkavasi lesi atau preparasi minimal.
2. Karies Dentin
Karies yang sudah mencapai bagian dentin atau bagian pertengahan antara permukaan gigi dan pulpa. Gigi biasanya terasa sakit apabila terkena rangsang dingin, makanan masam, dan manis. Karies sudah mencapai kedalaman dentin, dimana karies ini dapat menyebar dan mengikis dentin. Karies yang sudah mencapai bagian dentin (tulang gigi) atau bagian pertengahan antara permukaan gigi dan pulpa, gigi biasanya terasa sakit apabila terkena rangsangan dingin, makanan masam, dan manis. Jika pembusukan telah mencapai dentin, maka bagian gigi yang membusuk harus diangkat dan diganti dengan tambalan (restorasi). Biasanya penumpatan secara langsung masih bisa dilakukan dengan memberikan bahan pelapis sebelum diberikan bahan penumpat.
Dewasa ini telah banyak dikembangkan bahan tumpatan untuk memperbaiki gigi yang rusak. Salah satu bahan tumpatan tetap yang pada saat ini banyak digunakan oleh dokter gigi adalah semen glass ionomer. Bahan tumpatan yang memenuhi persyaratan estetika adalah yang sewarna atau hampir mendekati warna gigi, baik gigi anterior maupun posterior tanpa mengesampingkan faktor kekuatan, keawetan, dan biokompabilitas dari bahan tersebut (Nurdin, 2001).
Rencana perawatan karies email:
a) Pembuatan ragangan restorasi yang diinginkan.
b) Pertimbangan resistensi dan retensi.
c) Pembuangan karies dentin dan penempatan restorasi.
d) Penyingkiran karies dentin.
e) Menghaluskan bagian dalam kavitas.
f) Menghaluskan tepi preparasi.
3. Karies Pulpa
Karies pulpa adalah yang telah mendekati atau telah mencapai pulpa sehingga terjadi peradangan pada pulpa. Biasanya terasa sakit waktu makan dan sakit secara tiba-tiba tanpa rangsangan. Pada tahap ini, apabila tidak dirawat, maka gigi akan mati dan memerlukan perawatan yang lebih kompleks. Jika karies dibiarkan dan tidak dirawat maka akan mencapai pulpa gigi. Disinilah dimana syaraf gigi dan pembuluh darah dapat ditemukan. Pulpa akan terinfeksi. Abses atau fistula (jalan dari nanah) dapat terbentuk dalam jaringan ikat yang halus. Rencana perawatan dengan restorasi dengan preparasi minimal dan perawatan endodontik.
I.2. PULPITIS
Pulpitis atau inflamasi pulpa dapat akut atau kronis, sebagian atau seluruhnya, dan pulpa dapat terinfeksi atau steril. Keradangan pulpa dapat terjadi karena adanya jejas yang dapat menimbulkan iritasi pada jaringan pulpa. Jejas tersebut dapat berupa kuman beserta produknya yaitu toksin, dan dapat juga karena faktor fisik dan kimia (tanpa adanya kuman). Namun kebanyakan inflamasi pulpa disebabkan oleh kuman dan merupakan kelanjutan proses karies, dimana karies ini proses kerusakannya terhadap gigi dapat bersifat lokal dan agresif. Apabila lapisan luar gigi atau enamel tertutup oleh sisa makanan, dalam waktu yang lama maka hal ini merupakan media kuman sehingga terjadi kerusakan di daerah enamel yang nantinya akan terus berjalan mengenai dentin hingga ke pulpa.
Ada tiga bentuk pertahanan dalam menanggulangi proses karies yaitu:
1. Penurunan permebilitas dentin.
2. Pembentukan dentin reparatif.
3. Reaksi inflamasi secara respons immunologik.
Apabila pertahanan tersebut tidak dapat mengatasi, maka terjadilah radang pulpa yang disebut pulpitis. Radang adalah merupakan reaksi pertahanan tubuh dari pembuluh darah, syaraf dan cairan sel di jaringan yang mengalami trauma (anonim, 2009). Pulpitis secara klinis terdiri dari 2 macam kondisi berdasarkan tingkat pemulihan jaringan pulpa, yaitu reversibel dan ireversibel. Pulpitis reversibel merupakan pulpitis yang jaringan pulpanya masih dapat dipertahankan sedangkan pulpitis irreversible merupakan pulpitis yang sudah tidak dapat pulih kembali.
a) Pulpitis Reversibel
Pasien dapat menunjukan gigi yang sakit dengan tepat. Diagnosis dapat ditegaskan oleh pemeriksaan visual, taktil, termal, dan pemeriksaan radiograf. Pulpitis reversibel akut berhasil dirawat dengan prosedur paliatif yaitu aplikasi semen seng oksida eugenol sebagai tambalan sementara, rasa sakit akan hilat dalam beberapa hari. Bila sakit tetap bertahan atau menjadi lebih buruk, maka lebih baik pulpa diekstirpasi. Bila restorasi yang dibuat belum lama mempunyai titik kontak prematur, memperbaiki kontur yang tinggi ini biasanya akan meringankan rasa sakit dan memungkinkan pulpa sembuh kembali. Bila keadaan nyeri setelah preparasi kavitas atau pembersihan kavitas secara kimiawi atau ada kebocoran restorasi, maka restorasi harus dibongkar dan aplikasi semen seng oksida eugenol. Perawatan terbaik adalah pencegahan yaitu meletakkan bahan protektif pulpa dibawah restorasi, hindari kebocoran mikro, kurangi trauma oklusal bila ada, buat kontur yang baik pada restorasi dan hindari melakukan injuri pada pulpa dengan panas yang berlebihan sewaktu mempreparasi atau memoles restorasi amalgam.
b) Pulpitis Irreversibel
Definisi irreversibel adalah suatu kondisi inflamasi pulpa yang persisten, dapat simtomatik atau asimtomatik yang disebabkan oleh suatu stimulus/jejas, dimana pertahanan pulpa tidak dapat menanggulangi inflamasi yang terjadi dan pulpa tidak dapat kembali ke kondisi semula atau normal. Pulpitis irreversibel akut menunjukkan rasa sakit yang biasanya disebabkan oleh stimulus panas atau dingin, atau rasa sakit yang timbul secara spontan. Rasa sakit bertahan untuk beberapa menit sampai berjam-jam, dan tetap ada setelah stimulus/jejas termal dihilangkan. Pulpitis irreversibel kebanyakan disebabkan oleh kuman yang berasal dari karies, jadi sudah ada keterlibatan bakterial pulpa melalui karies, meskipun bisa juga disebabkan oleh faktor fisis, kimia, termal, dan mekanis. Pulpitis irreversibel bisa juga terjadi dimana merupakan kelanjutan dari pulpitis reversibel yang tidak dilakukan perawatan dengan baik.
Pada awal pemeriksaan klinik pulpitis irreversibel ditandai dengan suatu paroksisme (serangan hebat), rasa sakit dapat disebabkan oleh hal berikut: perubahan temperatur yang tiba-tiba, terutama dingin; bahan makanan manis ke dalam kavitas atau pengisapan yang dilakukan oleh lidah atau pipi; dan sikap berbaring yang menyebabkan bendungan pada pembuluh darah pulpa. Rasa sakit biasanya berlanjut jika penyebab telah dihilangkan, dan dapat datang dan pergi secara spontan, tanpa penyebab yang jelas. Rasa sakit seringkali dilukiskan oleh pasien sebagai menusuk, tajam atau menyentak-nyentak, dan umumnya adalah parah. Rasa sakit bisa sebentar-sebentar atau terus-menerus tergantung pada tingkat keterlibatan pulpa dan tergantung pada hubungannya dengan ada tidaknya suatu stimulus eksternal. Terkadang pasien juga merasakan rasa sakit yang menyebar ke gigi di dekatnya, ke pelipis atau ke telinga bila bawah belakang yang terkena.
Secara mikroskopis pulpa tidak perlu terbuka, tetapi pada umunya terdapat pembukaan sedikit, atau kalau tidak pulpa ditutup oleh suatu lapisan karies lunak seperti kulit. Bila tidak ada jalan keluar, baik karena masuknya makanan ke dalam pembukaan kecil pada dentin, rasa sakit dapat sangat hebat, dan biasanya tidak tertahankan walaupun dengan segala analgesik. Setelah pembukaan atau drainase pulpa, rasa sakit dapat menjadi ringan atau hilang sama sekali. Rasa sakit dapat kembali bila makanan masuk ke dalam kavitas atau masuk di bawah tumpatan yang bocor.
Pulpitis irreversible merupakan suatu infeksi jaringan pulpa yang merupakan proses lanjut dari karies yang bersifat kronis, oleh karena itu pada pemeriksaan histopatologi tampak adanya respon inflamasi kronis yang dominan. Selain itu terdapat daerah mikro abses dan daerah nekrotik serta mikroorganisme bersama-sama dengan limfosit, sel plasma, dan makrofage. pulpitis irefersibel umumnya disebabkan oleh mikroorganisme dan sistem pertahanan jaringan pulpa sudah tidak mampu mengatasinya, serta tidak dapat sembuh kembali. Rasa nyeri pulpitis irreversible dapat berupa nyeri spontan, nyeri berdenyut, menjalar, dan menyebabkan penerita tidak dapat tidur sehingga membuat kondisi menjadi lemah dan akan mengganggu aktifitas penderita. Cara praktis untuk mendiagnosa pulpitis irreversibel adalah:
Anamnesa: ditemukan rasa nyeri spontan yang berkepanjangan serta menyebar.
Gejala Subyektif: nyeri tajam (panas, dingin), spontan (tanpa ada rangsangan sakit), nyeri lama sampai berjam-jam.
Gejala Obyektif: karies profunda, kadang-kadang profunda perforasi, perkusi dan tekan kadang-kadang ada keluhan.
Tes vitalitas: peka pada uji vitalitas dengan dingin, sehingga keadaan gigi dinyatakan vital.
Macam Pulpitis irreversible berdasarkan lokasi nyeri terdiri dar 2 macam, yaitu pulpitis irreversibel terlokalisasi dan pulpitis irreversible tidak terlokalisi. Pulpitis irreversibli terlokalisasi lebih mudah dan cepat didiagnosis. Tanda dan gejala dari pulpitis irreversible terlokalisasi antara lain:
1. Nyeri yang terus menerus hingga beberapa sampai berjam-jam.
2. Nyeri berdenyut atau nyeri yang hebat hingga menganggu aktifitas pasien.
3. Nyeri spontan berlangsung sepanjang hari atau ketika malam.
4. Nyeri ketika makan makanan yang dingin maupun panas.
Perawatan Pulpitis Irreversible
Dalam melakukan perawatan pulpitis irreversible terlokalisasi agar perawataan yang dilakukan dapat akurat, ada dua faktor yang dapat mempengarui proses perawatan, antara lain:
1. Lokasi gigi yang pulpitis irreversible (anterior atau posterior).
2. Sensasi gigi saat dilakukan perkusi (sensitif atau nyeri).
Terapi: pulpektomi
Pulpektomi adalah pembuangan seluruh jaringan nekrotik pada ruang pulpa dan saluran akar diikuti pengisian saluran akar dengan bahan semen yang dapat diresorbsi. Perawatan terdiri dari pengambilan seluruh pulpa, atau pulpektomi, dan penumpatan suatu medikamen intrakanal sebagai desinfektan atau obtuden (meringankan rasa sakit) misalnya kresatin, eugenol, atau formokresol. Pada gigi posterior, dimana waktu merupakan suatu faktor, maka pengambilan pulpa koronal atau pulpektomi dan penempatan formokresol atau dressing yang serupa di atas pulpa radikuler harus dilakukan sebagai suatu prosedur darurat. Pengambilan secara bedah harus dipertimbangkan bila gigi tidak dapat direstorasi. Prognosa gigi adalah baik apabila pulpa diambil kemudian dilakukan terapi endodontik dan restorasi yang tepat.
I.3. PEMERIKSAAN
Pemeriksaan klinis merupakan tahapan yang penting dalam prosedur perawatan gigi. Dengan dilakukannya pemeriksaan klinis, dapat diketahui bentuk-bentuk yang tidak normal maupun kerusakan yang terjadi pada jaringan keras gigi, jaringan lunak, serta jaringan pendukung pada mulut seperti muskulus ataupun TMJ. Pemeriksaan klinis dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu:
1. Pemeriksaan ekstra oral.
Pemeriksaan ini meliputi pemeriksaan TMJ, sinus ekstraoral, pembengkakan pada wajah, kelenjar limfe, dan tampilan umum wajah pasien (Heasman, 2003).
2. Pemeriksaan intra oral.
Pemeriksaan ini dibagi lagi menjadi 2 tahapan, yaitu pemeriksaan jaringan keras dan jaringan lunak.
Pemeriksaan jaringan keras gigi
Gigi yang akan dilakukan perawatan harus diperiksa apakah terdapat karies, restorasi, diskolorisasi, pemeriksaan mahkota, fraktur, atrisi, abrasi, dan erosi (Heasman, 2003). Pemeriksaan pada jaringan keras pada umumnya dilakukan dengan bantuan sonde atau explorer, oleh karena itu biasa disebut dengan sondasi. Dengan bantuan sonde, kita dapat mengetahui adanya margin atau celah tepi pada restorasi, kedalaman karies, serta kedalaman pit dan fissure gigi (Stefanac, 2001).
Pemeriksaan jaringan lunak gigi (jaringan periodontal)
Mukosa oral dan gingiva diperiksa, apakah terdapat diskolorisasi, inflamasi, ataupun pembentukan sinus (Heasman, 2003). Selain dua pemeriksaan di atas, terdapat pemeriksaan-pemeriksaan tambahan yang akan membantu dalam menentukan diagnosis dan tindakan.
II. PEMBAHASAN
II.3. DIAGNOSIS DAN TREATMENT
ELEMEN GIGI DIAGNOSIS TREATMENT ALAT DAN BAHAN

6

Karies klas 6(MOD) pulpitis reversibel • Bongkar tumpatan
• Pembersihan kavitas (sterilisasi kavitas)

• Kaping pulpa
• Pembuatan tumpatan • Round diamond bur
• Round steel bur dan disterilisasi dengan klorhexidin dikloronat 2%
• Dengan hidroksida
• Resin komposit

5

Karies klas 2 (proksimal) • Pembersihan kavitas (sterilisasi kavitas)

• Pembuatan tumpatan • Round steel bur dan disterilisasi dengan klorhexidin dikloronat 2%
• Resin komposit

7

Karies klas 2 (proksimal) • Pembersihan kavitas (sterilisasi kavitas)

• Pembuatan tumpatan • Round steel bur dan disterilisasi dengan klorhexidin dikloronat 2%
• Resin komposit
A. Pemeriksaan subjektif :
1. Keluhan gigi belakang kiri atas ngilu bila minum / kumur air dingin.
2. Pernah ditambal, sering terselip makanan, lubang di sela-sela gigi.
3. Belum pernah sakit spontan.
4. Ingin ditambal sewarna gigi, tetapi tidak seperti tambalan sebelumnya.
B. Pemeriksaan objektif :
1. Gigi molar satu atas kiri terdapat kavitas di daerah mesial dan sebagian tumpatan yang telah hilang, dengan kedalaman dentin. Rangsangan taktil yang digoreskan pada dentin dengan alat sonde.
Sondasi (+) Palpasi (-)
Perkusi (-) CE (+)
2. Gigi premolar kiri atas terdapat kavitas pada sisi distal dengan kedalaman dentin.
3. Gigi molar 2 atas kiri terdapat kavitas di proksimla dengan kedalaman dentin.
Untuk kedua gigi tersebut sondasi, perkusi, palpasi (-), CE (+)
C. Inventarisasi Masalah :
– Kavitas di daerah gigi molar 1 kiri atas (gigi posterior) merupakan kavitas kelas II
– Tumpatan sebelumnya SIK
– Belum pernah sakit spontan menandakan tidak adanya lesi yang dalam, contoh pulpitis ireversibel
– Pernah ditambal dan terselip makanan sehingga ada lubang
• Tumpatan kelas II yang overhanging
• Tumpatan kelas II yang tidak bagus sehingga terjadi microleakage pada tumpatan
– Gigi molar 1, kedalaman dentin
Sondasi (+) : karies dentin
Perkusi (-) : tidak ada kelainan jaringan periodontal
Palpasi (-) : tidak ada peradangan periosteum
CE (+) : gigi vital

