alveolektomi

ALVEOLEKTOMI

ALVEOLEKTOMI

  1. A. Pengertian Alveolektomi

Alveolectomy adalah pengurangan tulang soket dengan cara mengurangi plate labial/bukal dari prosessus alveolar dengan pengambilan septum interdental dan interadikuler. Atau Tindakan bedah radikal untuk mereduksi atau mengambil procesus alveolus disertai dengan pengambilan septum interdental dan inter radikuler sehingga bisa di laksanakan aposisi mukosa (Sandira, 2009).

Alveolektomi termasuk bagian dari bedah preprostetik, yaitu tindakan bedah yang dilakukan untuk persiapan pemasangan protesa. Tujuan dari bedah preprostetik ini adalah untuk mendapatkan protesa dengan retensi, stabilitas, estetik, dan fungsi yang lebih baik. Tindakan pengurangan dan perbaikan tulang alveolar yang menonjol atau tidak teratur untuk menghilangkan undercut yang dapat mengganggu pemasangan protesa dilakukan dengan prinsip mempertahankan tulang yang tersisa semaksimal mungkin. Seringkali seorang dokter gigi menemukan sejumlah masalah dalam pembuatan protesa yang nyaman walaupun kondisi tersebut dapat diperbaiki dengan prosedur bedah minor. Penonjolan tulang atau tidak teratur dapat menyebabkan protesa tidak stabil yang dapat mempengaruhi kondisi tulang dan jaringan lunak dibawahnya.  (Ghosh, 2006).

  • Tujuan alveolektomi adalah :
  1. Membuang ridge alveolus yang tajam dan menonjol
  2. Membuang tulang interseptal yang sakit sewaktu dilakukan gingivektomy
  3. Untuk membuat kontur tulang yang memudahkan pasien dalam melaksanakan pengendalian plak yang efektif.
  4. Untuk membentuk kontur tulang yang sesuai dengan kontur jaringan gingival setelah penymbuhan.
  5. Untuk memudahkan penutupan luka primer.
  6. Utuk membuka mahkota klinis tambahan agar dapat dilakukan restorasi yang sesuai.

(Pedersen, 1996).

  1. B. Etiologi Alveolektomi

Indikasi untuk prosedur ini sangat jarang dilakukan tetapi mungkin dilakukan saat proyeksi gigi anterior dari ridge pada area premaksilaris akan menjadi masalah untuk estetik dan kestabilan gigi tiruan pada masa yang mendatang. Maloklusi klass II divisi I adalah tipe yang sangat memungkinkan untuk dilakukan prosedur ini (Wray, 2003).

  1. C. Indikasi dan Kontraindikasi

  • Indikasi

  1. Indikasi dari prosedur alveolektomi jarang dilakukan tetapi biasanya pada dilakukan pada kasus proyeksi anterior yang berlebih pada alveolar ridge pada maxilla(Wray et al,2003) atau untuk pengurangan prosesus alveolaris yang mengalami elongasi (Thoma, 1969). Area yang berlebih tersebut dapat menimbulkan masalah dalam estetik dan stabilitas gigi tiruan. Pembedahan ini paling banyak dilakukan pada maloklusi kelas II divisi I (Wray et al,2003).
  2. Alveolektomi juga dilakukan untuk mengeluarkan pus dari suatu abses pada gigi.
  3. Alveolektomi diindikasikan juga untuk preparasi rahang untuk tujuan prostetik yaitu untuk memperkuat stabilitas dan retensi gigi tiruan (Thoma, 1969).
  4. Menghilangkan alveolar ridge yang runcing yang dapat menyebabkan : neuralgia,protesa tidak stabil,protesa sakit pada waktu dipakai.
  5. Menghilangkan tuberositas untuk mendapatkan protesa yang stabil dan enak dipakai
  6. Untuk eksisi eksostosis (Thoma, 1969).
  7. Menghilangkan interseptal bonediseas.
  8. Menghilangkan undercut.
  9. Mendapatan spaceintermaksilaris  yang diharap.
  10. Untuk keperluan perawatan ortodontik,bila pemakaian alat ortho tidak maksimal maka dilakukan alveolektomi
  11. penyakit periodontal yang parah yang mengakibatkan kehilangan sebagian kecil tulang alveolarnya.

12.  ekstraksi gigi yang traumatik maupun karena trauma eksternal.

  • Kontra indikasi

Sedangkan kontra indikasi alveolektomi adalah :

  1. Pasien dengan penyakit sistemik
  2. Periostitis
  3. Periodontitis
  1. D. Klasifikasi Alveolektomi

a) Simple alvolectomy

Setelah dilakukan multiple extractions, lapisan alveolar bukal dan tulang interseptal diperiksa untuk mengetahui adanya protuberansia dan tepi yang tajam. Incisi dibuat melintangi interseptal crests. Mukoperiosteum diangkat dengan hati-hati dari tulang menggunakan Molt curet no.4 atau elevator periosteal. Kesulitan terletak pada permulaan flap pada tepi tulang karena periosteum menempel pada akhiran tulang, tetapi hal ini harus dilatih agar flap tidak lebih tinggi dari dua per tiga soket yang kosong. Jika terlalu tinggi akan dapat melepaskan perlekatan lipatan mukobukal dengan mudah, dengan konsekuensi hilangnya ruang untuk ketinggian denture flange. Flap diekstraksi dengan hati-hati dan tepi dari gauze diletakkan di antara tulang dan flap. Rongeur universal diletakkan pada setengah soket yang kosong, dan lapisan alveolar bukal atau labial direseksi dengan ketinggian yang sama pada semua soket. Rounger diposisikan pada sudut 45° di atas interseptal crest, satu ujung pada masing-masing soket, dan ujung interseptal crest dihilangkan. Prosedur ini dilakukan pada semua interseptal crests. Perdarahan tulang dikontrol dengan merotasi curet kecil pada titik perdarahan. File ditarik secara ringan pada satu arah pemotongan secara menyeluruh sehingga meratakan tulang. Partikel-partikel kecil dihilangkan, gauze juga dilepaskan sehingga awalan flap terletak pada tulang, dan jari digesek-gesekkan (dirabakan) pada permukaan mukosa untuk memeriksa kedataran tulang alveolus. Lapisan bukal harus dibuat kontur kurang lebih setinggi lapisan palatal dan dibuat meluas dan datar. Undercut pada bagian posterior atas dan anterior bawah perlu deperhatikan. Sisa jaringan lunak dan jaringan granulasi kronis juga dihilangkan dari flap bukal dan palatal, kemudian dijahit menutupi area interseptal tetapi tidak menutupi soket yang terbuka. Penjahitan secara terputus atau kontinyu dilakukan tanpa tekanan.