– Gigi premolar 2 dan molar 2
Sondasi (-) : karies enamel
Perkusi (-) : tidak ada kelainan jaringan periodontal
Palpasi (-) : tidak ada peradangan periosteum
CE (+) : gigi vital
A. Pemeriksaan Subyektif
Pemeriksaan subyektif diketahui bahwa gigi mengalami rasa “ngilu” saat terkena rangsang dingin dan belum pernah mengalami sakit spontan. Berdasarkan teori hidrodinamika dikemukakan bahwa rangsangan yang menyebabkan rasa sakit diteruskan ke pulpa dalam suatu mekanisme hidrodinamik yaitu pergerakan cairan secara cepat pada tubulus dentin. Gerakan cairan ini akan mengubah bentuk odontoblas atau prosesusnya sehingga menimbulkan rasa sakit (Markowit, 1990 sit. Prijantojo, 1996). Berkurangnya pergerakan cairan dalam tubulus dentin akan mengurangi rasa sakit yang akibat adanya rangsangan. (Berman, 1984 sit. Prijantojo, 1996). Pergerakan cairan di dalam tubulus mengaktifkan ujung-ujung saraf dan pergerakan cairan ini diawali secara mekanis oleh bebrapa hal diantaranya perubahan temperatur, dehidrasi dentin, atau pemakaian bahan-bahan kimiawi. Sensasi dingin menyebabkan cairan pada tubuli dentin bergerak lebih cepat daripada di dentin, menghasilkan pergerakan cairan ke arah luar. Suhu di luar dentin lebih rendah daripada di dalam dentin, sehingga menyebabkan tekanan di luar dentin lebih rendah di dalam dentin, sehingga cairan bergerak ke arah luar dentin. Gerakan cepat cairan yang melewati membran sel reseptor sensoris merusak membrane serta mengaktifkan reseptor. Semua sel saraf memiliki saluran membran yang bisa dilewati ion, dan aliran ini, jika cukup besar, dapat menstimulasi sel dan menyebabkan sel saraf mengirimkan impuls ke otak. Pada kasus seperti ini, serabut saraf pulpa diaktivasi oleh gaya hidrodinamik, tekanan akan ditransduksi dengan terbukanya saluran ion yang kemudian aliran ion sodium meningkat, sehingga menginisiasi generator potensial. (Cohen & Hargreaves, 2006) Kualitas ketajaman nyeri merupakan aktivitas dari serabut nosiseptor A-delta. (Hargreaves & Goodis, 2002)
Teori lain yang menyebutkan bahwa sensasi tersebut dipindahkan secara langsung melalui perluasan odontoblast. Daerah yang paling sensitif pada dentin adalah di pertautan dentin-email, menunjukkan bahwa jumlah reseptor sensoris yang terbanyak terjadi sebagai akibat dibatasi oleh email. ( Baum et al., 1994 )
Definisi dari vitalitas pulpa adalah kemampuan pulpa untuk menjaga suplai darah yang ada di dalam pulpa tersebut. Tetapi sangat disayangkan bahwa tes integritas dari suplai darah dalam pulpa yang sehat belum dapat dijelaskan secara pasti. Ini memungkinkan untuk menguji apakah ada suplai saraf yang cukup dengan stimulus termal dan elektrik. Jika terdapat respon yang positif terhadap stimulus, dapat diasumsikan bahwa suplai saraf dan suplai darah tercukupi. Pada keadaan sebaliknya, terjadi sejumlah kondisi dimana suplai saraf terdegenerasi tanpa kehilangan suplai darah. ( Kidd & Smith, 1990 )
Pulpa yang sehat, dengan proteksi normalnya dalam email, memiliki kemampuan untuk merubah temperature selama aplikasi substansi makanan dan minuman dalam mulut. Temperatur bervariasi antara 74o-32oF untuk dingin dan 118o-152oF untuk suhu panas. Aplikasi temperature di luar rentang ini akan menimbulkan kontraksi nyeri yang cepat dan tajam tiba-tiba hilang. Reaksi ini disebabkan karena transmisi dari sensasi ini melalui enamel ke fibril dentin dan ke sel odontoblas ke pusat akhiran saraf pulpa lalu ke reseptor pusat di otak. ( McGehee et al., 1956 )
B. Pemeriksaan Obyektif
Terdapat beberapa hal yang bisa dijelaskan melalui pemeriksaan obyektif yang dilakukan yaitu:
Aplikasi dingin dapat dilakukan dengan cara yang berbeda, salah satunya dengan menyemprotkan etil klorida atau meletakkan kapas yang dibasahi dengan etil klorida pada gigi yang dites. (Grossman et al., 1995) Pada skenario, tes CE menunjukkan hasil positif yang berarti pulpa masih vital.
Sondasi dengan sonde dapat menunjukkan karies yang luas atau sekunder , terbukanya pulpa, fraktur mahkota dan restorasi yang rusak. Pada beberapa keadaan (yakni karies besar di korona), sonde dapat memberikan bantuan yang memadai dalam menegakkan diagnosis. ( Walton & Torabinejad, 1998 ) Pada skenario, terdapat lesi karies yang dapat ditunjukkan dengan hasil positif dari tes sondasi.
Tes perkusi dilakukan dengan mengetukkan secara lembut mahkota dengan instrumen ringan, contohnya ujung kaca mulut.Mahkota terlebih dahulu diketuk pada arah lurus lalu miring pada bagian pemukaan bukal atau lingual. Hasil tes ini tidak berhubungan secara langsung dengan kondisi pulpa. Tes ini untuk mendeteksi adanya inflamasi jaringan periapikal. Jika terdapat inflamasi, gigi akan bereaksi seperti piston dalam soketnya. Jaringan periapikal dapat mengalami inflamasi sebagai hasil dari nekrosis pulpa atau trauma. ( Kidd & Smith, 1990 ) Pada skenario, tes perkusi menunjukkan hasil negatif. Hal ini berarti tidak terjadi inflamasi pada jaringan periapikal.
Palpasi menentukan seberapa jauh proses inflamasi telah meluas ke arah periapeks. Respon positif pada palpasi menandakan adanya inflamasi periradikuler. Palpasi dilakukan dengan menekan mukosa di atas apeks dengan cukup kuat. (Walton & Torabinejad, 1998) Palpasi pada mahkota gigi dapat menyatakan kehilangan atau perlunakan akar, yang memerlukan investigasi lebih lanjut. Jika terjadi inflamasi akut, akan terlihat halus dan lunak. Jika menjadi keras dan mudah dirasakan, maka terjadi gangguan kronis. ( McGehee et al., 1956 ) Pada skenario, tes palpasi menunjukkan hasil negatif yang berarti tidak terjadi inflamasi periradikuler.
Electric Pulp Tester digunakan untuk mengetahui apakah serabut saraf pada pulpa masih dapat berfungsi dengan baik atau tidak (Heasman, 2003). Pulp tester diletakkan dengan posisi alat dapat melewati dentin dan pulpa tanpa ada hambatan.Respon positif menandakan bahwa serabut saraf masih dapat memberikan respon yang baik terhadap impuls elektrik (Frank, 1983).
Hasil radiograf dapat memberikan gambaran tentang kondisi gigi secara menyeluruh, seperti kedalaman kavitas, fraktur akar, atau karies yang tidak dapat kita lihat secara langsung. Namun, hasil radiograf belum dapat menunjukkan gejala atau penampakan awal akan terjadinya pulpitis pada gigi (Heasman, 2003).
Test Cavity merupakan metode lain yang berfungsi untuk mengetahui sensitifitas pulpa. Tekniknya adalah dengan membuat sebuah lubang kecil pada gigi pasien yang tidak diberi anestesi. Apabila pulpa masih vital, maka pasien akan merasa nyeri saat mata bur mengenai lapisan DEJ (dentino enamel junction). Pulpa yang nekrosis atau inflamasi tidak akan memberi respon yang sesuai (Frank, 1983).
C. Diagnosis
Berdasarkan hasil pemeriksaan subyektif dan obyektif diperoleh hasil diagnosis bahwa terjadi karies sekunder yang terjadi di daerah mesial gigi molar 1 kiri atas. Lesi karies yang terjadi di daerah proksimal gigi premolar atau molar termasuk dalam klasifikasi Black kelas II. ( Barclay, 2003 ). Restorasi resin komposit untuk gigi posterior telah menjadi prosedur yang diterima dalam praktek kedokteran gigi modern. Restorasi komposit memiliki keberhasilan dan preparasi yang lebih konservatif. Namun, restorasi menggunakan komposit untuk gigi posterior kurang memuaskan, memiliki tingkat resistensi terhadap keausan yang rendah, microleakage, karies sekunder dan kontak proksimal yang tidak adekuat sering terjadi. Jika ikatan antara komposit dan gigi rendah, pengerutan memungkinkan terjadinya penetrasi bakteri dan karies berulang.
Menurut Fejerskov & Kidd (2008), karies sekunder biasanya terletak pada batas restorasi. Karies sekunder menunjukkan kerja plaque yang tidak terkontrol. Sekunder karies sering berlokasi pada batas gingiva restorasi kelas II-IV, dan jarang terjadi pada kelas I. Lesi karies harus direstorasi, dan lebih disukai dilakukan restorasi dengan teknik adhesif, karena memungkinkan untuk memelihara dan menguatkan bagian lemah dari gigi dengan restorasi bonding. Untuk dapat mencapai bonding yang bagus ke dentin, preparasi lebih jauh dari dentin bagian dalam, sebaiknya mempertimbangkan dentinoenamel junction. Meskipun tidak memerlukan pemindahan dentin yang terinfeksi, untuk menghentikan perkembangan lesi, dapat mengurangi sifat adhesif yang dapat membahayakan umur restorasi. Terutama ketika stress-bearing restoration yang lebih besar ditempatkan, adhesi optimal sangatlah penting, meskipun tidak ada bukti eksperimentalnya. Bagaimanapun, preparasi sentral dari karies dentin yang terpengaruh dan terdiskolorisasi pada pulpa harus dihindari untuk membatasi resiko kerusakan pulpa. Prosedur preparasi pada akhirnya diikuti dengan penyesuaian outline kavitas. Secara tradisional, garis tepi atau batas enamel dari preparasi komposit diselesaikan dengan bevel. Keuntungan bevel adalah dapat mengurangi microleakage dan mencegah frakturnya prisma email. ( Fejerskov & Kidd, 2008 )
D. Struktur Email dan Dentin
Sebelum melakukan restorasi perlu diketahui mikrostruktur email dan dentin untuk mendapatkan hasil restorasi yang baik. Email tersusun atas jutaan batang email / prisma email. Prisma email pada dasarnya berhubungan satu sama lain dan berjalan dari dentoenamel junction lalu keluar dalam pola radial (menjari). Pada daerah cusp enamel, prisma enamel tersusun tegak lurus terhadap dentoenamelo junction. ( Craig & Powers, 2002 ) Struktur dasar email adalah batang email yang bentuknya seperti jamur, dimulai pada pertautan dentin-email dan berakhir pada permukaan email. Bisanya email berawal pada sudut tegak lurus terhadap permukaan dentin dan mengikuti pola spiral menuju ke permukaan, berakhir pada sudut hampir tegak lurus terhadap permukaan. Menurut Baum et al. (1994), gambaran struktur email perlu dipahami sewaktu merencanakan preparasi kavitas karena ini memberikan pada operator pengetahuan dasar yang menyangkut kekuatan dan kelemahan permukaan email dan tepi-tepi email. Preparasi operatif harus dirancang sedemikian rupa sehingga mempertahankan email dan pada waktu yang sama menghasilkan stabilitas mekanis dan penyatuan biologis yang baik.
Dentin tersusun dalam bentuk tubulus yang didukung oleh anyaman serabut kolagen yang mengalami kalsifikasi. ( Baum et al., 1994 ). Menurut Craig & Powers (2002).Tubulus dentinalis merupakan saluran-saluran kecil yang memanjang ke keseluruhan lebar dentin, mulai dari dentinoenamel junction sampai ke pulpa. Baum et al. (1994) menambahkan jumlah tubulus per unit di dekat pulpa lebih banyak bila dibandingkan dengan yang terdapat pada pertautan email. Tubulus tersebut cenderung mengalami kalsifikasi, menghasilkan lumen yang lebih kecil.
E. Preparasi kelas II
Preparasi gigi kelas II dengan bahan komposit dapat dilakukan dengan desain konvensional atau desain modifikasi. Desain modifikasi digunakan untuk preparasi kecil, biasa menggunakan berlian atau bur kecil dan membentuk tepian membulat atau seperti kotak. Desain konvensional digunakan untuk restorasi komposit kelas II yang sedang hingga besar. Pada restorasi ini digunakan inverted cone diamond. Hasil preparasi dari desain seperti kotak ini, kedalaman pulpa dan axial seragam, preparasi dinding tegak lurus terhadap oklusal. Pada permukaan oklusal, instrumen (diamond / bur) digunakan secara paralel terhadap sumbu panjang mahkota gigi. Lantai pulpa dipreparasi hingga kedalaman 1,5 mm. Pada bagian proksimal operator memegang sepanjang dentinoenamelo junction (DEJ) dengan ujung instrumen memotong bagian dalam DEJ 0,2 mm. Hal ini dilakukan pada permukaan fasial, lingual, gingival. Pemotongan faciolingual mengikuti DEJ. Selama pemotongan, instrumen dipegang paralel terhadap sumbu panjang mahkota gigi. ( Roberson et all, 2006 )
Untuk kavitas kelas II dapat menggunakan komposit karena dengan bonding dapat membuat struktur gigi yang lemah menjadi kuat. Selain komposit, dapat digunakan amalgam tetapi amalgam sudah ditinggalkan karena adanya residu berbahaya yaitu merkuri, serta warna amlgam yang tidak sewarna gigi asli. ( Roberson et all, 2006 )
Setelah preparasi gigi tumpatan selesai, diperlukan penambalan retensi yang didapatkan dari groove, kunci, slot. Semua retensi harus diltakkan pada dentin. Pada beberapa kasus, bevel dapat diletakkan pada batas email. Dentin kemudian di etsa dan priming. Lalu penempatan adhesif dari komposit diisikan secara meningkat. Pertama, komposit ditempatkan pada ketinggian 1-2 mm ke dalam area gingiva pada daerah proksimal. Lalu mengkontur dan menyesuaikan oklusinya. ( Roberson et all, 2006 )
Pada restorasi kavitas kelas II diperlukan bonding dalam penumpatan menggunakan resin komposit. Pertama struktur gigi dipreparasi menggunakan bur atau instrument lain, komponen residu organic dan inorganic akan membentuk smear layer. Smear layer akan mengisi tubulus dentinalis dan membentuk smear plug, dan menurunkan permeabilitas dentin pada 86%. Untuk mendaptkan ikatan komposit dengan dentin yang kuat, dapat digunakan etsa. Untuk mengetsa digunakan asam fosforik sehingga serabut kolagen pada tubulus dentinalis terekspos, kemudian dibilas melalui tahap priming, dimana pada dentin ditambahkan larutan yang mengandung monomer hidrofilik dalam etanol, aseton, atau air. Kemudian ditempatkan komposit (unfilled/filled resin bonding agent) sehingga terbentuklah iktan dentin dan komposit yang kuat. Teknik ini disebut total etch technique. Teknik lain dapat berupa self-etch primer systems dan all-in-one-etch adhesive. ( Roberson et all,2006 )
Pada kasus ini, adanya kemungkinan terjadi microleakage. Microleakage ini dapat menjadi jalan masuk bagi bakteri dan dapat menyebabkan iritasi pulpa. Microleakage dapat disebabkan oleh restorasi adesif yang tidak terikat pada dentin dengan baik, smear layer sendiri dapat menyediakan jalan bagi microleakage melalui nanno-channels. Hal terbaik untuk mencegah adanya microleakage adalah ikatan resin terhadap preparasi dengan batas cavosurface pada email. Perlu diketahui pula, adanya gap antara resin dentin tidak semata-mata segera menyebabkan debonding restorasi. ( Roberson et all,2006 )
Kerusakan gigi yang berdekatan sering terjadi pada preparasi kelas II. Penempatan bevel dengan bur merupakan resiko tambahan untuk kerusakan permukaan gigi yang berdekatan. Untuk menghindari kerusakan gigi-gigi yang berekatan, matriks metal dapat ditempatkan untuk proteksi. Cara praktis dan dapat diprediksi untuk menghindari kerusakan gigi-gigi yang berdekatan ketika preparasi box-mode dibuat, adalah untuk menguntungkan jalan masuk ke lasi karies dari permukaan oklusal dengan bur memasuki bagian dalam marginal ridge. Lalu preparasi karies dentin dilakukan, sementara mempertahankan dinding email dapat tetap utuh dan menyediakan proteksi terhadap instrument putar. Sekali preparasi selesai, dinding kecil dan tipis email patah dengan instrument keras setelah outline diselesaikan menggunakan alat-alat preparasi sonic. Peralatan sonic memungkinkan dokter gigi untuk menjaga dari permukaan aproksimal yang berdekatan sehingga melindungi gigi-gigi yang berdekatan. ( Fejerskov & Kidd, 2008 )
Untuk menghasilkan restorasi kelas II yang baik perlu diperhatikan area kontak proksimal. Kualitas dari area kontak proksimal pada restorasi kelas II sangat dipengaruhi oleh tipe dari sistem matriks yang digunakan. Banyak teknik untuk memanipulasi material komposit untuk membentuk kontak dengan gigi yang lebih kuat. Salah satunya adalah teknik “for achieving broad”, kontak proksimal yang kuat dengan resin komposit di gigi posterior menggunakan komposit pre-polimerisasi di dalamnya. Pada kasus dengan karies di bagian mesial dan oklusal, preparasi gigi yang dilakukan, didesain untuk menerima bahan komposit, sehingga hanya dilakukan pada struktur gigi secukupnya dan membuang karies tanpa tambahan retentive feature. Setelah semua karies dihilangkan, a metal sectional matrix dan plastic wedge dimasukkan di bagian mesial untuk membentuk matriks proksimal kemudian bitine ring diaplikasikan. (Dunn, 2004)
F. Restorasi Sandwich
Resin komposit memiliki keterbatasan dalam merestorasi kavitas yang meluas ke dentin, karena dapat mengiritasi pulpa dan terbentuknya celah mikro . Untuk menutupi keterbatasan ini maka dipakailah semen ionomer kaca sebagai basis karena bahan tersebut memiliki biokompabilitas yang sangat baik antara struktur gigi dan semen. Berdasarkan kelebihan dan kelemahan resin komposit dan semen glass ionomer, dikembangkanlah suatu modifikasi tumpatan yang dikenal sebagai restorasi sandwich
Semen ionomer kaca memiliki kebaikan yang menguntungkan seperti daya adhesinya yang sangat baik. Resin komposit memiliki estetis yang memuaskan sehingga dikembangkan modifikasi tempatan yang menguntungkan, semen ionomer kaca sebagai basis untuk menutupi tepi kavitas dentin yang terbuka dan resin komposit sebagai tempatannya. Kemampuan membentuk pelekatan yang kuat dan lama pada dentin merupakan hal yang paling diharapkan pada restorasi resin. Resin komposit juga mempunyai warna tempatan yang sangat baik, sehingga dari segi estetis sangat memuaskan. Dari beberapa kelebihan tersbut, resin komposit juga mempunyai kekurangan yaitu bila tidak ada sisa email yang mendukung maka potensi untuk bocor sangat besar. Semen ionomer kaca memungkinkan untuk menutupi kekurangan dari resin komposit yaiut dari sifat adesi fisikokimia pada email dan dentin. Sifat adesi antara semen ionomer kaca dapat mengurangi kebocoran tepi. Keuntungan semen ionomer kaca yang lain adalah melepaskan flour yang memungkinkan untuk mencegah terjadinya sekunder karies, tidak hanya resin komposit, semen ionomer kaca juga memiliki kekurangan yaitu tidak dapat menerima tekanan kunyah yang besar, mudah abrasi, erosi, dan dari segi estetisnya tidak sempurna karena trans lusensinya lebih rendah dari resin komposit.
Tujuan dari restorasi sandwich adalah untuk mendapatkan fungsi estesis, pengunyahan, mencegah celah mikro serta menambah kekuatan gigi. Fungsi estetis didapat dari bahan resin komposit sebagai tempatan karena resin komposit memiliki trans lusensi yang lebih tinggi dibanding semen ionomer kaca. Resin komposit juga dapat menerima tekanan kunyah yang besar. Untuk mencegah celah mikro digunakan semen ionomer kaca sebagai basis karena dapat melepaskan flour untuk mencegah terjadinya sekunder karies.
Menurut Yanti (2004), prosedur restorasi sandwich meliputi:
1. Preparasi dan lining
Kavitas dipreparasi, semua jaringan karies dibuang dengan menggunakan bur diamond. Diamond stone yang rata atau tungsten karbit bertujuan untuk menyelesaikan tepi email, liner kalsium hidroksida digunakan hanya apabila keadaan dentin yang hampir terbuka dengan perkiraan dentin yang menutupinya hanya sekitar 1mm atau kurang. Walaupun demikian ia tidak boleh menutupi daerah yang besar yang dapat mengganggu bonding (ikatan semen ionomer kaca). Setelah kavitas dipreparasi kemudian tepi email di bevel.
2. Perawatan permukaan
Kavitas dibersihkan, dikeringkan, kemudian diolesi kondisioner pada permukaan kavitas ikatan semen ionomer kaca ke gigi. Dapat diperkuat dengan menggunakan larutan yang mengandung asam poliakrilik, asam tannik, atau dodicin.
3. Pemberian semen
Semen ionomer kaca diijeksikan ke dalam kavitas dan dibiarkan menutupi tepi kavo surface. Alternatifnya pencampuran dengan tangan secara standar dapat digunakan, dan semen tersbut diaduk sampai menyerupai plastik yang berkilau sebelum digunakan. Warna semen harus dipilih agar sesuai dengan warna dentin. Pengerasan semen yang diajurkan adalah dalam waktu lima menit.
4. Preparasi semen tepi email
Setelah mengeras semen yang berlebihan dilepaskan dari tepi email dan dikamfer ke dinding dentin.
5. Pemeberian resin bonding.
Agen bonding resin liquid dioleskan segera ke basis semen dan dinding-dinding kavitas, harus hati-hati untuk memastikan bahwa lapisan tersebut tipis. Sistem visible light cured diajurkan karena pengerasan yang cepat dari agen bonding adalah penting untuk menjamin semen dan permukaan email tidak terkontaminasi
6. Pemberian resin komposit
Tempatan resin dimasukan dan dikontur ke posisinya. Bahan tersbut tidak boleh berlebihan, dan adaptasi yang tepat bisa dicapai dengan memakai matriks plastik bening.
7. Penyelesaian
Setelah disinari restorasi tersbut diselesaikan dengan bur diamond rata atau bur karbit. Pemolesan restorasi dapat dieselesaikan dengan menggunakan karet abrasif dan bubuk alumunium oksida yang halus.

karies

Tugas Oral Medicine

Nama   : Mawar Putri Julica

Nim     : 07/250270/KG/08134

  1. 1. Karies Primer

Karies yang terjadi pada lokasi yang terjadi pada jaringan yang masih sehat dan belum pernah mengalami karies sebelumnya.

  1. 2. Karies sekunder

Karies yang rekuren, karies yang timbul pada lokasi yang telah memiliki riwayat karies sebelumnya,karies yang ditemukan di tepi tambalan. Karies ini dapat terjadi akibat: preparasi kavitas yang kurang baik, restorasi yang kurang efektif, terdapat celah disekitar tambalan amalgam, atau kombinasi dari beberapa hal tersebut. Terjadinya karies sekunder di bawah tambalan yang mungkin disebabkan karena kebocoran tambalan sehingga bakteri dapat berpenetrasi ke jaringan gigi dan kembali menyebabkan karies

  1. 3. Residual caries

Demineralisasi jaringan yang dibiarkan saja sebelum bahan filling diisikan pada tempatnya.(karena pembuangan jaringan karies yang kurang bersih)

  1. 4. Active caries lesion

Merupakan jenis karies yang lesinya terus terjadi secara progresif.

  1. 5. Arrested (inactive) carious lesion

Karies terhenti atau lesi karies yang tidak berkembang bisa disebabkan karena faktor lingkungan. Karies ini biasanya paling sering terjadi dibagian labial maupun lingual gigi, terkadang apabila terdapat perubahan kondisi lingkungan yang sangat baik, dapat menyebabkan karies melambat bahkan terkadang pada lesi karies terjadi proses remineralisasi.

  1. 6. White spot caries/ incipien caries

Merupakan tanda klinis pertama sebelum terjadinya karies, terlihatnya white spot karena terjadinya demineralisasi pada bagian sub permukaan email. Normalnya apabila white spot terlihat permukaannya halus maka tidak aktif, sebaliknya apabila permukaannya kasar menunjukkan bahwa lesi aktif dan berkembang karena meningkatnya porusitas.

  1. 7. Rampant caries

Merupakan jenis karies akut, lesi karies aktif yang terjadi secara multiple pada satu pasien, sering terjadi juga pada daerah yang biasanya bebas karies. istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu keadaan sebagian besar atau semua dari gigi susu/decidui atau gigi permanen yang mengalami kerusakan (karies) secara luas dan berkembang dengan cepat.

Daerah gigi yang biasanya mengalami kerusakan adalah gigi depan rahang atas. Gigi susu /decidui tersebut juga merupakan gigi yang pertama kali muncul dalam rongga mulut akan mempunyai kemungkinan waktu terpapar/berkontak paling lama dengan “gula” . Sedangkan gigi depan rahang bawah cenderung terlindungi oleh lidah saat bayi/anak menghisap/minum dengan botol dot.

Dapat terlihat pada gigi permanen remaja dengan oral hygiene rendah dan sering mengkonsumsi makanan yang bersifat kariogenik dan minuman manis sebelum makan. Rampant caries juga dapat terlihat pada individu yang mengalami hiposalivation

Daftar pustaka

Ghom.A.G.2008.  Textbook of Oral Radiology. Delhi: Elsevier.

Hiremath, SS. 2007. Textbook of Preventive and Community dentistry. India: Elsevier.

Kidd, E.M.M. 2005. Essentials of Dental Caries,3rd edition. New York: Oxford University Press.

PENGAMATAN KEADAAN EPITEL LIDAH, BUKAL, GINGIVA, PALATUM, DAN DASAR MULUT DENGAN PROSEDUR PEMBUATAN PREPARAT APUSAN

Laporan Tertulis

PENGAMATAN KEADAAN EPITEL LIDAH, BUKAL, GINGIVA, PALATUM, DAN DASAR MULUT DENGAN PROSEDUR PEMBUATAN PREPARAT APUSAN

disusun untuk

memenuhi persyaratan mata kuliah

ORAL BIOLOGY – II

KGH 3202

dibuat oleh:

Mawar Putri Julica

07/ 250270/ KG/ 08134

Kelompok : A-5

Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Gadjah Mada

2009

PENGAMATAN KEADAAN EPITEL LIDAH, BUKAL, GINGIVA, PALATUM, DAN DASAR MULUT DENGAN PROSEDUR PEMBUATAN PREPARAT APUSAN

MAWAR PUTRI JULICA

07/ 250270/ KG/ 08134

Laboratorium Biologi Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

INTISARI

Sebagai jaringan yang membentuk mukosa mulut, epithelium oral merupakan barrier primer antara lingkungan oral dengan bagian jaringan yang lebih dalam. Rongga mulut dilindungi oleh mukosa terdiri atas epitel skuamosa berlapis. Pada setiap lapisan terdapat sel-sel dengan bentuk yang berbeda dan memiliki gambaran struktural yang khas. Dengan melakukan pengetesan menggunakan cytobrush, dapat diketahui jumlah sel serta struktur normalnya agar bisa dibedakan dengan struktur epitel yang mengalami patologis. Untuk itu dilakukan pengamatan terhadap 100 buah sel yang tidak saling tumpang tindih pada preparat apusan epitel lidah, bukal, gingiva, palatum, dan dasar mulut, yang diambil secara random dalam beberapa lapang pandang. Kemudian dilakukan perhitungan jumlah sel basal-parabasal, sel intermediet, dan sel superfisial dari masing-masing preparat apusan. Pada preparat apusan Lingua ventral, bukal, gingiva, palatum durum, palatum durum dengan akrilik, lingua bagian tepi, dan bibir, rata-rata didapatkan jumlah sel yang mendominasi adalah sel intermediate dan paling sedikit adalah sel basal-parabasal

Kata kunci : epitel mukosa mulut, sel basal-parabasal, turn-over sel basal

PENDAHULUAN

Epitel oral adalah epitel skuamosa berlapis yang terdiri dari sel-sel yang melekat erat satu sama lain dan diatur dalam beberapa lapisan yang berbeda atau strata. Seperti epidermis dan lapisan saluran pencernaan, epitel oral mempertahankan integritas struktural oleh proses pembaharuan sel terus-menerus di mana sel-sel yang dihasilkan oleh pembelahan mitosis dalam lapisan terdalam bermigrasi ke permukaan untuk menggantikan sel yang membuka. Sel-sel epitel sehingga dapat dianggap terdiri dari dua fungsional populasi: populasi sel progenitor (fungsi yang membagi dan memberikan sel-sel baru) dan sebuah populasi sel matur (sel-sel yang terus-menerus mengalami proses diferensiasi atau pematangan untuk membentuk pelindung lapisan permukaan). 1

Pada setiap lapisan terdapat sel-sel dengan bentuk yang berbeda dan memiliki gambaran struktural yang khas. Pada lapisan basal terdapat sel-sel yang dapat membelah diri, sehingga dianggap sebagai bagian progenitor (asal) sel. Di atas lapisan basal terdapat beberapa lapis sel yang membentuk daerah sel yang matang atau yang berdiferensiasi. Sedangkan lapisan permukaan (superfisial) yang merupakan terminal diferensiasi terdiri dari sel-sel pipih.2

Gambar 1. Mukosa oral non keratinisasi (mukosa bucal) dilihat dengan mikroskop cahaya2

Mukosa mulut berdasarkan kondisi permukaannya, dapat dibedakan menjadi tipe non keratinised/ tidak mempunyai lapisan keratin, parakeratinised/ mempunyai lapisan keratin tipis yang beberapa selnya ada yang masih memiliki inti sel yang tidak sempurna, atau orthokeratinised/ mempunyai lapisan keratin tebal yang terdiri dari sel-sel yang sudah tidak berinti. Ketebalan lapisan keratin ini bervariasi sesuai regionya di rongga mulut. Lingua dan dasar mulut memiliki karakteristik epitel non-keratinisasi dan tipis, bukal memiliki karakteristik epitelnya tebal dan non-keratinisasi, sedangkan ginggiva dan palatum durum memiliki  karakteristik epitel tebal dan mengalami keratinisasi.2

Keratinisasi dimulai dari sel basal yang kuboid, bermitosis ke atas berubah bentuk lebih poligonal yaitu sel spinosum, terangkat lebih ke atas menjadi lebih gepeng, dan bergranula menjadi sel granulosum. Kemudian sel tersebut terangkat ke atas lebih gepeng, dan granula serta intinya hilang menjadi sel spinosum dan akhirnya sampai di permukaan kulit menjadi sel yang mati, protoplasmanya mengering menjadi keras, gepeng, tanpa inti yang disebut sel tanduk. Sel tanduk secara kontinu lepas dari permukaan kulit dan diganti oleh sel yang terletak di bawahnya. Pada kondisi normal, jumlah sel yang hilang pada lapisan superfisial seimbang dengan jumlah sel baru hasil mitosis dari sel basal. Proses keratinisasi sel dari sel basal sampai sel tanduk berlangsung selama 14-21 hari.3,4,5

Pada praktikum ini, mahasiswa diharapkan mampu memahami dan melakukan prosedur pembuatan preparat apusan  epitel lidah, bukal, gingiva, palatum, dan dasar mulut untuk mengamati keadaan epitel subyek dalam keadaan normal ataupun pada kondisi patologis.

BAHAN DAN CARA

A.Bahan dan Alat

  1. Bahan pengecatan Papanicolau
  2. Aquades/NaCl   0.9%
  3. Alkohol  96%
Gambar 2. Biopsi  menggunakan cytobrush6

Cytobrush

  1. Gelas obyek
  2. Glass cover slip
  3. Staining jar
  4. Mikroskop cahaya
  5. Handy tally counter


B. Cara Kerja

Pada saat pembuatan preparat apusan epitel lidah, bukal, gingiva, dan palatum. Gelas obyek diberi identitas sesuai dengan jenis epitelnya.Cytobrush dibasahi dengan aquades lalu dilakukan usapan memutar pada daerah yang ditentukan. Hasil usapan segera diusapkan pada gelas obyek secara merata kemudian direndam dalam alkohol 96% untuk difiksasi.

Ketika pengecatan gelas obyek direndam dalam alkohol 90%, 80%, 70%, 50%, 30%, dan aquades untuk rehidrasi selama 1 menit dalam tiap-tiap larutan. Gelas obyek direndam dalam larutan Harri’s haematoxylin selama 5 menit, kemudian dicuci di bawah air mengalir selama 10 menit.

Setelah itu dilakukan dehidrasi dengan merendam gelas obyek dalam alkohol 30%, 50%, 70%, 80%, 90%, dan 96%, masing-masing selama 1 menit. Gelas obyek diletakkan di atas alas datar, kemudian diteteskan zat warna Orange G-6 dan dibiarkan selama 3 menit. Gelas obyek dibilas dengan alkohol 96% sebanyak 3 kali setelah itu dilakukan pemulasan dengan zat warna E.A.50 dan dibiarkan 6 menit. Kemudian dilakukan pembilasan lagi dengan alkohol 96% sebanyak 3 kali.

Gelas obyek dimasukkan dalam alkohol absolut 3 kali berturut-turut masing-masing selama 3 menit, kemudian diusap dengan menggunakan kertas saring sampai kering. Kemudian, gelas obyek dimasukkan ke dalam larutan Xylol I, II, III, masing-masing selama 5 menit. Terakhir dilakukan mounting dengan balsam Canada, kemudian diamati di bawah mikroskop cahaya.

Pada saat dikerjakan interpretasi hasil, preparat diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400x. Pengamatan dilakukan terhadap 100 buah sel yang tidak saling tumpang tindih, yang diambil secara random pada beberapa lapang pandang, yaitu sel basal-parabasal, sel intermediate, dan sel superfisial, menggunakan kriteria menurut Naib (1970).

HASIL PENGAMATAN

Sel                                                     sel

Superfisial                                     intermediet

sel basal

Hasil penghitungan jumlah sel epitel pada preparat apusan:

No Epitel Jumlah Total
Sel Basal-Parabasal Sel Intermediate Sel Superfisial
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

Lingua ventral

Bukal

Gingiva

Palatum durum

Palatum durum dengan akrilik

Lingua bagian tepi

Bibir

19

22

19

8

8

15

19

46

51

55

58

63

52

49

35

27

25

34

29

23

32

100

100

100

100

100

100

100

PEMBAHASAN

Dari hasil praktikum, didapatkan jumlah sel yang berbeda-beda pada setiap lapisan epitelium mukosa rongga mulut. Pada epitel Lingua ventral, bukal, gingiva, palatum durum, palatum durum dengan akrilik, lingua bagian tepi, dan bibir, rata-rata didapatkan jumlah sel terbanyak adalah sel intermediate dan paling sedikit adalah sel basal-parabasal.

Pengetesan exfoliated cytologic dengan menggunakan cytobrush banyak digunakan untuk pengetesan displasia, pengecekan dini squamous cell carcinoma, infeksi akibat herpes, serta mengidentifikasi lesi-lesi lain. Pada individu normal Sel intermediet dan  sel suprafisial merupakan sel mayoritas pada hasil tes oral smear. Sel parabasal akan banyak muncul apabila terdapat ulserasi.8

I Sel intermediet bervariasi dalam ukuran dan bentuk, tapi biasanya memiliki diameter dua sampai tiga kali bahwa dari sel parabasal. Banyak cytologists mengklasifikasi sel-sel ini menjadi: sel intermediet kecil dengan bentuk hampir bulat atau bentuk oval dengan inti besar kemudian sel intermediet besar: bentuk poligonal dengan nukleus kecil.9

Sel superfisial merupakan sel yang paling besar (1600μm2). Ada beberapa sel superfisial yang intinya piknotik (kecil dan gelap). inti sel superfisial berukuran  20μm2. Sel superfisial pada preparat apusan berbentuk poligonal dengan inti kecil dan bulat yang terletak di tengah. Sitoplasmanya sedikit terang, berbatas tegas, dan tercat merah (asidofilik atau eosinofilik).7 Sel skuamosa intermediate tampak berbentuk polygonal berukuran 800 – 1200μm2 dengan inti yang terletak di tengah. Ukuran selnya bervariasi tergantung lokasinya pada epithelium sedangkan ukuran intinya relatif konstan. Sitoplasmanya tercat biru muda pada preparat PAP smear. Inti sel intermediate berbentuk vesikuler dengan ukuran 35 μm2.