b) Radical alveolectomy

Pembentukan kontur tulang bagian radiks dari tulang alveolar diindikasikan karena terdapat undercuts yang sangat menonjol, atau dalam beberapa hal, terdapat perbedaan dalam hubungan horizontal berkenaan dgn rahang atas dan rahang bawah yang disebabkan oleh overjet. Beberapa pasien mungkin memerlukan pengurangan tulang labial untuk mendapatkan keberhasilan dalam perawatan prostetik.

Dalam beberapa kasus, flap mukoperiosteal menjadi prioritas untuk melakukan ekstraksi. Ekstraksi gigi, pertama dapat difasilitasi dengan menghilangkan tulang labial diatas akar gigi. Penghilangan tulang ini juga akan menjaga tulang intraradikular. Setelah itu sisa-sisa tulang dibentuk dan dihaluskan sesuai dengan tinggi labial dan oklusal menggunakan chisel, rongeur dan file. Sisa jaringan pada bagian flape labial dan palatal dihaluskan, yang diperkirakan akan menganggu atau melanjutkan kelebihan sutura pada septa (continuoussutures over the septa).

Dalam penutupan flap, penting untuk menghilangkan jaringan pada area premolar agar terjadi penuruan pengeluaran dari tulang labial. Dalam pembukaan flap yang besar, harus dilakukan pemeliharaan yang tepat untuk memelihara perlekatan dari lipatan mukobukal sebaik mungkin, atau selain itu penghilangan kelebihan flap yang panjang harus dilakukan pada akhirnya. Jika flap tidak didukung dengan gigi tiruan sementara (immediate denture) dan sisa jaringan tidak dihilangkan, tinggi dari lapisan mukobukal akan berkurang secara drastis.

(Kruger, 1984)

  1. E. Prosedur Alveolektomi

Teknik untuk alveolektomi maksila dan mandibula:

  1. Jika kasus salah satu dari gigi yang tersisa baru dicabut, mukoperiosteum harus dicek untuk memastikan bahwa telah terdapat kedalaman minimum sebesar 10mm.Dari semua tepi gingival yang mengelilingi area yang akan dihilangkan.
  2. Pastikan bahwa insisi telah dibuka mulai dari midpoint dari puncak alveolar pada titik di pertengahan antara permukaan buccal dan lingual dari gigi terakhir pada satu garis, yaitu gigi paling distal yang akan dicabut, menuju ke lipatan mukobukal pada sudut 450 setidaknya 15mm. tarik insisi ke area dimana gigi tersebut sudah dicabut sebelumnya.
  3. Angkat flap dengan periosteal elevator dan tahan pada posisi tersebut dengan jari telunjuk tangan kiri atau dengan hemostat yang ditempelkan pada tepi flap atau dengan tissue retactor.
  4. Bebaskan tepi flap dari darah menggunakan suction apparatus, dan jaga dari seluruh area operasi.
  5. Letakkan bone shear atau single edge bone-cutting rongeur dengan satu blade pada puncak alveolar dan blade lainnya dibawah undercut yang akan dibuang, dimulai pada regio insisivus sentral atas atau bawah dan berlanjut ke bagian paling distal dari alveolar ridge pada sisi yang terbuka.
  6. Bebaskan mukoperiosteal membrane dari puncak alveolar dan angkat menuju lingual, sehingga plate bagian lingual dapat terlihat. Prosedur ini akan memperlihatkan banyak tulang interseptal yang tajam.
  7. Hilangkan penonjolan tulang interseptal yang tajam tersebut dengan end-cutting rongeurs.
  8. Haluskan permukaan bukal dan labial dari alveolar ridge dengan bone file. Tahan bone file pada posisi yang sama sebagai straight operative chisel , pada posisi jari yang sama, dan file area tersebut pada dengan gerakan mendorong.
  9. Susuri soket dengan small bowl currete dan buang tiap spikula kecil tulang atau struktur gigi atau material tumpatan yang masuk ke dalam soket. Ulangi prosedur ini pada sisi kiri atas dan lanjutkan ke tahap berikutnya.

10.  Kembalikan flap pada posisi semula, kurang lebih pada tepi jaringan lunak, dan ratakan pada posisi tersebut dengan jari telunjuk yang lembab.

11.  Catat jumlah jaringan yang overlapping, yang notabene bahwa tulang dibawahnya telah dikurangi, yang akhirnya meninggalkan tulang yang lebih sedikit dilapisi oleh jaringan lunak.

12.  Dengan gunting, hilangkan sejumlah mukoperiosteum yang sebelumnya terlihat overlap.

13.  Ratakan jaringan lunak tersebut kembali ketempatnya menggunakan jari telunjuk yang lembab, perkirakan tepi dari mukoperiosteum, lalu catat apakah ada penonjolan tajam yang tersisa pada alveolar ridge. Operator dapat merasakannya dengan jari telunjuk.