Sel basal berbentuk bulat atau oval dan berukuran kira-kira 200 μm2. Sitoplasmanya tercat biru-hijau sedangkan intinya yang terletak di tengah berukuran 50μm2 dan berwarna kebiru-biruan. Di atas sel-sel basal terdapat 2-3 lapisan sel parabasal yang berbentuk seperti sel basal tetapi sitoplasmanya yang sedikit lebih terang dari sel basal. Sel parabasal jarang ditemukan pada apusan epitel yang normal. Namun, pada kasus kerusakan epitel, seperti disebabkan oleh inflamasi atau trauma mekanis, sel-sel parabasal mungkin dijumpai8

Sel epithelial baru diproduksi dengan proses mitosis pada lapisan basal, beberapa sel basal dan sel superfisial dipaksa keluar dan nantinya akan sampai di permukaan. Secara sederhana, pergantian sel dalam suatu jaringan adalah proses pembentukan sel dimana diimbangi oleh hilangnya sel.10 Proses ini disebut proses turn-over, Secara garis besar proses turn-over pada rongga mulut lebih cepat dibandingkan kulit tubuh lainnya (waktu turn-over kulit 27 hari). sel nonkeratinisasi memiliki waktu turn-over yang lebih cepat. Palatum durum mengalami turn-over 24 hari.Bagian dasar mulut selama 20 hari, bagian bukal dan labial selama 14 hari, attached gingiva selama 10 hari dan taste buds selama 10 hari.7

Pada regio lidah diliputi oleh epitel yang spesifik dengan bermacam-macam bentuk papila. Bila epitel lidah dikenai rangsangan mekanis atau kimiawi, maka sebagai proteksi terhadap jaringan dibawahnya diperlihatkan proses degenerasi atau keratinisasi. Perubahan pola histologi pada lidah terjadi karena lidah peka terhadap badan karsinogenik.11 Pergantian sel dalam epitel oral mungkin suatu proses perbaikan yang disebabkan oleh trauma. Namun, tingkat pergantian sel dapat diubah oleh beberapa pengaruh internal (misalnya, hormon) maupun oleh faktor-faktor dalam lingkungan eksternal (misalnya, suhu, memberi makan). Perubahan dari tingkat turnover yang dapat ditampilkan oleh perubahan dalam aktivitas mitosis, atau dalam ukuran populasi sel epitel. Dengan demikian, berbeda dengan jaringan non-keratinisasi, arsitektur yang selalu konstan, gambaran histologis epitel mengalami pembaruan yang mungkin berbeda dengan faktor yang saling mengendalikan selnya.12

Dari ketujuh regio mukosa yang diamati pada praktikum ini menunjukkan jumlah sel basal-parabasal tidak sebanyak sel superficial dan intermediet. Sehingga dapat disimpulkan probandus normal dan tidak dalam kondisi inflamasi kronis atau patologis. Pada kondisi patologis seperti pada karsinoma mulut, kemunculan sel di permukaan berdasarkan lokasi sel pada karsinoma mulut7

Palatum durum, gingiva, lingua bagian dorsal Sel matur, terdapat banyak kornifikasi dan beberapa sel tanpa nukleus
Mukosa Bukal dan labial Sel matur sebagian , nucleus basofilic dan cel tercat asidofilic
Dasar mulut, linguabagian ventral,palatum mole Sel matur sedikit, terdapat sel basophilic dengan inti nukleus berukuran besar.

Untuk menentukan apakah suatu epitel berada dalam kondisi patologis atau tidak, tidak cukup hanya dengan menghitung jumlah sel pada setiap lapisannya. Kondisi patologis juga dapat ditunjukkan peningkatan sel basal dan ukuran nukleus terbukti berhubungan dengan lesi yang memiliki risiko tinggi berubah ganas, seperti pada penilaian displasia epitel..13

pada prosedur pembuatan preparat apusan, pengecatan dengan papaniculou stain atau metode pap-smear , pewarna haematoxylin digunakan untuk mewarnai nukleus sel, pewarna Orange-G 6 sebagai counterstain digunakan untuk mewarnai keratin, counterstain sekunder adalah EA (Eosin Azure), contoh EA-36, EA-50, EA-65. EA mewarnai bagian sel epitel skuamos bagian superfisial, nucleoli, silia, sel darah merah. fiksasi alkohol dilakukan untuk mempertahankan bentuk jaringan, agar perubahan stuktur sel atau jaringan kemungkinan terjadinya kecil, sedangkan dehidrasi bertujuan agar jaringan atau sel mudah tepoles oleh parafin atau selodin sehingga sel lebih kontras dan mudah dilihat.14,15

KESIMPULAN

  • Untuk mengetahui normal atau tidaknya keadaan rongga mulut, diperlukan suatu preparat apusan yang dibuat dengan metode yang benar sehingga dapat memberikan suatu gambaran yang tepat.
  • Pada kondisi inflamasi atau patologis dapat terjadi berbagai macam perubahan, seperti perubahan jumlah sel epitel, serta perubahan ukuran sel dan inti sel.

DAFTAR PUSTAKA

1Nanci A. 2008. Ten Cate’s Oral Histology. Development, Structure and Function. 7th Ed. St Louis: Mosby Elsevier

2Chandra,S and Chandra,M  .2004.Dental and Oral Histology and Embryology with MCQs. New Delhi: Jaypee Brothers Publishers,

3Wasiaatmaja, Syarif M. 1997. Penuntun Ilmu Kosmetik Medik. Jakarta: UI Press

4Avery, James K., Steele, Pauline F., Avery, Nancy. 2002. Oral Development and Histology. 3rd edition. New York: Thieme Medical Publisher.

5Barasch, A.  Risk Factors for Ulcerative Oral Mucositis in Cancer Patients: Unanswered Questions. Oral Oncology, 2003; (39): 91.

6Silverman, Sol. 2003.Oral Cancer, 5th edition .Ontario: American Cancer Society.

7Balogh, M.B. and Fehrenbach, M.J. 2006. Dental embryology, Histology and Anatomy. St.Louis: Elseiver Inc.

8Ramzy, Ibrahim. 2000. Clinical Cytopathology and Aspiration Biopsy: Fundamental Principles and Practice, 2nd Edition., United States Of America : McGraw-Hill Professional.

9Bowen R., 1998. Classification of Vaginal Epithelial Cells http://www.vivo.colostate.edu/hbooks/pathphys/reprod/vc/cells.html diakses tangal:17 oktober 2009

10Melfi, Rudy C., Alley, Keith E.,  Permar, 2000. Dorothy Permar’s Oral Embryology And Microscopic Anatomy: A Textbook For Students In Dental Hygiene Oral Embryology & Microscopic Anatomy . Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins.

11Wahyudi, Ivan, A., Astuti, Indwiani , dan Sunarintyas, Siti. Pengaruh Pemakaian Karbamid Peroksida 10% sebagai Pemutih pada Perokok terhadap Perubahan Gemma gustatoria dan Ketebalan Epitel Lidah (Kajian Histologis pada Rattus Norvegicus). Sains Kesehatan, 2005; 18(1): 112.

12Hooper, C. E. Stevens. Cell Turnover In Epithelial Populations. The Journal of Histochemistry & Cytochemistry, 1956; 4 (6) : 531.

13Shabana / A.H., et al.Morphometric Analysis Of Basal Cell Layer In Oral Premalignant White Lesions And Squamous Cell Carcinoma. Journals Clinical Pathology, 1987; 40(4) : 454–458.

14Naigaonkar, A. V. 2008. A Manual Of Medical Laboratory. Mumbai: Pragati Books Pvt. Ltd.

15Boon, Mathilde E., Suurmeijer, Albert J. H. 1996. The Pap Smear,3rd edition. Amsterdam: Harwood Academic Publishers GmbH.

TEKNIK FIKSASI IMW “IVY” (tp susunan artikel masih berantakan)

8134:

Penatalaksanaan fraktur mandibula

Pendekatan tertutup dan terbuka, ada dua cara penatalaksanaan, pada teknik tertutup, reduksi fraktur dan immobilisasi mandibula dicapai dengan cara menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular. Pada prosedur terbuka bagian yang fraktur dibuka dengan pembedahan dan segmen di reduksi dan di fiksasi secara langsung dengan menggunakan kawat atau plat.teknik terbuka dan tertutup tidaklah selalu dilakukan sendiri-sendiri terkadang dilakukan secara kombinasi.dasar pemikiran perawatan yang baik adalah  respons fleksible, yakni kemauan dan kemampuan untuk menggunakan teknik yang ada (alat-alat yang diperlukan), dengan profesionalitas yang memadai.

Periode imobilisasi

Periode stabilisasi fiksasi diperlukan untuk memastikan perbaikan fungsi sepenuhnya adalah berbeda-beda, tergantung dari letak fraktur, ada atau tidaknya gigi yang tertinggal pada garis fraktur, umur pasien dan ada tidaknya infeksi. Juniper dan awty (1973) mengatakan bahwa dalam lingkungan yang menguntungkan terbentuknya persatuan secara klinis yang stabil rata-rata secara teratur tercapai sesudah 3 miggu sehingga pada saat itu fiksasi bisa dilepas.

Pada fraktur korpus madibula suplai darah ke tempat fraktur sangat berarti. Tempat vaskularisasi endosteal relatif miskin seperti halnya pada rahang yang sudahberumur, dan terutama daerah simfisis, pengobatan bertendensi jadi lebih lama. Sebaliknya kayanya suplai darah dan aktivitas osteoblastik yang melimpah pada mandibula yang sedang tumbuh pada anak memastikan akan terjadi persatuan yang cepat.

Suatu pedoman yang sederhana untuk menuju ke imobilisai fraktur pada daerah gigi dan pada rahang bawah adalah sebagai berikut:

Anak muda dewasa

Dengan

Fraktur pada angulus

Menerima

Perawatan awal

Serta

Gigi dibuang dari garis fraktur

3 minggu

Jika:

  1. Garis tetap berada di garis fraktur      : tambah 1 minggu
  2. Fraktur terjadi di simfisis                    : tambah 1 minggu
  3. Umur 40 tahun keatas                         : tambah 1 atau 2 minggu
  4. Kanak-kanak atau remaja                    : kurangi 1 minggu

Dengan menggunakan  pedoman ini, maka sebuah fraktur simfisis pada pasien yang sudah berumur 40 tahun yang giginya terdapat pada garis fraktur tetap dipertahankan memerlukan waktu 6 minggu untuk imobilisasi (dasar 3 minggu + 1 minggu untuk tempat yang kurang menguntungkan + 1 minggu untuk umur yang diijinkan + 1 minggu untuk yang ditinggalkan pada garis fraktur)

Aturan-aturan ini hanya di buat untuk pedoman belaka, dan harus diingat bahwa fraktur ini harus selalu di uji secara klinis sebelum mandibula akhirnya dibebaskan.

Metode Imobilisasi

Metode imobilisasi pada mandibula apabila terdapat gigi dikategorikan dalam 2 golongan, tergantung dari apakah dikenakan fiksasi secara langsung pada gigi-gigi.

A.fiksasi yang diterapkan pada gigi-gigi

1.pengawatan gigi (dental wiring) kemugkinan dapat: a.langsung dan b. Eyelet

2.berlengkung

3.splin kap

B. fiksasi langsung pada tulang

Metode fiksasi yang di terapkan pada gigi geligi

1.pengawatan gigi-geligi

Pengawatan gigi geligi digunakan bila pasien memiliki seperangkat gigi yang mempunyai bentuk sesuai, baik sempurna maupun hampir sempurna. Banyak perbedaan pendapat mengenai jenis kekuatan (gauge) kawat yang dipakai, tetapi kawat lunak anti karat berdiameter 0,45 mm efektif. Kawat ini memerlukan tarikan sebelum dipakai atau sebaiknya di renggangkan kira-kira 10%. Kalau hal ini tidak dilakukan maka kawat akan menjadi kendor sesudah dipasang beberapa hari. Harus berhati-hati agar jangan sampai regangan berlebih karena kawat menjadi keras dikerjakan dan mudah rusak

Pengawatan langsung yang paling sering digunakan adalah sistem eyelet, pada sistem ini kawat dipilinkan satu sama lain untuk membentuk loop, kedua ujung kawat di lewatkan ruang interproksimal, dengan loop tetap disebelah bukal. Salah satu ujung kawat dilewatkan di sebelah distal dari gigi distal dan kembalinya di bawah atau melalui loop, sedangkan ujung lainnya ditelusupkan pada celah interproksimal mesial dari gigi distal. Kedua ujung kawat dipilinkan satu sama lain, dipotong dan dilipat pada aspek mesial gigi mesial. Akhirnya loop dikencangkandengan cara memilinnya.

Beberapa eyelet bisa di tempatkan pada gigi posterior untuk mendapatkan tempat perlekatan kawat atau elastik yang digunakan untuk fiksasi maksilo-mandibular. Sistem eyelet tidak rumit dan mudah dilakukan ini ideal untuk penangan kasus dengan cepat yang membutuhkan stabilitas sementara, atau apabila durasi anastesi harus dikurangi. Empat eyelet, dengan fiksasi maksilomandibular yang baik sering mendapatkan hasil immobilisasi mandibular yang memuaskan untuk merawat fraktur subkondilar unilateral dengan pergeseran hanya sedikit.(pedersen, 1996)

.

Pengawatan “eyelet” interdental

Eyelets dibentuk dengan cara

8122-8126:

INDIKASI:

  1. Untuk penanganan kasus dengan cepat apabila durasi anestesi umum harus dikurangi.
  2. Untuk merawat fraktur subkondilar unilateral dengan pergeseran yang hanya sedikit
  3. Dapat digunakan pada pasien dengan oklusi pre-fraktur normal /abnormal.
  4. Pasien yang memerlukan oklusi sementara

KONTRAINDIKASI:

  1. Tidak dapat digunakan pada pasien yang tidak mempunyai cukup jumlah bentuk gigi yang sesuai

DAPUS :

Pedersen,G.W. 1988. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. EGC. Jakarta.

Banks,P. 1992. Fraktur Pada Mandibula Menurut Killey. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Mathong, Robert H. et al. 1995. Trauma of the Nose and Paranasal Sinuses. Thieme. United States of Amerika.

Tebe:

Ivy Loops Prosedur

1.     Anestesi umum dengan intubasi hidung adalah pilihan terbaik.

2.     Potong kawat  24-gauge kawat (atau apa pun yang anda punya) minimal 6 potong, masing-masing panjangnya 6 inci (15 cm). Hati-hati, karena ujung-ujung kabel dengan mudah dapat menembus melalui sarung tangan ke jari Anda.

3.     bengkokkan potongan kawat di tengah. Genggam bagian tengah dari kawat dengan pemegang jarum, dan kawat di diputar (dipluntir) 2-3 kali, buat lingkaran kecil di bengkokan kawat.

4.     lewatkan kedua ujung kabel antara dua gigi yang terlihat  stabil dan terletak distal ke fraktur. Pastikan bahwa gigi stabil tersedia di seberang rahang atas atau bawah. Kawat melewati gusi dari luar (di sisi yang terdekat dengan pipi) ke dalam (di sisi yang terdekat dengan lidah). lingkarannya harus disepanjang permukaan luar gigi.

Penempatan Ivy intermaxillary loop untuk fiksasi. (Dari McCarthy JG (ed): Plastic Surgery. Philadelphia, WB Saunders, 1990, dengan izin.) Facial Fraktur 255

5.     Ambil salah satu ujung kabel dan membungkusnya di sekitar gigi di depan dengan cara melewatkannya melalui gusi dari dalam ke luar.

6.     Bungkus ujung kawat di belakang gigi dengan cara yang sama. Kedua kawat harus berakhir pada bagian luar gigi.

7.     Tarik pada ujung-ujungnya untuk menjaga kenyamanan sepanjang kawat gigi.

8.     lewatkan satu ujung kabel melalui lingkaran

9.     Tarik akhiran kawat bersama-sama, dan secara manual keduanya diputar searah jarum jam sekali atau dua kali.

10.   Gunakan jarum untuk menggenggam kawat beberapa sentimeter dari gusi. Tarik ke atas dudukan jarum, dan putar(dipluntir) kawat searah jarum jam sampai kawat tampak nyaman. Lihat disekitar kawat. Jika muncul perubahan kawat dari mengkilap kemudian memudar, maka hentikan atau Anda akan mematahkan kawat dan harus mulai lagi.

11.   Ulangi proses ini pada gigi yang sesuai pada rahang yang berlawanan dan pada gigi di sisi lain fraktur. Anda akan membutuhkan tempat untuk menaruh kabel sekitar minimal 4 pasang gigi.

12.   Gunakan alat pemotong kawat untuk memperpendek kabel akhiran kabel dengan panjang 1 cm. Tekuk kawat ke permukaan gusi sehingga ujung kawat tidak dipotong pada mukosa pipi.

13.   Ketika semua kabel telah ditempatkan,bawa rahang pasien dan coba pada baris gigi. Pastikan bahwa lidah tidak terjebak di antara gigi.

14.   Gunakan kabel tambahan untuk menghubungkan setiap pasangan lingkaran  dan bawa rahang atas dan bawah bersama-sama. Teknik ini melumpuhkan fraktur rahang. Pelintir  kawat (seperti telah dijelaskan sebelumnya) di tempat.

15.   Rahang harus dihubungkan bersama selama kurang lebih 6 minggu. Untuk memastikan nutrisi yang memadai, pasien harus makan bubur dan minum banyak cairan. Kebanyakan berat badan pasien menurun. menganjurkan pasien untuk menelan cukup kalori. Pastikan untuk mencegah merokok. Gizi buruk dan penggunaan tembakau merusak penyembuhan fraktur.

16.   Gigi harus disikat dengan hati-hati setidaknya 1-2 kali setiap hari, dan mulut harus dibilas dengan air garam setelah makan dan sebelum tidur.

17.   Ketika rasa sakit tidak lagi hadir pada letak fraktur (biasanya setelah 4-6 minggu), lepaskan kabel yang menghubungkan dan memperbolehkan pasien untuk makan makanan tidak keras selain makanan lunak untuk tambahan selama 2-3 minggu.

18. Jika pasien mengalami nyeri pada letak fraktur, sambung kembali rahang selama 2-3 minggu.

19. Jika, setelah melepas kabel penghubung, pasien bisa makan dan tidak ada rasa nyeri pada letak fraktur, lepaskan kabel dari gigi.