14.  Jika masih terdapat penonjolan dari tulang yang tersisa, hilangkan dengan bone fie.

15.  Jahit mukoperiosteum kembali ketempatnya. Disarankan menggunakan benang jahitan sutra hitam kontinyu nomor 000. Walaupun demikian, jahitan interrupted juga dapat digunakan jika diinginkan

Fig. 10.1. Protrusion of alveolar bone of the premaxilla

after multiple extractions of anterior teeth

Fig. 10.18 a, b. Diagrammatic illustration (a) and clinical photograph (b) of gross intraseptal irregularities after multiple tooth extractions

Fig. 10.19. Incision along the alveolar ridge to cut the interdental

papillae of the gingivae

Fig. 10.20. Reflection and elevation of the mucoperiosteal

flap to expose the bone area to be recontoured

Fig. 10.21 a, b. Removal of sharp bone edges with a rongeur. a Diagrammatic illustration. b Clinical photograph

Fig. 10.22 a, b. Smoothing of bone with a bone file. a Diagrammatic illustration. b Clinical photograph

Fig. 10.23 a, b. Removal of excess soft tissues with soft tissue scissors. a Diagrammatic illustration. b Clinical photograph

Fig. 10.24. Operation site after suturing

Fig. 10.25. Postoperative clinical photograph 2 months

after surgical procedure

(Fragiskos, 2007)

  1. F. Medikasi Pasca Bedah
  2. Analgesic
  • Perawatan Pasca Operasi

Rasa sakit dan tidak nyaman muncul pada waktu kembalinya sensasi (saat kerja obat anestesi telah usai ). Oleh karena itu, analgesic diperlukan untuk mengontrol rasa sakit dan tidak nyaman setelah operasi dilakukan. (Pedersen,1996).

  1. Antibiotik

Antibiotik dapat bekerja secara primer dengan menghentikan pembelahan sel (bakteriostat), atau dengan membunuh mikroorganisme secara langsung (bakterisida) (Brooker, 2005). Obat antibiotik digunakan untuk menghilangkan dan mencegah infeksi pasca bedah.

  1. Gargarisma

Penggunaan Gargarisma secara efektif dianjurkan karena hampir selalu terjadi kondisi di mana kebersihan mulut jelek karena penyikatan gigi masih sakit.

  1. Aplikasi dingin untuk mengontrol pembengkakan

Pembengkakan mencapai puncaknya kurang lebih 24 jam sesudah pembedahan. Pembengkakan dapat bertahan 1 minggu.

Aplikasi dingin dilakukan pada daerah wajah dekat dengan daerah yang dilakukan pembedahan (Pedersen, 1996).


sentrik relasi

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Pasien edentulous tidak ada bimbingan proprioseptif dari gigi mereka untuk membimbing pergerakan mandibulaproprioseptif sumber dorongan bagi pasien edentulous ditransfer ke gerakan rahang. hubungan centric yang memiliki fitur penting berikut. dapat dipelajari, dan dicatat ulang, serta posisi yang tetap konstan sepanjang hidup.dokter gigi harus mengarahkan pasien dengan sabar untuk menggerakan mandibula dari posisi sentrik relasi. Karena sentrik relasi dapat di pelajari (bukan posisi default). (Nallaswamy, 2004)

Relasi sentrik sangat penting untuk kenyamanan gigi, periodonsium, otot penguyahan dan nervus yang berasosiasi, banyak konsep dari oklusi berdasarkan dari ke harmonisan relasi sentrik (Pantaleao, et all., 1993)

Relasi sentrik merupakan  lokasi akhir yang baik untuk mengunyah dan nyaman posisi normal bagi semua orang yang memiliki sendi rahang relatif sehat (Gerard, et all., 2001)

Kehilangan hubungan sentries, dapat menyebabkan ketidakseimbangan otot dengan otot meningkat, overactivity otot, kejang, dan nyeri akibat perubahan posisi condylar di fosa  (Seth, et all., 2004).

Posisi oklusi gigi-geligi berperan besar dalam keadaan fisiologis. Selain factor fisiologis, kenyamanan merupakan factor penting lain yang menyebabkan oklusi gigi-geligi perlu diperhatikan secara tepat dan akurat. Suatu gigi yang hilang harus segera diganti dengan gigi tiruan agar tidak mengganggu fungsi oklusi. Pada hakikatnya penggantian gigi tiruan berfungsi untuk pengunyahan, pengucapan, estetis, menjaga kesehatan jaringan, serta mencegah kerusakan lebih lanjut dari struktur organ rongga mulut. Untuk menunjang fungsi-fungsi diatas diperlukan keseimbangan dan keharmonisan antara komponen system pengunyahan, baik gigi-geligi, otot dan sendi temporomandibular yang semuanya berfungsi dengan baik.

Posisi dan oklusi gigi berperan penting dalam mengunyah dan menelan. Oklusi dapat diartikan sebagai kontak anatara gigi-geligi secara langsung yang saling berantagonis dari satu rangkaian gerakan mandibula.

Relasi sentrik merupakan relasi retrusi mandibula terhadap maxilla. Disini mandibula telah terdorong kebelakang dan karena itu tidak ada alasan untuk menyebut mandibula berada pada posisi sentral. Kerancuan istilah ini makin bertambah dengan diperkenalkannya kata sifat “tegang” dan tidak seorangpun yakin istilah mana yang cocok. Relasi sentrik juga disebut sebgai posisi kondilus mandibula yang paling belakang, paling tengah dan paling atas terhadap fossa glenoidea.

Keadaan yang sangat penting inilh yang harus dipahami oleh setiap dokter gigi untuk menciptakan keadaan sentrik yang baik agar tidak merusak fungsi dari hubungan relasi tersebut.

I.2. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat mengetahui dan

memahami apa yang dimaksud dengan relasi sentrik pada pembuatan gigi tiruan lengkap serta hal-hal lainnya yang terkait dengan relasi sentrik.

BAB II

ISI

II.1. Definisi Relasi Sentrik

Istilah relasi sentrik diartikan secara berbeda-beda dalam penerapannya pada pengembangan restorasi dental. Tetapi untuk meningkatkan komunikasi antar bidang kedokteran gigi perlu digunakan satu definisi yang sama.

Relasi sentrik didefinisikan sebagai (1) posisi mandibula yang sesuai dengan posisi oklusi median, (2) posisi mandibula yang ditentukan oleh refleks neuromuskular yang dipelajari ketika gigi-gigi sulung beroklusi, (3) posisi mandibula yang terjadi ketika pusat gerakan vertikal dan lateral berada pada posisi engsel paling posterior, (4) hubungan mandibula terhadap maksila saat mandibula bertahan ketika menelan, (5) posisi mandibula yang sama dengan posisi istirahat fisiologis, (6) posisi mandibula saat menelan. Kerancuan dalam terminologi ini diperburuk dengan adanya perbedaan pendapat tentang hubungan antara relasi sentrik dan posisi interkuspal. Beberapa penulis menganggap bahwa ini adalah posisi muskular berdasarkan anggapan bahwa posisi ini merupakan yang paling sering digunakan dalam fungsi. Kedudukan ini didefinisikan sebagai posisi yang dicapai setelah mandibula bergerak menutup secara relaks dari posisi istirahat, dan biasanya bertepatan dengan posisi interkuspal (atau hubungan gigi-geligi) pada geligi asli. Meskipun demikian, riset menunjukkan bahwa posisi muskular sangat bervariasi dan tidak dapat dicatat dengan ketepatan yang sama seperti posisi retrusi.