Catatan: Ketika penghubungkan kabel pertama kali dilepas, kemampuan pasien untuk membuka mulut akan sangat terbatas. Masalah ini akan diperbaiki dari hari kehari dan berminggu-minggu

Dari dika:

PENDAHULUAN

Fraktur pada mandibula lebih sering terjadi daripada fraktur-fraktur tulang wajah yang lain. Fraktur ini merupakan trauma tulang penting yang mungkin dihadapi oleh dokter gigi, dan terkadang pula dihadapi pada ruang bedah. Fraktur pada mandibula juga merupakan fraktur wajah yang secara tidak sengaja sering dihadapi dokter gigi sebagai komplikasi dari pencabutan gigi. Fraktur mandibula dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu:

  1. Fraktur tanpa terbukanya tulang dan tanpa kerusakan dari jaringan keras atau lunak gigi
  2. Fraktur dengan terbukanya tulang dan kerusakan yang hebat dari jaringan keras dan lunak gigi.

Sebagian besar fraktur terdapat pada kelompok pertama. Fraktur dari kelompok kedua dapat berasal dari luka peluru, trauma industri (kecelakaan kerja atau lalu lintas), dimana terjadi trauma langsung dari benda yang tajam dan bergerak dengan kecepatan tinggi. Pembagian jenis fraktur di atas bermanfaat karena cara perawatan umum dari masing-masing fraktur berbeda, baik pada tahap perawatan  primer hingga rekontruksi (Banks, 1990).

Fiksasi

Fiksasi maksilomandibular dilakukan dengan menggunakan elastik atau kawat untuk menghubungkan loop (lug) arch bar atau kawat maksilar dan mandibular lain. Apabila suatu segmen mengalami pergeseran cukup banyak, maka dianjurkan untuk melakukan imobilisasi segmen yang pergeserannya sedikit terlebih dahulu, kemudian melakukan reduksi dan imobilisasi segmen yang lain secara digital ataupun secara manual. Semua pasien dengan pengawatan maksilomandibular harus dibekali dengan alat pemotong kawat yang dapat dipergunakan setia saat (Pedersen, 1996).

Tabel 1. Ukuran Kawat Untuk Fiksasi

Ukuran gauge Diameter
(inch) (mm)
22 0,028 0,70
23 0,024 0,60
24 0,022 0,55
25 0,020 0,50
26 0,018 0,45
27 0,016 0,40
28 0,014 0,35

Jenis fiksasi yang dipasang pada gigi-gigi yaitu:

  1. Wiring gigi, dapat; (a) langsung atau (b) eyelet.
  2. 2. Arch bar
  3. Cap splint (Banks, 1990).

Prosedur dan Hasil Perlakuan Metode Ivy

Metode fiksasi Ivy sering disebut juga dengan :

  1. Eyelet method
  2. Ivy loop wiring

Prosedur

Pada system ini, kawat dipilinkan satu sama lain untuk membentuk loop. Kedua ujung kawat dilewatkan ruang interproksimal, dengan loop tetap di sebelah bukal. Satu ujung dari kawat dilewatkan di sebelah distal dari gigi distal dan kembalinya di bawah atau melalui loop, sedangkan ujung yang lain ditelusupkan pada celah interproksimal mesial dari gigi mesial. Kedua ujung kawat dipilinkan satu sama lain, dipotong dan dilipat pada aspek gigi mesial gigi mesial. Akhirnya loop-nya dikencangkan dengan jalan memilinnya. Beberapa eyelet bisa ditempatkan pada gigi posterior untuk mendapatkan tempat perlekatan kawat atau elastik yang digunakan untuk fiksasi maksilomandibular. Metode Ivy (eyelet) ini tidak rumit dan mudah dilakukan serta ideal untuk penanganan kasus dengan cepat apabila diperlukan stabilisasi sementara, atau apabila durasi anestesi umum harus dikurangi. Empat eyelet dengan fiksasi maksilomandibular yang baik, sering memberikan hasil imobilisasi mandibular yang memuaskan untuk merawat fraktur subkondilar unilateral dengan pergeseran yang hanya sendiri (Pedersen, 1996).

Eyelet harus dipasang sedemikian rupa pada rahang atas dan bawah sehingga bila kawat dipasang di antara eyelet, akan dihasilkan efek tarikan melintang. Apabila eyelet dipasang tepat di atas gigi yang satu dengan yang lain, maka pergerakan rahang bawah tetap dapat berlangsung. Harus diingat pada saat memasang kawat, bahwa kawat sangat tajam dan sangat mudah terlontar serta dapat mengenai bola mata pasien, bila tidak dipegang dengan benar. Sebaikknya mata pasien dilindungi dan untuk ini, setiap ujung kawat tersebut tidak sedang dipergunakan. Pada saat bekerja dengan anestesi umum, mata pasien harus ditutup dan diberi pelindung.

Setelah eyelet terpasang dengan erat, kawat penghubung harus dilewatkan melalui eyelet hingga menghubungkan eyelet atas dan bawah, tetapi kawat penghubung belum dipilin pada tahap ini. Gigi-gigi yang perlu diekstraksi dapat diekstraksi pada saat itu juga dan sebelum fiksasi intermaksilaris selesai dipasang, pak pada kerongkongan dapat dilepas, kemudian fraktur direduksi dan fiksasi kawat dikencangkan. Penting bahwa oklusi normal pasien diketahui oleh operator, karena banyak pasien yang memiliki keabnormalan oklusi dan berusaha untuk mendapatkan oklusi yang baik secara teoritis, pada keadaan tersebut dapat menimbulkan susunan fragmen tulang yang salah (Banks, 1990).

Kawat penghubung harus dikencangkan pada daerah geraham besar, mula-mula pada salah satu sisi dan kemudian pada sisi yang lain, sehingga dapat berjalan sampai ke daerah gigi seri. Harus diingat bahwa bila kawat dikencangkan pada salah satu sisi terlebih dahulu, akan terbentuk crossbite dan bila kawat anterior dikencangkan sebelum kawat pada daerah geraham, dapat terjadi gigitan gigi belakang yang terbuka. Kawat dapat dipilin dengan kuat pada gigi berakar jamak, tetapi dokter gigi harus berhati-hati pada gigi berakar tunggal karena gigi mungkin harus diekstraksi sebagai akibat dari tekanan pemilinan kawat penghubung yang terlalu kuat. Sebaiknya, kawat dipilin longgar terlebih dahulu dan pemilinan akhir yang kencang dilakukan setelah oklusi diperikasi. Dokter gigi harus berhati-hati untuk memastikan bahwa lidah tidak terjebak di antara cusp gigi-gigi. Setelah wiring eyelet interdental dilakukan, jari operator harus digerakkan di sekitar mulut pasien untuk memastikan bahwa tidak ada ujung kawat yang dibiarkan menonjol yang dapat melukai jaringan lunak (Banks, 1990).

DAFTAR PUSTAKA

Banks P. 1990. Faktur Mandibula. Edisi 1. Hipokrates. Jakarta.

Pedersen GW. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Edisi 1. EGC. Jakarta.

INTRODUKSI IMMUNOBIOLOGI

INTRODUKSI IMUNOBIOLOGI

MAWAR PUTRI JULICA

07/ 250270/ KG/ 08134

Laboratorium Biologi Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Reaksi antigen-antibodi dapat di deteksi dengan reaksi sekunder untuk memvisualisasikan reaksi misalkan presipitasi maupun aglutinasi. Klasifikasi antigen salah satunya bersumber dari alogeneik dengan jenis alloantigen salah satu contohnya adalah golongan darah. Dua jenis penggolongan darah yang paling penting adalah penggolongan ABO dan Rhesus (faktor Rh). Membran sel darah merah pada sebagian besar individu mengandung suatu substansi golongan darah tipe A, tipe B, tipe AB, tipe O. Penggolongan sistem ABO didasarkan pada ada atau tidaknya aglutinasi antara antigen-antibodi yang terdapat dalam darah, sedangkan penggolongan Rh berdasarkan ada  atau tidaknya antigen D. Jika seseorang dengan Rh negatif (tidak mempunyai antigen D) terpajan dengan darah Rh positif (mempunyai antigen D), maka tubuh akan membentuk anti-Rh sehingga menyebabkan aglutinasi.

Untuk melihat adanya aglutinasi, tes yang dilakukan adalah mereaksikan darah sebagai antigen dan larutan anti sera( Anti-A, Anti-B, Anti-C, dan Anti-D). Aglutinasi dapat menunjukkan golongan darah. Sedangkan pada penghitungan jenis leukosit sample darah dibuat sediaan tipis lalu dicat dengan Giemsa 3%. Kemudian sediaan diamati dibawah mikroskop,  dilakukan perhitungan macam jenis leukosit per 100 sel leukosit sepanjang sediaan apus. Hasil penghitungan dilaporkan dalam bentuk persen.

Kedua percobaan tersebut dilakukan pada tiga orang probandus dengan hasil :

  1. Probandus I : golongan darah O, Rh positif, basofil 0%, eosinofil 0%, netrofil 0%, limfosit 75%, monosit 18%
  2. Probandus II: golongan darah O, Rh positif, basofil 2,4%, eosinofil 14,8%, netrofil 54,3%, limfosit 8,6%, monosit 7,4 %
  3. Probandus III: golongan darah O, Rh positif, basofil 10,1%, eosinofil 10,1%, netrofil 43,4%, limfosit 30,4%, monosit 5,7 %

Penghitungan Diffferential Blood Count (DBC) ternyata secara klinis juga sangat membantu dalam diagnosis suatu kondisi patologis. Kenaikan titer salah satu atau beberapa jenis leukosit memberi makna kondisi tertentu yang dapat fisiologis maupun patologis.

Kata kunci : aglutinasi, hitung diferensial leukosit, antigen, antibodi

PENDAHULUAN

Dalam pengertian paling luas , immunologi mengacu pada semua mekanisme pertahanan yang dapat di mobilisasi oleh tubuh untuk memerangi ancaman invasi asing. Respon imun itu hampir seluruhnya diperantarai oleh limfosit B dan limfosit T. Saat terjadi respon imun terhadap benda asing, limfosit B terutama terlibat dalam menghasilkan protein-protein globular yang disebut Antibodi.(Fried, G.H and Fried, G.J., 2006). Imunigenisitas dapat di definisikan sebagai sesuatu zat (immunogen) yang memberikan zat tersebut kemampuan membangkitkan respon imun spesifik baik antibody maupun imunitas seluler. Bagian dari struktur tiga dimensi tiap imunogen mengandung kelompok permukaan misalnya asam amino dalam suatu protein globularatau sisi rantai sakarida yang menonjol pada polisakarida. Struktur ini diberi nama determinan antigenic atau epitop dan menyajikan daerah aktif terpapar, dengan mana antibody menyatu .(Bellanti & Jackson, 1993)

Jika terdapat suatu agen asing yang dapat dikenali oleh system imunitas, maka hal ini dapat memicu produksi molekul protein khusus yang secara umum disebut antibodi. Antibodi sendiri merupakan senjata utama respon humoral. Reseptor sel T yang akan mengenali agensia asing tersebut secara spesifik dan  mengikatnya. Molekul yang dapat dikenali dan diikat oleh reseptor sel T yang disebut antigen (antibody generating surface).(Yuwono,2008)

Interaksi antigen-antibodi dapat dibagi dalam 3 kategori: (1)primer, (2) sekunder,(3) tersier. Interaksi primer atau interaksi awal antigen dengan antibody adalah suatu kejadian dasar yang terdiri dari pengikatan molekul antigen dengan antibody. deteksi biasanya dikerjakan dengan reaksi sekunder, yang merupakan alat bantu untuk memvisualisasikan reaksi, misalnya presipitasi. Reaksi tersier merupakan ekspresi biologik dari interaksi antigen-antibodi yang dapat berguna untuk merusak. Pada Aglutinasi, fase pertama penyatuan antigen-antibodi terjadi seperti pada presipitasi dan tergantung pada kekuatan ion, pH dan suhu. Pada aglutinasi sel darah merah, misalnya dimana reseptor antigenik mungkin terletak pada cekungan yang dalam pada permukaan sel, antibody diikat kuat pada sisi reseptor pada satu sel. (Bellanti, 1993)

Ketika transfusi darah dari orang ke orang, transfusi hanya berhasil baik pada beberapa keadaan. Seringkali timbul aglutinasi dan hemolisis sel darah merah bahkan dapat juga menyebabkan kematian. Ternyata hal itu dikarenakan darah dari orang yang berbeda biasanya mempunyai sifat antigen dan imunitas yang berbeda, sehingga antibodi dalam plasma darah seseorang akan bereaksi dengan antigen pada permukaan sel darah merah orang lain. Karl Landsteiner menggolongkan darah manusia menjadi A, B, AB, dan O. Metode klasifikasi berdasarkan jenis antigen dan antibodi yang terkandung dalam darahnya. Jenis penggolongan darah lain adalah dengan memanfaatkan faktor Rhesus atau faktor Rh.

Tubuh kita ini mempunyai sistem pertahanan tubuh yang bekerja melalui dua cara. Pertama adalah merusak benda asing yang menyerbu (antigen) dengan cara fagositosis. Kedua, menon-aktifkan benda asing tadi dengan membentuk antibodi spesifik. Proses yang kedua ini telah dicontohkan pada kasus golongan darah yang telah dijelaskan sebelumnya. Sedang untuk proses fagositosis sendiri dilakukan oleh leukosit Ada enam macam sel darah putih yang secara normal ditemukan dalam darah. Netrofil polimorfonuclear, eosinofil polimorfonuclear, basofil polimorfonuclear, merupakan sel-sel yang polimorfonuclear (berinti >1) dan mempunyai gambaran granular, maka disebut sel granulosit. Fungsi utama limfosit dan sel plasma adalah berhubungan dengan sistem imun seseorang. Sel-sel darah putih manusia normalnya berkisar antara 4.000 – 11.000 sel per mikroliter darah . Rentang normal elemen seluler pada darah manusia dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Sel/ mL (rata-rata)

Rentang normal

Presentase WBC

Total WBC

9.000

4000 – 11.000

Granulocytes

Neutrophils

5.400

3.000 – 6.000

50 – 70

Eosinophils

275

150 – 300

1 – 4

Basophils

35

0 – 100

0,4

Lymphocytes

2.750

1.500 – 4.000

20 – 40

Monocytes

540

300 – 600

2 – 8

Erythrocytes

4,8 – 5,4 X 106

Platelets

300.000

200.000 – 500.000

Di antara sel dalam tabel di atas, granulosit (leukosit PMN) yang paling banyak. Granulosit muda mempunyai inti berbentuk seperti tapal kuda yang menjadi multilobulus waktu sel tumbuh menjadi semakin tua. Sebagian besar granulosit mengandung granula yang berwarna dengan zat warna asam (eosinofil) dan sebagian mempunyai granula basofilik (basofil). Dua jenis sel lainnya yang normal ditemukan dalam darah tepi adalah limfosit, yaitu sel dengan inti besar dan bulat dan sedikit sitoplasma, dan monosit, yaitu sel dengan banyak sitoplasma agranuler dan inti berbentuk ginjal.(Ganong, 2001)

Tujuan dari praktikum ini adalah agar mahasiswa mampu melakukan tes aglutinasi terhadap pemeriksaan golongan darah dan menjelaskan hasilnya, memahami dan mempelajari prosedur pembuatan sediaan sampel darah dengan metode oles (smear methods), serta mengenal beberapa istilah dalam bidang imunobiologi.

BAHAN DAN CARA

Pemeriksaan Golongan Darah ABO dan Rh

A. Alat dan Bahan

1. Gelas obyek

2. Satu set larutan anti sera

a. Serum anti-A, warna biru

b. Serum anti-B, warna kuning

c. Serum anti-AB, tidak berwarna

d. Serum anti-D berisi IgG dan IgM,   tidak berwarna

B. Cara Kerja

1.Menyiapkan gelas obyek dan menandainya dengan empat buah tanda yaitu daerah A, B, AB,dan D.

2.Pada tiap tanda diteteskan darah dari probandus masing-masing satu tetes. Berturut-turut serum anti-A, anti-B, anti-AB, dan anti-D diteteskan pada setiap tetes darah yang ada di atas gelas obyek sesuai dengan tanda yang tertera.

3.Tiap campuran tetes darah dan tetes serum diaduk dengan ujung gelas obyek yang lain.

Identifikasi dan Kuantitatif Sel Leukosit

  1. Alat dan Bahan

1.Darah

2.Gelas obyek

3.Aquades

4.Methyl-alkohol

5.  Cat Giemsa 3%

6.  Mikroskop cahaya

7.Hand tally counter

8.Minyak imersi

9.Lancet

10.Kapas Alkohol

  1. Cara Kerja

v   Pembuatan Sediaan Film Darah Tipis

1.   Menyiapkan dua buah gelas obyek, A dan B.

2.   Meneteskan darah pada sisi kanan gelas obyek A.

3.   Menarik gelas obyek B sedikit ke belakang sehingga tetesan darah dari gelas obyek A tersentuh dan terjadi gaya kapilaritas, sehingga darah tersebar sepanjang sisi gelas obyek B. Antara gelas obyek A dan B dibentuk sudut kira-kira 25o-45o.

4.   Mendorong gelas obyek B ke sisi kiri gelas obyek A dengan mantap dan cepat sehingga terjadi film darah yang tipis. Melakukan pengecatan satu jam setelah pembuatan.

v   Pengecatan

1.   Melakukan fiksasi dengan mencelupkan sediaan dalam wadah yang berisi methyl-alkohol selama 3-4 menit kemudian mengeringkannya dalam suhu ruang.

2.   Menetesi seluruh permukaan sediaan oles dengan cat Giemsa 3% selama 30-40 menit.

3.   Kemudian mencuci sediaan yang telah dicat tersebut dengan aquades dingin dan mengeringkannya pada suhu ruang.

v   Cara Pemeriksaan

Sediaan diamati mulai dari daerah kepala hingga ekor dengan mikroskop pada perbesaran obyektif 10 kali. Bagian yang diamati adalah bagian yang eritrositnya tidak saling menumpuk. Setelah itu meneteskan minyak imersi dan mengamati dengan perbesaran mikroskop 100 kali. Menghitung masing-masing jenis leukosit per 100 sel leukosit, hasil dilaporkan dalam persen.

HASIL PENGAMATAN

Pemeriksaan Golongan Darah ABO dan Rh, serta Identifikasi dan Kuantitatif Sel Leukosit  masing-masing dilakukan terhadap tiga orang probandus. Dari ketiga percobaan tersebut didapatkan hasil sebagai berikut:

Tabel hasil pemeriksaan golongan darah ABO dan Rh

Aglutinasi Terjadi Pada Penilaian Golongan Darah Aglutinasi Terjadi Pada Penilaian

Anti-A

Anti-B

Anti-AB

Anti-D

Rh

Probandus 1

O

+

Positif

Probandus 2

O

+

Positif

Probandus 3

O

+

Positif

hasil praktikum pengetesan golongan darah

hasil praktikum pengetesan golongan darah

Probandus 1 Probandus 2 Probandus 3

Identifikasi leukosit

Macam Sel Probandus 1 Probandus 2 Probandus 3
Basofil 0% 24% 10,1%
Eosinofil 0% 14,8% 10,1%
Netrofil 6% 54,3% 43,4%
Limfosit 75% 8,6% 30,4%
Monosit 18% 7,4% 5,7 %

Keterangan:

*Perhitungan probandus 1 menggunakan perbesaran 1000x

*Probandus 2 dan 3 menggunakan perbesaran 400X

PEMBAHASAN

Kelompok antigen yang memiliki banyak arti klinis adalah kelompok antigen yang dikenal sebagai antigen alogeneik, yaitu antigen yang secara genetic diatur oleh determinan antigenic yang membedakan satu individu spesies tertentu dari individu lain pada spesies yang sama. Pada manusia determinan antigenic semacam ini terdapat pada sel darah merah, contoh alloantigen: ABO, RHo, golongan darah(disebut isoantigen), memiliki fungsi klinik untuk penyakit hemofilik pada neonatus dan reaksi transfusi.(Bellanti & Jackson, 1993)

Penggolongan darah sistem ABO yang kita kenal ditentukan berdasarkan ada atau tidaknya aglutinogen A dan B.Aglutinogen merupakan antigen, disebut juga aglutinogen karena dia mampu menyebabkan reaksi aglutinasi sel darah.  Bila tidak terdapat aglutinogen tipe A dalam sel darah merah seseorang, maka dalam plasmanya akan terbentuk antibodi yang dikenal sebagai aglutinin anti-A. Demikian pula, bila tidak terdapat aglutinogen tipe-B di dalam sel darah merah, maka dalam plasmanya terbentuk antibodi yang dikenal sebagai aglutinin anti-B. Golongan darah O, meskipun tidak mengandung aglutinogen, tetapi mengandung agglutinin anti-A dan anti-B. Golongan darah A mengandung aglutinogen tipe-A dan aglutinin anti-B, sedangkan golongan darah B mengandung aglutinogen tipe-B dan aglutinin anti-A. Golongan darah AB mengandung kedua aglutinogen A dan B, tetapi tidak mengandung aglutinin sama sekali.

Golongan Darah

Aglutinogen

Aglutinin

O

Anti-A dan Anti-B

A

A

Anti-B

B

B

Anti-A

AB

A dan B

Tabel golongan darah beserta aglutinogen dan aglutininnya

Pemeriksaan Golongan Darah ABO dan Rh pada percobaan kali ini menggunakan sampel darah yang dicampur aglutinin anti-A dan aglutinin anti-B, kemudian diamati sel darah merah yang “teraglutinasi” untuk mengetahui adanya reaksi antibodi-antigen. Dari ketiga probandus, semuanya bergolongan darah O karena saat ditetesi serum anti-A dan anti-B tidak terjadi reaksi aglutinasi. Jika individu memiliki aglutinin Anti-A dan Anti-B ditetesi dengan serum yang sama, maka tidak terjadi ikatan antigen-antibodi yang secara makroskopis dapat diamati dengan reaksi aglutinasi. (Guyton & Hall, 2007)

Bila darah yang tidak cocok dicampur sehingga aglutinin plasma anti-A atau anti-B dicampur dengan sel darah merah yang mengandung aglutinogen A atau B, terjadilah aglutinasi sel darah merah. Terdapat dua tahapan aglutinasi, yang pertama adalah perlekatan molekul antibodi dengan antigen yang tidak terlarut, kedua terjadi pembentukan pola-pola geometris (Sheehan, 1997). Menurut Guyton & Hall (2007), proses aglutinasi diawali oleh aglutinin bivalen atau polivalen yang akan melekatkan diri pada sel darah merah. Karena aglutinin mempunyai dua tempat pengikatan (tipe IgG) atau 10 tempat pengikatan (IgM), maka satu aglutinin dapat melekatkan diri pada dua atau lebih sel darah merah yang berbeda pada waktu yang sama, dengan demikian menyebabkan sel saling mendekat satu sama lain. Keadaan ini menyebabkan sel-sel menggumpal bersama-sama (aglutinasi). Kemudian gumpalan ini menyumbat pembuluh darah kecil di seluruh sistem sirkulasi, dan pada akhirnya terjadi hemolisis sel darah merah.

Seperti yang kita ketahui, karena orang bergolongan darah O tidak mempunyai antigen A dan B, maka dia bisa mendonorkan darahnya kepada resipien lain yang tidak sama golongan darahnya. Itulah sebabnya golongan darah O disebut donor universal. Namun donor darah terkadang juga memberikan efek tertentu, salah satunya adalah menekan fungsi imunitas seseorang sehingga dapat meningkatkan kerentanan seseorang terhadap infeksi, tetapi hal ini tidak terjadi secara tetap. Pada tahun 1997, Eaves-Pyles & Alexander mengemukakan bahwa kemampuan dari tranfusi darah untuk meningkatkan kemampuan bakteri untuk menginfeksi bergantung pada faktor genetik seseorang.

Pada hasil uji rhesus, didapatkan hasil bahwa ketiga probandus memiliki rhesus positif ,namun pada probandus ke 2 dibutuhkan dua kali pengetesan untuk anti D baru didapatkan hasil positif, hal ini dimungkinkan karena kesalahan praktikan pada saat pemberian jumlah tetesan anti D pada pengetesan pertama. Seseorang yang mempunyai rhesus positif berarti dia memiliki antigen D, sedangkan seseorang yang tidak memiliki antigen D dikatakan sebagai rhesus negatif. Penyakit yang sering berhubungan dengan rhesus adalah penyakit hemolitik pada janin dan bayi baru lahir, pertama kali dijelaskan pada 1609 dalam rangkaian bayi kembar: bayi pertama adalah hidropik dan lahir mati, dan bayi kedua sangat kuning dan kemudian meninggal yang sekarang kita sebut kernicterus. Pada1932, ditemukan bahwa hydrops dan kernicterus adalah dua aspek dari penyakit yang sama di mana hemolisis sel darah merah janin dan neonatus mengakibatkan extramedullary erythropoiesis, hepatosplenomegali dan pencurahan erythroblasts ke dalam sirkulasi, suatu kondisi yang disebut erythroblastosis fetalis. Kernicterus selanjutnya terbukti karena pengendapan bilirubin dalam otak. (Bowman, 1998). Hemolytic disease pada fetus muncul pada bayi dengan RhD yang positif yang dibawa oleh ibu dengan  RhD negatif yang telah diimunisasi sel darah merah dengan RhD positif melalui transplacental barrier selama periode kehamilan. Antibodi IgG maternal hingga RhD melewati placenta, melapisi dan menghancurkan sel darah merah RhD positif janin.(Lo YMD, et al., 1998). Kasus inkompabilitas RhD tidak hanya membahayakan bayi tetapi juga orang dewasa, khususnya saat melakukan transfusi darah. Orang dengan RhD negatif lebih berisiko karena ketika mereka menerima darah dari orang dengan rhesus positif, antibodinya akan menyerang sel darah merah yang baru masuk tadi. Hal ini dapat menyebabkan aglutinasi dan bahkan kematian. (Anitei, 2008)

Pembahasan selanjutnya mengenai sel darah putih yang merupakan salah satu komponen sistem pertahanan tubuh kita. Leukosit terdiri atas sel fagosit dan sel imunosit. Yang termasuk sel fagosit adalah neutrofil (PMN), eosinofil, basofil, dan monosit. Sedangkan limfosit dan sel plasma termasuk sel imunosit. Pada keadaan normal, perbandingan persentase komponen leukosit adalah : netrofil 62%, eosinofil 2,3%, basofil 0,4%, monosit 5,3%, limfosit 30%. Persentase netrofil akan mengalami peningkatan saat terjadi infeksi bakteri, eosinofil meningkat pada reaksi alergi dan infeksi parasit, sedangkan basofil akan meningkat jumlahnya pada kondisi inflamasi jaringan.( Bregman, 1996).

Penghitungan diferensial leukosit ternyata memberi makna klinis yang signifikan terhadap beberapa kelainan di dalam tubuh. Leukosit memiliki peranan sebagai pertahanan tubuh terhadap berbagai agen toksik dan infeksi. Mekanismenya antara lain dengan menghancurkan agen invasif melalui proses fagositosis dan membentuk antibodi dan limfosit yang disensitifkan. Kenaikan titer salah satu atau beberapa jenis leukosit ternyata memberikan indikasi penyakit tertentu, misalnya apendisitis, terjadi kenaikan leukosit dan netrofil yang cukup signifikan dan berperan dalam proses inflamasi. Bahkan derajat inflamasi apendisitis dapat diketahui dengan jumlah leukosit dan netrofil PMN pasien. (Horng-Ren Yang, et al, 2006). Berbagai keadaan-keadaan yang menyebabkan peningkatan dan penurunan jumlah sel leukosit.

  1. Neutrofil leukositosis

Dikatakan leukositosis apabila jumlah neutrofil berada pada level > 7,5 x 109.  Karakteristik leukositosis:  terjadinya pergeseran ke kiri dari dalam differential white cell count pada apusan darah tepi. ada beberapa penyebab neutrofil leukositosis, yaitu : Infeksi bakteri (bakteri pyogenic), Inflamasi dan nekrosis jaringan, kelainan metabolisme, misal, uremia, asidosis, gout, Neoplasma, hemolisis atau hemorargi akut, terapi kortikosteroid.

  1. Neutropenia

Jumlah neutrofil terendah adalah sekitar 2,5 X 109/l. Ketika level neutrofil absolute mencapai 0,5 X 109/l  menandakan pasien mempunyai infeksi yang sifatnya kambuhan (recurrent) dan pada saat jumlahnya hanya 0,2 X 109/l, menandakan bahwa ada kelainan fungsi tubuh.

(Hoffbrand & Pettit, 1998)

Pada percobaan Identifikasi dan Kuantitatif Sel Leukosit dilakukan penghitungan jenis leukosit per 100 sel leukosit, dan hasilnya diubah dalam persen. Penghitungan pada sampel darah probandus 1 dengan menggunakan perbesaran 1000X didapatkan hasil sebagai berikut : basofil 0%, eosinofil 0%, netrofil 0%, limfosit 75%, monosit 18%. Selanjutnya Probandus II menggunakan perbesaran 400x didapat hasil: basofil 2,4%, eosinofil 14,8%, netrofil 54,3%, limfosit 8,6%, monosit 7,4 %, sedangkan pada probandus III didapat hasil: basofil 10,1%, eosinofil 10,1%, netrofil 43,4%, limfosit 30,4%, monosit 5,7 %. Jumlah eosinofil, basofil dan monosit relatif sedikit pada persentase. Mengingat fungsi utama netrofil adalah fagositosis, sehingga kenaikan netrofil menjadi dalah satu indikator proses inflamasi (peradangan) dan infeksi. Leukosit ini juga memberi respon fagositik dan berperan pada proses peradangan. Secara klinis, eosinofilia terjadi terutama jika terjadi reaksi alergi dan infeksi cacing, sedangkan basofil berperan dengan sel mast dalam melepaskan heparin ke dalam darah sehingga mencegah koagulasi darah.

Hasil yang didapatkan berbeda dengan standar teori yang ada. Kesalahan ini selain disebabkan karena kesalahan pada saat mengidentifikasi, juga dapat dikarenakan terjadinya penghitungan ulang pada wilayah yang sama pada saat mengamati dengan mikroskop. Penggunaan perbesaran mikroskop yang berbeda dalam perhitungan juga bisa menjadi salah satu pemicu perbedaan hasil. Kesalahan lain bisa disebabkan pada saat pembuatan preparat apus, dimana sampel darah yang digunakan terlalu tebal ataupun terlalu tipis sehingga tidak terlihat pada saat pengamatan dengan mikroskop. Kemungkinan terakhir yakni tubuh probandus benar-benar sedang dalam keadaan patologis

KESIMPULAN

Aglutinasi yang terjadi pada pemeriksaan golongan darah menunjukkan adanya interaksi antara antigen-antibodi yang sejenis. Penghitungan diferensial jumlah relatif leukosit berfungsi untuk mengetahui kondisi-kondisi patologis yang secara klinis dapat diketahui dengan pemeriksaan laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA

Anitei, Steffan. 2008. The Rh Factor . Softpedia

http://news.softpedia.com/newsPDF/The-Rh-factor-84767.pdf (diakses:24 september 2009)

Bellanti, J.A. & Jackson, A.L. 1993. Imunologi III. Jogjakarta: Gadjahmada University press.

Bowman, J.M., RhD Hemolytic Disease of the Newborn. NEJM.1998 ; (339) : 1775-1777

Bregman, Ronald A., 1996, Histology, W. B. Saunders Company : Philadelphia

Eaves-Pyles, T.,  Alexander, J. W. The Effect of Blood Transfusion on Susceptibility to Bacterial Infection in Genetically Defined Mouse Models. Lippincott Williams & Wilkins. 1997: (43): 894-898

Fried, G.H & Fried, G.J., 2006. Schaum’s Outlines Biologi, edisi kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Ganong, William. F., 2001, Review of Medical Physiology, 20th ed., The Mc. Graw – Hill                         Companies Inc. : Sanfransisco

Guyton, Arthur C & Hall, John E.2007.Fisiologi Kedokteran, edisi 11. Jakarta: EGC.

Hoffbrand, A.V  & Pettit, J.E. 1998. Essential Haematology 3rded. Blackwell Science, Oxford, London

Horng-Ren Yang, Yu Chun Wang, Ping Kuei Shung et al. Laboratory Tests in Patients with Acute Appendicitis. ANZ Journal of Surgery. 2006; 76 (1-2): 71 – 74

Lee, G. Richard.,Foerster, John.,Lukens John., Paraskevas, frixos., Greer, John P., Rodgers, George M. 1999. Wintrobe’s Clinical Hematology 10thed. Williams &Wilkins Company

Lo YMD, Hjelm NM, Fidler C, et al. Prenatal diagnosis of fetal RhD status by molecular analysis of maternal plasma. N Engl J Med 1998;(339):1734-1738.

Mayer, Gene. 2009. Immunoglobulins- Antigen-Antibody Reactions  and Selected  Tests .  University of South Carolina. http://pathmicro.med.sc.edu/mayer/ab-ag-rx.htm

Sheehan, Catherine.1997. Clinical Immunology Principles And Laboratory Diagnosis 2nded. Lipincott: Philadelphia, New York

Yuwono, T. 2008. Biologi Molekular. Jakarta:Erlangga.

pengenalan peralatan praktikum biologi mulut 2

PENGENALAN PERALATAN LABORATORIUM

Disusun sebagai salah satu prasyarat mata kuliah Biologi Mulut-2

Oleh :

Mawar Putri Julica

07/250270/KG/8134/A5

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI

UNIVERSITAS GAJAH MADA

YOGYAKARTA

2009

PENGENALAN PERALATAN LABORATORIUM

Mawar Putri Julica

07/250270/KG/08134

Laboratorium Biologi Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

15 September 2009

INTISARI

Dalam melakukan penelitian dibutuhkan alat yang dapat memfasilitasi kelancaran pekerjaan di dalam sebuah  laboratorium. Oleh karena itu alat juga merupakan komponen penunjang yang penting di dalam sebuah penelitian. Pengenalan alat dibutuhkan agar praktikan dapat memahami fungsi, prinsip kerja serta aplikasi dari peralatan-peralatan yang ada, sehingga praktikan dapat menentukan alat yang tepat untuk mendukung percobaan yang akan dilakukan. Peralatan laboratorium sendiri pada dasarnya terdiri dari peralatan utama dan peralatan penunjang. Peralatan yang akan penulis bahas untuk peralatan utama diantaranya adalah mikroskop,  sterilisator, PCR, inkubator, dan Centrifugator, dan lima peralatan penunjang  yang akan dibahas diantaranya vortex mixer, water distillation dan pH meter. Mikroskop merupakan alat yang paling sering dijumpai di laboratorium. Terdapat dua jenis mikroskop yaitu mikroskop cahaya dan mikroskop elektron. Sterilisator adalah alat yang digunakan untuk mensterilkan instrumen dan bahan dari mikroorganisme. Sedangkan inkubator berfungsi untuk menciptakan keadaan lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan sel. Metode yang digunakan adalah dengan mendengarkan presentasi dosen, membaca literatur serta searching melalui internet agar diperoleh pemahaman yang lengkap.

Kata kunci : Peralatan Laboratorium, mikroskop, sentrifugator

PENDAHULUAN

Saat ini ada banyak sekali peralatan laboratorium yang digunakan untuk menunjang berbagai percobaan dan penelitian yang akan kita lakukan Peralatan-peralatan tersebut terdiri dari berbagai jenis dan memiliki fungsi yang berbeda-beda. Pengenalan alat-alat laboratorium juga penting dilakukan untuk keselamatan kerja saat melakukan penelitian. Alat-alat laboratorium biasanya dapat rusak atau bahkan berbahaya jika penggunaannya tidak sesuai dengan prosedur.