Kerancuan ini dapat dihilangkan dengan menerima satu definisi : Relasi sentrik ialah posisi mandibula paling mundur terhadap maksila pada dimensi vertikal yang telah ditetapkan. Semua posisi mandibula yang lain dalam bidang horizontal adalah eksentrik dan dapat diberlakukan pada relasi sentrik tanpa mengubah atau mengacaukan pengertiannya. Persaingan yang jelas antara relasi sentrik/posisi kontak mundur dan posisi muskular yang dipakai unutuk mencatat hubungan horizontal antar-rahang supaya telah dimenangkan oleh konsep pertama (setidak-tidaknya, menurut literatur prostodontik).

(Zarb, George, et all,2002)

II.2. Konsep dan Metode Pencatatan Relasi Sentrik

Konsep relasi sentrik :

  1. Konsep pertama :

Pencatatan harus dilakukan dengan tekanan penutupan minimal sehingga jaringan yang mendukung basis gigi tiruan tidak akan bergeser pada saat catatan diambil. Tujuan konsep ini adalah supaya gigi geligi yang berlawanan dapat menyentuh secara merata dan serentak pada saat terjadi kontak pertama. Kontak gigi secara merata tidak akan merangsang pasien untuk menggertakkan giginya dan merelasikan otot-otot penutup pada periode antara pengunyahan.

  1. Konsep kedua :

Pencatatan harus dilakukan dengan tekanan penutupan yang kuat sehingga jaringan dibawah lempeng pencatat akan bergeser pada saat pencatat dilakukan. Tujuan dari konsep ini adalah untuk menghasilkan perubahan bentuk jaringan lunakyang sama seperti yang akan terjadi bila ada tekanan penutupan yang berat pada gigi tiruan. Jadi, tekanan-tekanan oklusal akan dibagi sama rata pada tulang alveolar bila gigi tiruan menerima beban oklusal yang berat. Tetapi bila pembagian tekanan di jaringan lunak tidak sama berat, gigi-geligi tidak akan berkontak merata pada saat kontak pertama terjadi.

(Zarb dkk., 2001)

Bermacam-macam metode yang dipakai untuk mencatat relasi sentrik dapat diklasifikasikan sebagai cara static dan cara fungsional.

  1. A. CARA STATIK

Meliputi pertama menempatkan mandibula dalam hubungan relasi sentrik terhadap maksila, kemudian mencatat hubungan kedua galengan gigit satu sama lain. Metode ini memiliki keuntungan karena pergeseran basis pencatat terhadap tulang penghubung hanya minimal. Pencatatan static intra-oral dilakukan dengan malam atau gips, dengan atau tanpa jarum pencatat di tengah, serta dengan atau tanpa alat pencatat ( tracing devices) intra-oral atau extra-oral guna menunjukkan hubungan relative antara kedua rahang.

  1. B. CARA FUNGSIONAL

Melibatkan aktifitas atau gerakan fungsional mandibula pada saat dibuat pencatatan. Cara-cara ini mempunyai keburukan, karena menyebabkan pergeseran basis pencatat ke lateral dan anteroposterior terhadap tulang pendukung pada saat pencatatan dilakukan. Pencatatan pada cara fungsional meliputi bermacam-macam teknik mengunyah yang dianjurkan oleh Needles, House, serta Essig dan Patterson. Termasuk pula cara menelan untuk menempatkan dan mencatat posisi relative kedua rahang.

Kedua metode untuk mencatat relasi sentrik diatas, masing-masing dapat dilakukan secara intra-oral maupun extra-oral.

a) PENCATATAN GRAFIS EXTRA-ORAL

Goreskan ujung jarum pada meja pencatat yang dilapisi oleh karbon atau malam dapat dipakai untuk menunjukkan posisi RB relative terhadap RA pada bidang horizontal (Gbr.A). Goresan ini berbentuk kira-kira seperti lengkung gothic sehingga diberi nama Goresan Lengkung Gothic, atau dikenal pula sebagai goresan bertbentuk ujung anak panah.

Untuk membuat goresan berbentuk anak panah atau goresan ujung jarum, satu kondilus bergerak ke depan dan ke dalam saat mandibula bergerak ke lateral dan kondilus yang lain berotasi dan bergerak ke arah yang berlawanan. Gerakan-gerakan ini mendekati rotasi secara berganti-ganti sekeliling kedua kondilus. Gerakan ini memotong garis yang terbentang ke suatu titik yang menunjukkan posisi paling mundur dari kedua kondilus. Karena itu bila kedua kondilus sedang beristirahat dalam posisinya yang paling mundur, ujung jarum pencatat akan beristirahat pada puncak goresan yang terbentuk (Gbr. B). Goresan ujung jarum pada dasarnya adalah suatu gambatran tunggal dari posisi mandibula dan gerakan-gerakannya pada bidanag horizontal.

Gambar A dan B

Banyak goresan ujung jarum tidak menunjukkan relasi sentrik yang tepat karena puncakanya membulat. Gerakan-gerakan lateral harus dilakukan sampai diperoleh goresan dengan puncak yang tajam, yang menunjukkan posisi mundur mandibula yang tepat. Goresan dengan ujung yang tumpul atau membulat terjadi bila kondilus tidak mencapai posisinya yang paling mundur dalam mangkok sendi atau bila basis pencatat bergerak dalam jaringan pendukungnya. Puncak yang membulat dapat dibetulkan hanya dengan mengulang gerakan mandibula dari sisi ke sisi dan dalam hubungan protrusi terhadap maksila. Alat penggores dengan jarum ditengah-tengah mempunyai meja pencatat yang memungkinkan pasien untuk memajukan dan memundurkan mandibula dengan mudah pada saat pencatatan.