Instrument utama laboratorium yang sering kita jumpai adalah mikroskop. Mikroskop merupakan alat bantu utama dalam melakukan pengamatan dan penelitian dalam bidang biologi. Mikroskop biasa digunakan untuk melihat objek yang kecil (mikroskopis) dan struktur-struktur yang ada didalamnya. Proses pembesaran gambar ini dikenal dengan istilah magnifikasi (perbesaran) dan magnifikasi ini diukur dalam diameter. Pada mikroskop konvensional, sumber cahaya masih berasal dari sinar matahari yang dipantulkan dengan suatu cermin datar ataupun cekung yang terdapat dibawah kondensor. Cermin ini akan mengarahkan cahaya dari luar kedalam kondensor. Mikroskop yang ada saat ini sudah lebih modern, karena telah dilengkapi lampu sebagai pengganti sumber cahaya matahari

Polymerase chain reaction (PCR) adalah sebuah teknologi laboratorium yang utama dalam biologi mokuler. PCR mempunyai derajat spesifisitas dan sensitivitas yang cukup tinggi. Dengan teknik PCR ini, dalam hitungan menit kita bisa menghasilkan jutaan copy DNA.

Selain itu, ada juga beberapa peralatan penunjang yang perlu kita ketahui, seperti : pipet, pH meter,microwave, dan lain-lain. Dengan praktikum ini diharapakan mahasiswa mengerti dan mampu menjelaskan mengenai fungsi dan prinsip kerja dari peralatan-peralatan laboratorium yang akan digunakan dalam praktikum biologi mulut. Dengan mengetahui cara-cara penggunaan alat tersebut dengan baik dan benar, kesalahan prosedur pemakaian alat dapat diminimalisir sedikit mungkin. Hal ini penting supaya saat melakukan penelitian, data yang diperoleh akan benar pula. Data-data yang tepat akan meningkatkan kualitas penelitian seseorang.

BAHAN DAN CARA

Ada banyak peralatan laboratorium yang diperkenalakan dalam praktikum ini. Namun dalam paper hanya akan dibahas lima peralatan utama dan lima peralatan penunjang yaitu: mikroskop, PCR, incubator, cenrtifugator, waterbath, pipet, pH meter, stirrer.

Praktikum kali ini, mahasiswa tidak melihat peralatan secara langsung, tetapi hanya mendengarkan presentasi dosen. Dosen menjelaskan mengenai berbagai macam peralatan laboratorium yang ada di Lab.Biologi Mulut, fungsi serta prinsip kerja alat-alat tersebut.

HASIL PENGAMATAN

  1. 1. Mikroskop

a. SEM                                                   b. TEM                                   c. Mikroskop yang dilengkapi kamera


2.Alat PCR                       3.Waterbath               4. Inkubator              5.Sentrifugator

6.stirrer             7.Vortex mixer        8. pH meter      9.Water distillation   10. Mikropipet

PEMBAHASAN

  1. 1. Mikroskop

Mikroskop merupakan alat bantu yang memungkinkan kita dapat mengamati obyek yang berukuran sangat kecil. Mikroskop yang dirakit dari lensa optik memiliki kemampuan terbatas dalam memperbesar ukuran objek. Hal ini karena batas difraksi cahaya yang ditentukan oleh panjang gelombang cahaya. (Utami, 2007)

Proses pembesaran gambar ini dikenal dengan istilah magnifikasi (perbesaran). Ada dua jenis lensa pada mikroskop. Keduanya terletak pada kedua ujung tabung mikroskop. Lensa pertama adalah lensa yang terletak dekat dengan objek, lensa ini dikenal sebagai lensa obyektif, sedangkan lensa lainnya yang terletak di bagian ujung atas tabung, berdekatan dengan mata pengamat adalah lensa okuler (eyepiece). Perbesaran gambar yang terjadi adalah hasil kerja dari kedua lensa ini. Lensa obyektif bekerja dalam pembentukan bayangan pertama, kemudian bayangan yang dihasilkan oleh lensa obyektif akan diperbesar lagi oleh lensa okuler. Lensa objektif mempunyai sifat bayangan maya, terbalik dan diperkecil, sedangkan lensa okuler mempunyai sifat bayangan nyata, tegak dan diperbesar.Total perbesaran dihitung sebagai hasil kali antara perbesaran lensa obyektif dan lensa okuler. Misal, perbesaran obyektif adalah 10X dan perbesaran okuler adalah 10X, maka pada mikroskop akan terjadi perbesaran gambar sebesar 100X (Cheesbrough, 2005).

Mikroskop elektron mempunyai kemampuan pembesaran objek atau resolusi yang lebih tinggi dibanding mikroskop optik. Sebenarnya, dalam fungsi pembesaran objek, mikroskop elektron juga menggunakan lensa, namun bukan berasal dan jenis gelas sebagaimana pada mikroskop optik, tetapi dan jenis magnet. Sifat medan magnet ini dapat mengontrol dan mempengaruhi elektron yang melaluinya, sehingga dapat berfungsi menggantikan sifat lensa pada mikroskop optik. Kekhususan lain dan mikroskop elektron ini adalah pengamatan obyek dalam kondisi hampa udara atau vakum. Hal mi dilakukan karena sinar elektron akan terhambat alirannya jika menumbuk motekul-molekul yang ada di udara normal. Dengan membuat ruang pengamatan objek berkondisi vakum. tumbukan elektron-molekul dapat terhindarkan. (Utami, 2007)

Mikroskop electron dapat mengungkapkan banyak organel yang mustahil dilakukan oleh mikroskop cahaya. Tetapi mikroskop cahaya memiliki keunggulan, khususnya untuk mengkaji sel-sel hidup. Kelemahan mikroskop electron ialah dalam hal metode yang digunakan untuk mempersiapkan sel mati spesimennya. Selain itu mikroskop electron menghasilkan artifak-artifak, cirri- ciri structural yang terlihat dalam mikrograf yang sebenarnya tidak ada dalam sel hidup. (artifak dapat juga terlihat dalam mikroskop cahaya). (Campbell, et all, 2002)

Ada dua jenis mikroskop, yaitu mikroskop cahaya dan mikroskop elektron. Yang termasuk mikroskop cahaya adalah :

  • Mikroskop Fasa Kontras

Mikroskop ini Menggunakan retardasi cahaya spesimen untuk menghasilkan perbedaan fase yang dikonversi ke kontras. Fase kontras menggunakan iluminasi bidang terang dengan suatu phase annulus (pada kondensor) dan phase plate (dipasang pada obyektif) pada lintas cahaya. Aplikasi untuk spesimen hidup, spesimen yang tidak diwarnai. (Norris & Ribbons, 1971)

  • Mikroskop fluoresensi

Mikroskop Fluorescence berisi filter khusus dan menggunakan suatu metoda iluminasi khusus untuk menghasilkan gambaran flourosensi yang dipancarkan dari molekul dalam suatu spesimen. filter dirancang untuk mengisolasikan dan rmemanipulasi dua satuan eksitasi dan panjang gelombang fluorescence. Untuk menghasilkan gambaran yang baik spesimen diwarnai dengan fluorochrome. Mikroskop fluorescence sering digunakan untuk menggambarkan fitur khusus dari spesimen kecil seperti mikroba. Melakukan studi viabilitas pada populasi sel (apakah mereka hidup atau mati), menampikan materi genetik pada sel (DNA dan RNA),melihat sel – sel spesifik dalam populasi yang lebih besar dengan teknik khusus. (Murphy,2002)

  • Mikroskop medan gelap

Mikroskop ini digunakan jika dibutuhkan kontras yang maksimum contoh untuk mengamati bakteri hidup khususnya bakteri yang tampak transparan. Mikroskop medan gelap berbeda dengan mikroskop cahaya majemuk biasa hanya dalam hal adanya kondensor khusus yang dapat membentuk kerucut hampa berkas cahaya yang dapat dilihat. Berkas cahaya dari kerucut hampa ini dipantulkan dengan sudut yang lebih kecil dari bagian atas gelas preparat (Cheesbrough, 2005).

  • Mikroskop Elektron

Mikroskop elektron mempunyai perbesaran sampai 100.000 kali, elektron digunakan sebagai pengganti cahaya. Mikroskop elektron mempunyai dua tipe, yaitu mikroskop elektron scanning (SEM) dan mikroskop elektron transmisi (TEM). SEM digunakan untuk studi detil arsitektur permukaan sel (atau struktur renik lainnya), dan obyek diamati secara tiga dimensi. Sedangkan TEM digunakan untuk mengamati struktur detil internal sel. (Cheesbrough, 2005).

  • Scanning Electron Microscope (SEM)

Karakterisasi awal dapat dilakukan dengan alat bantu mikroskop Scanning electron mikroskop(SEM). mikroskop SEM merupakan suatu mikroskop dalam proses dalam menggambarkan suatu objek dengan bantuan sumber electron ditembakkan dengan menyapu daerah seluruh permukaan sampel yang mempunyai konduktivitas tinggi sehingga membentuk gambar tiga dimensi yang berasal dari katoda filament yang memiliki resolusi tinggi. SEM mempunyai perbesaran lebih hingga jutaan kali daripada mikroskop optic. Selain itu, merupakan alat multifungsi tidak hanya dapat menghasilkan data-data kualitatif tetapi juga data-data kuantitatif. Scanning electron microscope mempunyai fasilitas yang lengkap dengan pengontrolan secara komputerisasi. (Priyotomo, 2005)

Pada penelitian mengenai efek soft drink terhadap perubahan mineral email gigi, untuk memeriksa morfologi permukaan gigi dan kedalaman erosinya, digunakan mikroskop scanning electron (Taji, 1999).

  • Transmission Electron Microscope (TEM)

Dalam penelitian konsentrasi asbestos yang naik selama perpindahan pada tangki air rumahan. Sampel  membrane filter yang dikumpulkan untuk mikroskop fase kontras (PCOM)  ditolak karena memuat partikel yang berlebihan. Kemudian menggunakan SEM pada 10 000 x dan TEM  pada 2200 x,  didapatkan hasil perhitungan  yang hampir tak bisa dibedakan. Oleh karena itu TEM memiliki kemampuan analisis yang lebih besar dibanding  SEM. (Breysse, et all, 1989)

  • Mikroskop Konfokal

Mikroskop ini meggunakan penerangan berupa sinar laser dan dapat dihubungkan dengan komputer sehingga mampu menghasilkan gambar tiga dimensi. Dikatakan bahwa mikroskop konfokal perlahan sudah mulai digunakan dalam penelitian di Kedokteran Gigi. Biasanya digunakan untuk mempelajari struktur enamel dan dentin (Duchner,1997).

2. Alat PCR

Dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) , setiap materi genetik apapun dapat ditcntukan dengan  tepat dan direplikasi dalam jumlah banyak dengan cara menentukan sepasang primer yang mengapit sekuens DNA yang dikehendaki. Cara kerja PCR dimulai dan pengikatan dua oligonukleotida (primer) yang telah dikeahui komposisinya ke suatu sekuens target target yang diinginkan. Kemudian, DNA polimerase akan memperpanjang oligonukleotida tersebut. Setiap reaksi akan diulang setelah tahap denaturasi sehingga terjadilah amplifikasi (penguatan) secara eksponensial.                                   .
Pada PCR terdapat tiga suhu atau tahapan inkubasi yang diulangi sebanyak 20-50 kali. Satu ulangan dan ketiga tahap inii disebut siklus. Tahap pertama disebut denaturasi, di mana kedua untai molekul DNA target akan terpisah (terdenaturasi) oleh pemanasan DNA dengan suhu 94°C untuk memutus ikatan hidrogen di antara basa-basa, menghasilkan dua untai DNA yang terpisah. Tahap kedua disebut penempelan (annealing), di mana dua primer akan berhibridisasi menjadi sekuens komplementer pada untai tunggal DNA. Primer-primer yang dimaksud adalah sekuens DNA untai tungga] sintetis dan pendek (panjang 20-30 basa). Primer-primer dipilih sedemikian rupa agar satu primer bersifat komplementer dengan salah saW ujung gen yang diinginkan pada salah satu untai. Sementara itu. primer kedua bersifat komplementer dengan ujung yang Iainnya pada untai DNA yang satu lagi. Primer akan membentuk ikatan hidrogen (menempel) dengan sekuens komplementernya sehingga terbentuklah molekul untai ganda yang stabil. Suhu penempelan berkisar antara 37-60°C. Pada tahap ketiga, ekstensi atau elongasi. primer akan diperpanjang oleb DNA polimerase pada suhu 72°C.Ketiga proses di atas terus berulang sampai didapatkan untaian DNA yang berlipat ganda. (Stansfield, et all, 2006)

3. Water bath

Waterbath diperlukan untuk menginkubasi botol-botol yang akan digunakan dalam media kultur, larutan didalam flasks, atau wadah-wadah yang berukuran besar, atau saat ingin menginkubasi tempat-tempat (rak) tabung. Water bath mempunyai berbagai tipe dan kapasitas yang bervariasi. Waterbath yang mahal mempunyai thermostat dan baling-baling untuk sirkulasi air dan menjaga temperaturnya untuk meminimalisir tumbuhnya mikroorganisme di dalam water bath dapat ditambahkan cairan bakterisidal missal merthiolate (thiomersal) kedalam air dengan perbandingan 1:1000. Setiap 3-6 bulan cek apakah terdapat bagian water bath yang korosi.(Cheesbrough, 2005).

4. Inkubator

Inkubator diperlukan saat mengkultur bakteri dan beberapa transfusi darah, pemeriksaan serologi, dan uji-uji kimia untuk menjaga temperaturnya. Dalam melakukan inkubasi bakteri perlu diperhatikan suhu dan tekanan (atm) yang dibutuhkan metabolisme tiap mikroorganisme berbeda-beda.jika incubator tidak memiliki penunjuk suhu masukan thermometer ke dalam incubator untuk membantu pengecekan suhu. (Cheesbrough, 2005).

5. Sentrifugator

Dengan kekuatan yang melebihi gaya gravitasi, sentrifugator dapat mengendapkan partikel-partikel dalam sebuah larutan. Semakin besar kekuatan sentrifugalnya , maka pengendapannya menjadi semakin cepat dan efektif. Pengendapan terjadi saat kita memberikan kecepatan tertentu,dan hal ini tergantung jari-jari dari sentrfugator. Ada dua tipe baling-baling pada sentrifugator, yaitu : fixed-angle dan swing-out. Pemisahan partikel pada tipe fixed-angle terjadi lebih cepat dan pengaplikasian kekuatan sentrifugal yang besar lebih mudah dilakukan pada tipe ini dibanding swing-out type. Kemudian, saat menggunakan baling-baling yang tipe swing out , panjang tabung tidak boleh melebihi jari-jari sentrifugator karena dapat terjadi kerusakan saat alat dinyalakan. Sebuah laboratorium minimal memiliki dua jenis sentrifugator:

1.General purpose bench centrifuge

Untuk mensendimentasi sel, bakteri dan parasit di dalam cairan untuk pemeriksaan mikroskopis, untuk memperoleh serum, mencuci sel darah merah, crossmatching, menyediakan serum dan plasma untuk tes antibody dan tes klinis lainnya.

2.Microhaematocrit centrifuge

Untuk mengetes adanya anemia ketika pengukuran penggunaan hematokrit tidak dapat digunakan, untuk melaksanakan pengukuran konsentrasi microhematokrit untuk mengecek pergerakan trypanosomes dan microfilaria. (Cheesbrough, 2005).

6. Combined Stirrer and hot plate

Stirrer digunakan untuk mempersiapkan media untuk media kultur dan reagen, dan juga ketika membutuhkan memanaskan cairan. Magnetic stirrer dapat mencapai kecepatan 100-1500 rpm dengan pengontrol kecepatan elektrik. Magnetic stirrer dapat mengaduk hingga 5 liter cairan. (Cheesbrough, 2005).

7. Vortex mixer

Untuk laboratorium berskala kecil,vortex mixer merupakan peralatan yang cukup adequate. Ketika bekerja sdengan tabung yang besar, dapat digunakan multivortex. (law,1996). Vortex mixer ini biasa digunakan untuk mencampur larutan dalam tabung reaksi, botol, dan flasks secara cepat dan aman, juga digunakan untuk menghancurkan substansi pada saat persiapan pembuatan reagen. Alat ini dilengkapi dengan pengontrol kecepatan yang dapat diatur sesuai dengan kebutuhan (Cheesbrough, 2005).

8. Micropipet

Para peneliti sering menggunakan bahan tertentu dengan ukuran sangat kecil, untuk itu diputuhkan mikropippet untuk mempermudah pekerjaan. Mikropipet terdiri dari ukuran 20 µL, 100 µL, 1000 µL. Gunakan tip yang baru untuk setiap sample yang berbeda untuk menghindari kontaminasi. (Biotechnology Laboratorium-University Of California Davis, 2002). Pipet yang biasa dipakai saat ini adalah pipet yang terbuat dari plastik atau glass yang didesain untuk mengukur single volume atau beberapa volume berbeda. Saat ini banyak laboratorium sudah menggunakan pipet otomatis yang ukurannya sudah diset sehingga lebih mudah untuk digunakan (Cheesbrough, 2005).

9. pH meter

pH meter digunakan untuk mengukur nilai pH suatu larutan. Prinsip kerja alat ini yaitu mengukur aktivitas ion hidrogen yang menyebabkan timbulnya tegangan listrik pada ujung probe (Cheesbrough, 2005).