Goresan ganda, satu di depan yang lain, juga dapat dibuat dengan menambah atau mengurangi dimensi vertical yang digunakan untuk membuat pencatatan. Dengan pemegang jarum pencatat di titik sentral, jarum pencatat bias dinaikkan atau diturunkan. Kedua cara penggoresan ini memberikan gambaran yang bagus tentang posisi sentrik yang berbeda-beda pada dimensi vertical  oklusal yang berbeda-beda. Pencatat extra-oral mempunyai perpanjangan cukup jauh dari basis pencatat, sehingga goresan yang diperoleh diperbesar dan mudah dievaluasi. Goresan yang dilakukan di dalam mulut, atau dekat dengan galengan gigit, sering terlihat kecil, dan sulit diperoleh puncak yang tajam. Beberapa alat pencatat mempunyai penunjuk titik sentral yang dikombinasikan dengan jarum penggores yang ditempatkan pada titik tersebut, dan goresan dibuat pada lempeng yang terdapat sebagai lawannya.

Pencatat yang menggunakan penunjuk titik sentral ditempatkan dan dilekatkan pada basis galengan gigit secara hati-hati di pusat rahang, baik dalam arah lateral maupun dalam arah anteroposterior, hingga tekanan akan dibagikan secara sama rata dalam arah lateral maupun dalam arah anteroposterior (Gb. C). Ini diperkirakan berdasarkan dugaan bahwa letak pusat galengan gigit mandibula bertepatan dengan pusat galengan gigit maksila. Namun, ada suatu rentang tertentu; jadi kesamaan tekanan dapat dicapai dengan cukup baik bila letak kedua pusat berdekatan. Karena itu tidak dibenarkan untuk menggunakan alat pencatat dengan penunjuk titk sentral jika hubungan antar alveolarnya tidak normal atau bila ada jaringan lunak yang berlebihan pada proseesus alveolarisnya. Demikian pula, adanya jaringan lunak pendukung yang berbeda-beda ketebalannya dapat menyebabkan kesalahan-kesalahan dalam arah vertikal, meskipun mandibulanya sendiri berada dalam posisi relasi sentrik horizontal yang benar.

Gambar C

Kecuali puncaknya yang merupakan petunjuk lokasi lokasi sentrik, perlu diingat agar tidak menerima setiap bagian goresan yang dihasilkan. Bila tekana pengunyahan pasien ringan, ia mungkin sering menutup rahang dalam posisi eksentrik.

Pencatat ekstraoral dapat digunakan pada galangan gigit dari malam atau kompon yang dilekatkan pada bassis sementara dikombinasikan dengan penunjuk titis sentral. Pencatat ekstraoral yang tanpa penunjuk titik sentral dianggap kurang memuaskan karena meskipun alat ini menunjukkan posisi mandibula yang benar dalam arah anterioposterior, namun tidak mencata hubungan (superoinferior) maksilo mandibular yang benar. Sangat sulit untuk mempertahankan tekanan yang sama pada balok-balok malam atau kompon; dengan demikian mengunci hubungan rahang berpedoman pada hasil goresan tanpa penunjuk titk sentral tidaka banyak berarti.

b) PENCATATAN RELASI SENTRIK INTRAOKLUSAL

Pencatatan intraklusal dibuat dengan menggunakan bahan pencatat yang diletakkan diantara kedua galangan gigi, basis gigi tiruan percobaan, atau gigi tiruan lengkapnya. Bahan yang biasa digunakan untuk ini adalah gips, malam, pasta oksida seng eugenol (OC) dan resin akrilik polimerasi dingin. Pasien menggigit kearah bahan pencatat dengan RB pada posisi paling mundur dan berhenti pada hubungan vertikal yang sebelumnya telah dilakukan. Pencatatan intraoklusal relative mudah dibuat tetapi hasilnya tergantung pada penilaian klinis dokter gigi dan kerjasama antara dokter gigi dan pasien. Metode ini sederhana karena alat-alat mekanik tridak dipasang dalam mulut pasien dan tidak dilekatkan pada galangan gigi.

Dalam beberapa hal, pencatatan interoklusal lebih disukai daripada pencatatan dengan bantuan alat mekanik. Pada awalnya pencatatan relasi sentrik hanya dilakukan dengan menggunakan lapisan malam yang tebal. Ini menghasilkan hasil pencatatan yang tidak baik dan tidak akurat. Kendala dalam pencatatan dengan malam mencakup pelunakan malamnya tidak dapat merata dan ketebalannya sukar dibuat sama hingga memungkinkan terjadinya distorsi dalam hasil pencatatan. Bahan cetak gips, pasta OSE, resin akrilik, polieter, dan silicon memberi perlawanan yang kecil saat pasien menggigit kedalamnya; perlawanannya seragam diseluruh bahan dan setelah mengeras kekerasannya cukup hingga catatan interoklusal yang dihasilkan tidak mudah mengalami distorsi. Dengan menambahkan sedikit alcohol ke dalam pasta OSE, pengerasan dapat dipercepat. Hal ini menguntungkan untuk pasien yang basis gigi tiruannya goyang.

Cara membuat pencatatan interoklusal dengan gips sangat sedarhana. Pasien didudukkan tegak dengan nyaman diatas kursi gigi dengan kaki santai ditempat kaki. Kepala ditopang oleh sandaran kepala agar tidak bergerak-gerak, demikian pula setiap gerakan galangan gigit dan bahan pencatat harus dikendalikan. Ibu jari dan telunjuk atau jari tengah tangan dokter gigi diletakkan diantara gigi geligi atau galengan gigit yang berhadapan. Tangan dibalik untuk menutup mata pasien agar tidak merasa cemas bila pasien melihat kekecewaan dokter sewaktu instruksinya tidak diikuti dengan baik. Jari telunjuk tangan yang lain ditempatkan pada permukaan labial gigi-gigi anterior bawah atau pada galengan gigit untuk menahan basis gigi tiruan di tempatnya sambil merasakan gerakan anteroposterior mandibula. Pada saat pasien menutup mulut dalam relasi sentrik, dokter gigi menyingkirkan ibu jari dan telunjuknya, hingga kekuatan gerakan menutup dapat menahan kedua basis gigi tiruan pada posisisnya yang benar di atas tulang alveolar (Gb. D).