10. Water distillation

Salah satu cara untuk memurnikan air adalah dengan proses distilasi. Proses ini dilakukan dengan merebus air dan uap panasnya dikondensasikan menggunakan condenser. (Cheesbrough, 2005). Distilasi melibatkan penguapan air oleh perebusan. Uap naik, meninggalkan sebagian besar bakteri, virus, bahan kimia, mineral, dan polutan dari air. uap ini kemudian pindah ke sebuah kamar terkondensasi, di mana didinginkan dan terkondensasi menjadi air suling.(Balch, 2006)

KESIMPULAN

Seorang peneliti membutuhkan pemahaman mengenai alat yang dapat menunjang penelitian baik mengenai fungsi, prinsip dan cara kerja. Terdapat banyak sekali jenis peralatan laboratorium yang ada, bahkan banyak peralatan laboratorium memiliki nama yang sana tetapi memiliki variasi bentuk dan cara penggunan, namun sama secara fungsionalnya.

DAFTAR PUSTAKA

Balch, Phyllis A .2006. Prescription for Nutritional Healing: A Practical A-To-Z Reference to         Drug-Free Remedies. London: Penguin books LTD. Hal: 50

Biotechnology Laboratorium, University Of California Davis. 2002. Micropipet technique.

http://ppge.ucdavis.edu/Equipment/Protocols/micropipet_technique_05.pdf,                   diakses tanggal: 13 september 2009

Breysse, P.N., Cherrie, J.W., Addison, J., Dodgson, J. 1989. Evaluation of Airborne Asbestos          Concentration Using TEM and SEM During Residential Water Tank Removal. Ann.           occup. Hyg 33(2) : 243-256.

Campbell, N.A., Reace, J.B., Mitchell, L.G. 2002. Biologi, edisi ke 5. Jakarta: Erlangga.

Hal: 112-114

Cheesbrough, Monica. 2005. District Laboratory Practice in Tropical Countries, ed.vol.2. Cambridge: Cambridge University Press, halaman 120-140

Duschner/Heinz. 1997. Fact and Artefact in Confocal Microscopy. Journal of Advances in Dental Research 11 ( 4) : 433-441.

Law, Brian.1996.Immunoassay: a practical guide .London: CRC Press. Halaman: 98

Murphy, Douglas B. 2002.Fundamentals of Light Microscopy and Electronic Imaging.                               Canada: Wiley-IEEE.

Norris, J. R. and Ribbons, D. W. 1971.Methods in Microbiology. London: Academic Press.

Priyotomo, Gadang. 2005. Karakterisasi Awal Kegagalan Material Baja Karbon Rendah Akibat  Korosi Atmosfer di Lingkungan Industri. Korosi 14 (1):9-11

Stansfield, W.D., Colome, J.S., Cano, R.J. 2006. Scaum’s easy outline Biologi Molekuler dan Sel.   Jakarta: Erlangga. Hal: 82-86

Taji/Sue S. 1999. Electron Probe Microanalysis of Surface Mineral Changesin Dental Enamel Produced by Acidic Soft Drinkks. Australian Dental Journal 44(4)

Utami, H.P .2007. Mengenal Cahaya dan Optik. Jakarta: Ganeca Exact.

SICKNESS ILLNESS DISEASE

TUGAS SOSIOLOGI

Nama : Mawar Putri Julica

Nim : 07/250270/KG/08134

PENGERTIAN SAKIT (illness)

Sakit merupakan proses dimana fungsi individu dalam satu atau lebih dimensi yang ada mengalami perubahan atau penurunan bila dibandingkan dengan kondisi individu sebelumnya.

Sakit adalah keadaan dimana fisik, emosional, intelektual, sosial, perkembangan, atau seseorang berkurang atau terganggu, bukan hanya keadaan terjadinya proses penyakit.

Oleh karena itu sakit tidak sama dengan penyakit. Sebagai contoh pasien dengan Leukemia yang sedang menjalani pengobatan mungkin akan mampu berfungsi seperti biasanya, sedangkan pasien lain dengan kanker payudara yang sedang mempersiapkan diri untuk menjalani operasi mungkin akan merasakan akibatnya pada dimensi lain, selain dimensi fisik.

Perilaku sakit merupakan perilaku orang sakit yang meliputi: cara seseorang memantau tubuhnya; mendefinisikan dan menginterpretasikan gejala yang dialami; melakukan upaya penyembuhan; dan penggunaan sistem pelayanan kesehatan.

Seorang individu yang merasa dirinya sedang sakit perilaku sakit bisa berfungsi sebagai mekanisme koping.

PENGERTIAN PENYAKIT (disease)

disease dimaksudkan gangguan fungsi atau adaptasi dari proses-proses biologik dan psikofisiologik pada seorang individu.

PENGERTIAN PERAN SAKIT (sickness)

Peran adalah suatu pola tingkah laku, kepercayaan, nilai, sikap yang diharapkan oleh masyarakat muncul dan menandai sifat dan tindakan si pemegang kedudukan

sickness dimaksudkan reaksi personal, interpersonal dan kultural terhadap penyakit atau perasaan kurang nyaman

Manfaat Peran Sakit

Pada umumnya anggota masyarakat ingin menjadi orang sehat, atau lebih menyukai sehat daripada sakit Di pihak lain, peran sakit sebagai “penyimpangan”, merupakan bentuk perilaku adaptif yang dapat diterimamasyarakat. Sebagian anggota masyarakat memanfaatkan peran sakit untuk mengurangi konflik antara kebutuhan pribadi dengan tuntutan peran.

HUBUNGAN ANTARA SICKNESS, ILLNESS, DISEASE.

Para dokter mendiagnosis dan mengobati disease, sedangkan. Pasien menderita illness. Kedua pengertian ini tidak identik. Illness dapat disebabkan oleh disease, tetapi tidak selalu illness. disertai dengan adanya kelainan organik maupun fungsional dari tubuh. Pengertian illness dibentuk oleh faktor-faktor kultural, yang dipengaruhi oleh persepsi, pemberian nama, penjelasan, dan proses penilaian dari pengalaman yang tidak menyenangkan. Semua hal ini dibentuk dalam lingkungan keluarga, sosial dan kulturaL Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pengertian illness adalah pengertian yang merupakan konstruk kultural. Dalam perbedaan antara kedua.

Sakit belum tentu karena penyakit, akan tetapi selalu mempunyai relevansi psikososial. Pengertian sakit (illness) berkaitan dengan gangguan psikososial yang dirasakan manusia (bersifat subyektif), berbeda dengan pengertian penyakit (disease) yang berkaitan dengan gangguan pada organ manusia (bersifat obyektif)

Peran sakit adalah peran yang harus dilakukan oleh orang sakit dan kaitannya dengan upaya pencarian pengobatan. Hubungan antara perilaku sehat, perilaku sakit, peran sakit dengan sakit dan penyakit dapat digambarkan sebagai berikut, Apabila seseorang sakit, maka orang sakit tersebut bebas dari langgung jawab peran sosialnyakemudian ia atau keluarganya dituntut mencari pengobatan agar kembali menjadi orang sehat. Dalam analisis Parsons, peran sakit digambarkan sebagai masalah kontrol sosial. Dalam hal ini dokter dianggap sebagai agen kontrol sosial yang dapat memberikan kepada seseorang legalitas sakit atau membatasi untuk melakukan peran sakit Dokter sebagai agen kontrol sosial hams mengetahui orang yang berpura-pura sakit dan dapatmenolak menyatakan orang itu dalam keadaan sakit, Namun dokter tetap menjalankan proses pengobatan agar orang yang merasa sakit dapat kembali berperan di masyarakat

Penyakit (disease) adalah suatu bentuk reaksi biologis terhadap suatu organisme, benda asing atau luka (injury). Hal ini adalah suatu fenomena yang objektif yang ditandai oleh perubahan- perubahan fungsi tubuh sebagai organisme biologis. Sedangkan sakit (illness) adalah penilaian seseorang terhadap penyakit sehubungan dengan pengalaman yang langsung dialaminya.

Dari batasan kedua pengertian atau istilah yang berbeda tersebut, tampak adanya perbedaan konsep sehat-sakit yang kemudian akan menimbulkan permasalahan konsep sehat-sakit di dalam masyarakat. Secara objektif seseorang terkena penyakit, salah satu organ tubuhnya terganggu fungsinya namun, dia tidak meras sakit. Atau sebaliknya, seseorang merasa sakit bila merasakan sesuatu di dalam tubuhnya, tetapi dari pemeriksaan klinis tiak diperoleh bukti ia sakit, lebih penjelasan penjelasan ini dapat digambarkan sebagai berikut:

Penyakit dan sakit kombinasi alternatif

Penyakit (dissease)

Sakit (illness)

Tak hadir

(not present)

Hadir

(Present)

Tak dirasa

(Not perceived)

1

2

Dirasakan

(perceived)

3

4

Area 1 ( satu) menggambarkan bahwa seseorang tidak mengandung atau menderita penyakit dan juga tidak merasa sakit (no disease and no illness). Dalam keadaan demikian maka orang tersebut sehat menurut konsep kita ( dari kacamata petugas kesehatan)

Area 2 (dua) menggambarkan seseorang mendapat serangan penyakit (secara klinis), tetapi orang itu sendiri tidak merasa sakit atau mungkin tidak dirasakan sebagai sakit (disease but no illness). Oleh karena itu mereka tetap menjalankan kegiatannya sehari-hari sebagaimana orang sehat.

Area 3 (tiga) menggambarkan penyakit yang tidak hadir pada seseorang, tetapi orang tersebut meras sakit atau tidak enak badan (illness but no disease). Pada kenyataannya kondisi ini hanya sedikit di dalam masyarakat. Orang merasa sakit padahal setelah pemeriksaan baik secara klinis maupun laboratoris tidak diperoleh bukti bahwa ia menderita sutau penyakit. Hal ini mungkin karena gangguan-gangguan psikis saja.

Area 4 (empat) ini menggambarkan adanya suatu penyajian yang sama. Seseorang memang menderita sakit dan juga ia rasakan sebagai rasa sakit (illness with disease). Hal inilah sebenarnya yang dapat dikatakan benar-benar sakit

definition of ORAL HEALTH

Oral health is a state of being free from chronic mouth and facial pain, oral and throat cancer, oral sores, birth defects such as cleft lip and palate, periodontal (gum) disease, tooth decay and tooth loss, and other diseases and disorders that affect the oral cavity. Risk factors for oral diseases include unhealthy diet, tobacco use, harmful alcohol use, and poor oral hygiene.

Oral health is an essential component of health throughout life. Poor oral health and untreated oral diseases and conditions can have a significant impact on quality of life. They can affect the most basic human needs, including the ability to eat and drink, swallow, maintain proper nutrition, smile, and communicate.

“Oral health is a standard of the oral and related tissues which enables an individual to eat, speak and socialise without active disease, discomfort or embarrassment and which contributes to general well-being” (World Health Organisation 1982.)

Kesehatan mulut merupakan hal yang dibutuhkan untuk melengkapi kesehatan secara umum maupun keadaan sehat sempurna ( well being). Kesehatan oral yang rendah dapat mempengaruhi kesehatan secara umum dan status nutrisi, penampilan,dan kualitas hidup. (DHS,1999).

Oral health is an integral part of total health, and oral health care professionals must adapt to demographic changes and medical advances and shoulder the responsibility of being part of the patient’s overall health care team.
A major theme of this report is that oral health means much more than healthy teeth. It means being free of chronic oral-facial pain conditions, oral and pharyngeal (throat) cancers, oral soft tissue lesions, birth defects such as cleft lip and palate, and scores of other diseases and disorders that affect the oral, dental, and craniofacial tissues, collectively known as the craniofacial complex. These are tissues whose functions we often take for granted, yet they represent the very essence of our humanity. They allow us to speak and smile; sigh and kiss; smell, taste, touch, chew, and swallow; cry out in pain; and convey a world of feelings and emotions through facial expressions. They also provide protection against microbial infections and environmental insults.
The craniofacial tissues also provide a useful means to understanding organs and systems in less accessible parts of the body. The salivary glands are a model of other exocrine glands, and an analysis of saliva can provide telltale clues of overall health or disease. The jawbones are examples of other skeletal parts. The nervous system apparatus underlying facial pain has its counterpart in nerves elsewhere in the body.
A thorough oral examination can detect signs of nutritional deficiencies as well as a number of systemic diseases, including microbial infections, immune disorders, injuries, and some cancers. Indeed, the phrase the mouth is a mirror has been used to illustrate the wealth of information that can be derived from examining oral tissues.
New research is pointing to associations between chronic oral infections and heart and lung diseases, stroke, and low-birth-weight, premature births. Associations between periodontal disease and diabetes have long been noted. This report assesses these associations and explores mechanisms that might explain these oral-systemic disease connections.
In parallel with the broadened meaning of oral health, the meaning of health has evolved. The standard definition of health, “freedom from disease, defect, or pain,” defines what health is not, rather than what it is. A more positive definition, one that the World Health Organization established in 1948, states that health is a complete state of physical, mental, and social well-being, and not just the absence of infirmity.
The broadened meaning of oral health parallels the broadened meaning of health. In 1948 the World Health Organization expanded the definition of health to mean “a complete state of physical, mental, and social well-being, and not just the absence of infirmity.” It follows that oral health must also include well-being. Just as we now understand that nature and nurture are inextricably linked, and mind and body are both expressions of our human biology, so, too, we must recognize that oral health and general health are inseparable. We ignore signs and symptoms of oral disease and dysfunction to our detriment. Consequently, a second theme of the report is that oral health is integral to general health. You cannot be healthy without oral health. Oral health and general health should not be interpreted as separate entities. Oral health is a critical component of health and must be included in the provision of health care and the design of community programs.
The wider meanings of oral and health in no way diminish the relevance and importance of the two leading dental diseases, caries (tooth decay) and the periodontal diseases. They remain common and widespread, affecting nearly everyone at some point in the life span. What has changed is what we can do about them.
At the start of the twentieth century, most Americans expected to be toothless by age 45, and most were. Expectations have changed, and most people now assume that they will maintain their teeth over their lifetime, and take active measures to do so. Researchers in the 1930s discovered that people living in communities with naturally fluoridated water supplies had less dental caries than people drinking unfluoridated water. But not until the end of World War II were the investigators able to design and implement the community clinical trials that confirmed their observations and launched a better approach to the problem of dental caries: prevention. Soon after, adjusting the fluoride content of community water supplies was pursued as an important public health measure to prevent dental caries.
Although this measure has not been fully implemented, the results have been dramatic. Dental caries began to decline in the 1950s among children who grew up in fluoridated cities, and by the late 1970s, declines in decay were evident for many Americans. The application of oral science to improved diagnostic, treatment, and prevention strategies has saved billions of dollars per year in the nation’s annual health bill. Even more significant, the result is that far fewer people are edentulous (toothless) today than a generation ago.
The theme of prevention gained momentum as pioneering investigators and practitioners in the 1950s and 1960s showed that not only dental caries but also periodontal diseases are bacterial infections. The researchers demonstrated that the infections could be prevented by increasing host resistance to disease and reducing or eliminating the suspected microbial pathogens in the oral cavity. The applications of research discoveries have resulted in continuing improvements in the oral health of Americans, new approaches to the prevention and treatment of dental diseases, and the growth of the science.
The significant role that scientists, dentists, dental hygienists, and other health professionals have played in the prevention of oral disease and disability leads to a third theme of this report: safe and effective disease prevention measures exist that everyone can adopt to improve oral health and prevent disease. These measures include daily oral hygiene procedures and other lifestyle behaviors, community programs such as community water fluoridation and tobacco cessation programs, and provider-based interventions such as the placement of dental sealants and examinations for common oral and pharyngeal cancers. It is hoped that this Surgeon General’s report will facilitate the maturing of the broad field of craniofacial research so that gains in the prevention of craniofacial diseases and disorders can be realized that are as impressive as those achieved for common dental diseases.
At the same time, more needs to be done to ensure that messages of health promotion and disease prevention are brought home to all Americans. In this regard, a fourth theme of the report is that general health risk factors, such as tobacco use and poor dietary practices, also affect oral and craniofacial health. The evidence for an association between tobacco use and oral diseases has been clearly delineated in almost every Surgeon General’s report on tobacco since 1964, and the oral effects of nutrition and diet are presented in the Surgeon General’s report on nutrition (1988). All the health professions can play a role in reducing the burden of disease in America by calling attention to these and other risk factors and suggesting appropriate actions.
Clearly, promoting health and preventing disease are concepts the American people have taken to heart. For the third decade the nation has developed a plan for the prevention of disease and the promotion of health, embodied in the U.S. Department of Health and Human Services (2000) document, Healthy People 2010. As a nation, we hope to eliminate disparities in health and prevent oral diseases, cancer, birth defects, AIDS and other devastating infections, mental illness and suicide, and the chronic diseases of aging. To live well into old age free of pain and infirmity, and with a high quality of life, is the American dream.
Scientists today take that dream seriously in pursuing the intricacies of the craniofacial complex. They are using an ever-growing array of sophisticated analytic tools and imaging systems to study normal function and diagnose disease. They are completing the mapping and sequencing of human, animal, microbial, and plant genomes, the better to understand the complexities of human development, aging, and pathological processes. They are growing cell lines, synthesizing molecules, and using a new generation of biomaterials to revolutionize tissue repair and regeneration. More than ever before, they are working in multidisciplinary teams to bring new knowledge and expertise to the goal of understanding complex human diseases and disorders.

Daftar pustaka
http://www.esbhhealth.nhs.uk/publications/public_health/oral.asp
http://www.nidcr.nih.gov/DataStatistics/SurgeonGeneral/sgr/chap1.htm

udul Basic Guide to Oral Health Education and Promotion
Penulis Simon Felton, Alison Chapman
Editor Simon Felton
Edisi berilustrasi
Penerbit Wiley-Blackwell, 2009
ISBN 1405161620, 9781405161626
Tebal 296 halaman

http://www.nidcr.nih.gov/OralHealth/

http://www.who.int/topics/oral_health/en/

Judul Burket’s oral medicine
Penulis Lester William Burket, Martin S. Greenberg, Michael Glick,
Jonathan A. Ship
Editor Martin S. Greenberg, Michael Glick, Jonathan A. Ship
Edisi 11, berilustrasi
Penerbit PMPH-USA, 2008
ISBN 1550093452, 9781550093452
Tebal 586 halaman

http://www.kidsoralhealth.org/