Gambar D

Cara lain, yang mirip dengan yang tersebut di atas, utuk menempatkan tangan dokter gigi adalah sbb:

Satu tangan menahan basis gigi tiruan atas dalam posisinya, sambil tangan yang lain mengendalikan RB. Ibu jari dan telunjuk ditempatkan pada basis bawah di bagian Molar satu kiri dan kanan, sedang bagian tengah tangan mendorong dagu perlahanlahan ke belakang. Jari-jari yang lain dipakai untuk memeriksa relasi otot-otot dasar mulut.

Agar dokter gigi maupun pasien terbiasa dengan gerakan menutup mulut seperti yang diperlukan dalam pencatatan ini, dapat diberikan latihan secukupnya. Hubungan gigi-gigi anterior atau galengan gigit yang berhadapan ketika mandibula dalam relasi sentrik pada dimensi vertikal yang diinginkan selama latihan gerak menutup merupakan petunjuk bagi dokter gigi tentang besar jarak antar rahang yang diperlukan bagi pencatatn inter-oklusal tsb. Sebagian besar hasil pencatatan relasi sentrik yang tidak benar dapat dikenal pada saat pencatatan dilaksanakan, tetapi pengecekkan selllanjutnya perlu dilakukan untuk mendeteksi kesalahan-kesalahan kecil. Hal ini dapat dilakukan dengan menyusun gigi-gigi posterior dalam oklusi sentrik di articulator dan melihat oklusinya di dalam mulut.

CARA LAIN UNTUK MENCATAT RELASI SENTRIK

Beberapa metode lain untuk mencatat relasi sentrik memberikan berbagai macam hasil campuran. Beberapa cara dilakukan dengan menyesuaikan galengan gigit sampai keduanya berkontak cukup baik di dalam mulut pada relasi vertikal yang diinginkan. Selembar seluloid atau kertas ditempatkan diantara galengan gigit dan digigit kuat-kuat. Bila kertas dapat ditarik denga mudah, berarti tekanan di sisi tersebut lebih kecil daripada sisi yang lain. Tinggi galengan gigit dikurangi pada tempat yang tekanannya berlebihan, atau ditambah pada tempat yang tekanannya kurang. Prosedur semacam ini seringkali tidak memuaskan.

Metode lain untuk melakukan pencatatan degangan galengan gigit malam ialah dengan memanaskan permukaan salah satu galengan  gigit dan menyuruh pasien menggigit ke dalam permukaan yang telah dilunakkan ini untuk memperoleh catatan hubungan maksilomandibular yang baru (Gambar E). Prosedur ini tidak menghilangkan kesalahan akibat tekanan yang tidak sama.

Gambar E

Kemajuan besar dalam metode melunakkan galengan gigit adalah melunakkan bagian posteriornya dengan panas tinggi dan membiarkan bagian anteriornya dingin untuk memperoleh dimensi vertical oklusal yang telah ditentukan sebelumnya. Pemanasan tinggi ini kadang­kadang disebut pooling. Pemanasan tinggi dilakukan de­ngan menusukkan spatel malam yang panas ke dalam galengangigit bawah, mula mula pada situ sisi kemudian di sisi yang lain, hingga dapat memberi waktu bagi bagian dalam malam yang panas untuk juga melunakkan secukup­nya bagian luarnva, sehingga dinding luarnya akan mu­dah berubah bentuk bila tertekan waktu pasien mengigit. galengan gigit atas tidak dilunakkan, sehingga tidak akan dipengaruhi selama berkontak dengan galengan gigit ba­wah yang lunak. Setelah malam didinginkan, kelebihannya dibuang, karena bila tidak akan membimbing mandibula kembali ke dalam hubungan yang sama ketika dilakukan gerakan menutup berikutnya. Dengan kata lain, kelebihan malam tidak mungkin dapat digunakan untuk memeriksa atau mengubah pencatatan relasi sentrik.

Satu metode yang lain lagi yaitu dengan menggunakan malam yang dilunakkan, yang diletakkan di atas permukaan oklusal gi-geligi posterior bawah. Malam pencatat tidak diletakkan diatas gigi-gigi anterior agar tidak membuat pasien terpicu memajukan mandibulanya. Pada metode ini gigi-gigi atas menggigit ke dalam malam, dan bukan malam berkontak dengan malam seperti pada metode-metode yang lain. Dibandingkan dengan metode yang lain, kebaikan metode ini ialah hanya sejumlah kecil permukaan yang berkontak, dan bukan permukaan malam yang luas. Keburukannya ialah seringkali pencatatan dilakukan pada dimensi vertical oklusal yang meningkat untuk mencegah berkontaknya gigi-gigi lawan.

Pencatatan relasi sentrik dengan cara menelan dan mengunyah pada galengan gigit (chew-in) termasuk teknik fisiologis. Pada salah satu teknik, malam lunak berbentuk kerucut diletakkan diatas basis gigi tiruan percobaan bawah. Kerucut malam ini berkontak dengan permukaan oklusal galengan gigit atas pada saat pasien menelan. Ini menghasilkan pencatatan relasi horizontal mandibula terhadap maksila (gambar f). Sayangnya, posisi mandibula yang dicatatat dengan metode ini tidak selalu cocok dengan relasi sentrik dan tidak dapat diulang.

Gambar F

(Zarb, George, et all,2002)

Faktor dasar yang perlu diperhatikan dalam pencatatan relasi sentrik adalah :
1. Kestabilan
2. Hubungan horizontal antar rahang yang tetap
3. Free way space yang memadai
4. Kontak oklusi yang merata
5. Penampilan yang menyenangkan

(Basker,er all., 1994)

Menentukan Letak Hubungan Sentrik dan Vertikal

Banyak hubungan vertical dapat ditentukan antara mandibula dan maksila. Tetapi untuk tiap hubungan vertical tertentu ada satu posisi mandibula yang paling mundur dan untuk perubahan tiap dimensi vertical ada satu hubungan horizontal. Perubahan semacam itu terjadi meskipun kondilus dipertahankan pada posisinya yang paling mundur. Posisi yang paling mundur inilah relasi sentrik untuk dimensi vertical tersebut. Dimensi vertical oklusal harus ditentukan antara kedua rahang pasien tidak bergigi untuk menyediakan jarak antar oklusal yang cukup, dan memungkinkan otot-otot mandibula berfungsi pada panjang fisiologisnya yang optimal.

Pencatatan relasi sentrik harus dibuat pada dimensi vertical oklusal yang telah ditentukan bila digunakan busur wajah tipe rata-rata untuk emendapatkan model terhadap sumbu buka articulator. Hal ini perlu karena sumbu gerakan rotasi buka tutup articulator akan  akan sama dengan sumbu gerakan yang sama pada pasien hanya bila model dipasang pada sumbu engsel transversal fisiologis yang ditempatkan dengan benar. Bila digunakan sumbu engsel yang ditentukan secara kira-kira, jumlah kesalahan yang terjadi pada penambahan atau penurunan dimensi vertical oklusal di articulator tergantung pada hubungan antara lokasi sumbu yang ditetapkan secar kira-kira terhadap sumbu engsel yang sesungguhnya dan besarnya dimensi vertical di articulator. Jadi bila pencatatan relasi sentrik dibuat tepat paa atau mendekati dimensi vertical oklusal yang diingiknan, maka perubahan dimensi vertical di articulator tidak perlu dilakukan dan kemungkinan terjadinya keslahan-kesalahn oleh penyebab ini akan sangat dikurangi

(Zarb, George, et all,1990)

II.3. Fungsi Relasi Sentrik

  1. Agar gigi posterior dapat mencapai hubungan antar tonjol yang sangat tepat sehingga penyimpangan dalam mulut mudah dideteksi. Gigi dengan kemiringan tonjol 30o dapat lebih efektif untuk memeriksa kecermatan hubungan rahang dibandingkan gigi dengan kemiringan tonjol 20o atau 0o. tonjol dengan kemiringan 30o memperbesar kemungkinan kesalahan oklusi.
  2. Merupakan salah satu persyaratan fisiologis untuk memperoleh kenyamanan stabilitas dan efisiensi di dalam rongga mulut.
  3. Agar beberapa tahap prosedur restorasi gigi geligi dapat dipindahkan ke laboratorium. Keakuratan pencatatan interoklusi tergantung dari metode dan bahan yang dipakai

(Yudith, 2003).

II.4. Keserasian Antara Relasi Sentrik dan Oklusi Sentrik

Pemahaman relasi sentrik dipersulit oleh kegagalan untuk membedakan antara relasi sentrik dan oklusi sentrik. Hal ini terjadi karena kesalahan dalam pemakaian kata sentrik, baik dalam relasi sentrik maupun oklusi sentrik. Sentrik adalah  kata sifat dan harus digunakan dengan relasi atau oklusi untuk memberikan arti yang spesifik. Relasi sentrik adalah hubungan antara tulang dan tulang, sedang  oklusi sentrik merupakan hubungan antara gigi geligi atas dan bawah. Setelah relasi sentrik ditentukan, oklusi sentrik dapat dibentuk bertepatan dengan relasi sentrik atau dengan memberikan daerah kontak gigi yang luas dalam posisi ini (yang disebut kebebsasan sentrik/freedom in centric).

Kerancuan juga disebabkan oleh kenyataan bahwa banyak orang oklusi sentrik gigi geligi asli tidak bertepatan dengan relasi sentrik. Pada gigi geligi asli oklusi sentrik biasanya terletak di sebelah anterior dari relasi sentrik, dengan jarak rata-rata 0,5-1 mm. pada orang tak bergigi, tiadanya gigi geligi, dan dengan sendirinya juga tidak ada oklusi sentry, membuat perlunya relasi sentrik digunakan sebagi acuan posisi ini harus bertepatan atau tidak.

Benturan-benturan antara gigi asli pada relasi sentril menimbulkan rangsangan dan respons yang mengarahkan mandibula untuk menjauhi hambatan tersebut dalam perjalanannya mencapai oklusi sentrik. Rangsangan yang diciptakan oleh berkontaknya gigi geligi mencapai oklusi sentrik membentuk pola memori yang memungkinkan mandibula kembali ke posisi ini, biasanya tanpa benturan-benturan gigi.

Bila gigi dicabut, banyak reseptor yang memicu rangsang untuk mengatur posisi mandibula menjadi hilang atau rusak. Karena pasien yang sudah tidak bergigi tidak dapat mengendalikan gerakkan-gerakkan mendibula atau menghindari kontak-kontak oklusal yang membelokkan dalam mencapai relasi sentrik seperti halnya pasien yang masih memilki gigi. Kontak oklusal yang membelokkan mandibula dalam mencapai relasi sentrik menyebabkan bergeraknya basis gigi tiruan dan mengubah bentuk jaringan pendukung atau mendorong mandibula untuk menjauhi hubungan ini. Karena itu bagi pasien-pasien yang tidak bergigi, relasi sentrik harus dicari agar ooklusi sentrik dapat dibentuk serasi dengan relasi tersebut. Hal ini biasanya dapat dilakukan dengan membentuk oklusi sentrik bertepatan dengan relasi sentrik. Namun, pada beberapa pasien perlu ada suatu daerah yang lebih lebar untuk tercapainya kontak stabil di dekat relasi sentrik yang disebut kebebasan dalam sentrik atau sentrik panjang.

(Zarb, George, et all,1990).

II.5. Alat Pengukur Relasi Sentrik

Alat Pencatat ekstra-oral dapat digunakan galengan gigit dari malam atau kompon yang diletakkan pada basis sementara dikombinasikan dengan penujuk titik sentral. Pencatat ekstra-oral yang tanpa penunjuk titik sentral dianggap kurang memuaskan karena meskipun alat ini menunjukkan posisi mandibula yang benar dalam arah antero-posterior, namun tidak mencatat hubungan (superoinferior) maksilomandibular yang benar. Sangat sulit untuk mempertahankan tekanan yang sama pada balok-balok malam atau kompon dengan demikian mengunci hubungan rahang berpedoman pada hasil goresan tanpa penunjuk titik sentral tidak banyak berarti.

Alat-alat pencatat intra-oral. Alat pencatat intra-oral merupakan jarum pencatat yang dipasang di dalam mulut, yang sekaligus bertindak sebagai penunjuk titik sentral. Penunjuk titik sentralnya berujung runcing, dan membuat goresan pada lempeng pencatat yang berhadapan. Lempeng pencatat dapat dilubangi pada ujung goresan anak panah yang diperoleh di dalam mulut, atau dapat pula digunakan sebuah lempengan plastic pada puncak panah tersebut. Lubang tersebut digunakan untuk menahan rahang asien pada posisi mundur saat posisi mandibula difiksasi dengan gips atau bahan lain.

(Zarb, George, et all,1994)

II.6. Keterlibatan Otot Dalam Relasi Sentrik

Relasi sentrik bukan posisi istirahat atau posisi postural mandibula. Guna menggerakkan dan menghentikan mandibula pada posisi tersebut diperlukan kontraksi otot-otot. Namun demikian, aktivitas neuromuscular ini tidak mempengaruhi definisinya.

Perlekatan anatomis dari bagian belakang dan tengah otot-otot temporalis dan suprahioid (terutama glenoideus dan digastrikus), diperkuat dengan penelitian EMG, menunjukkan bahwa otot-otot ini menggerakkan dan menghentikan mandibula dalam posisinya yang paling mundur terhadap maksila. Otot-otot temporalis, maseter dan pterigoideus medial mengangkat mandibula ke posisi vertical tertentu terhadap maksila. Otot pterigoideus lateral hanya menunjukkan sedikit aktivitas bila mendibula berada pada relasi sentrik.

(Zarb, George, et all,1990)

II.7. Hambatan dalam pengukuran Relasi Sentrik

Relasi sentrik telah didefinisikan sebagai posisi kondilus paling mundur di dalam fosa glenoid pada jarak buka tertentu tanpa ketegangan otot-otot. Definisi ini sering disalah artikan karena kata tidak tegang diartikan sebagai tidak adanya tegangan anteroposterior. Sedang seharusnya termasuk pula tidak ada tegangan superoposterior.

Struktur sendi TMJ sedemikian rupa sehingga memungkinkan sendi yang satu bergeser ke bawah oleh tekanan yang tidak sama rata ketika dilakukan pencatatan, walaupun kondilus itu masih tetap berada dalam posisi paling mundur. Keadaan ini tidak dapat terjadi di articulator, sehingga kontak oklusal yang mendorong mandibula untuk menyimpang dari pola geraknya yang normal merupakan sumber  ketidakstabilan, rasa nyeri, dan resorpsi meskipun hubungan-hubungan yang lain benar. Bila rahang bergerak sebagai engsel, hubungan maksilomandibular akan tercatat dengan tepat secara otomatis. Tetapi kondilus bukan engsel, dan mudah bergeser posisinya, hingga dapat terjadi kesulitan. Jaringan pendukung bagi basis gigi tiruan yang dihasilkan dari cetakan yang terbaik pun tidak mungkin menghalangi kerusakan akibat kesalahan relasi sentrik oleh sebab apapun.

Pencatatan-pencatatan sentrik lebih jauh dipersulit oleh kenyataan bahwa jaringan lunak berbeda-beda kekerasannya. Kekenyalan jaringan ini sebagai realeff yang merupakan akronim dari efek kekenyalan dan kemampuan kembali ke bentuk asal. Kekenyalan ini terdapat pada mukosa dan sendi TM. Karena itu tekanan yang berlebihan pada waktu menetapkan hubungan antar rahang harus dihindari, agar tidak menghasilkan pergeseran jaringan lunak secara berlebihan.

Meskipun pencatatan telah dilakukan dengan tekanan seimbang dan sama rata, sering hal ini hilang ketika model dipasang di articulator atau saat gigi tiruan diproses. Beberapa perubahan tidak dapat dihindarkan karena adanya perubahan dalam bahan basis gigi tiruan selama diproses. Karena alasan ini, perlu dicari kembali ke relasi sentrik yang sama dengan cermat setelah gigi tiruan diselesaikan.

(Zarb, George, et all,2002)

Memundurkan Mandibula ke Relasi Sentrik

Salah satu tahap yang paling sulit dan paling penting adalah memundurkan mandibula ke relasi sentriknya. Beberapa kesulitan yang dihadapi adalah biologik, beberapa fisiologik, dan beberapa mekanik. Metode yang digunakan untuk memundurkan mandibula ini dapat digolongkan sebagai cara pasif dan aktif. Pada cara pasif, pasien harus serelaks mungkin dan dokter gigi membimbing mandibula dalam gerakan buka-tutup kecil (gerakan engsel terminal), atau dengan hati-hati mendorong dagu ke posisi mundur. Pada cara aktif, pasien secara aktif memundurkan mandibulanya mengikuti instruksi.

Kesulitan biologis timbul akibat kurangnya koordinasi dalam kelompok otot yang berlawanan ketika pasien diminta untuk menggigit dalam posisi mundur. Tidak sinkronnya otot-otot yang memajukan dan yang memundurkan rahang mungkin disebabkan oleh posisi eksentrik yang telah biasa diduduki oleh rahang sesuai dengan maloklusi yang ada.

Kesulitan psikologis melibatkan dokter gigi maupun pasien. Makin kuat dokter gigi maupun pasien. Makin kuat dokter gigi berupaya mengatasi ketidakmampuan pasien untuk memundurkan mandibulanya, pasien akan makin bingung dan makin sulit mengikuti instruksi yang diberikan oleh dokter gigi. Dokter gigi harus menyediakan cukup waktu untuk melakukan pencatatan relasi sentrik.

Kesulitan mekanis yang dihadapi dalam melakukan pencatatan relasi sentrik disebabkan oleh kurang cekatnya basis galengan gigit yang digunakan dalam pencatatan ini. Basis galengan gigit yang digunakan dalam pencatatan relasi sentrik harus cekat dan tidak berbenturan satu sama lain. Tekanan yang diberikan oleh pasien pada saat mencatat relasi sentrik sulit dikendalikan. Sebaiknya dilakukan dengan tekanan minimal untuk sejauh mungkin mencegah perubahan bentuk jaringan lunak. Hal ini tampaknya sulit dilakukan. Bila diberikan tekanan minimal pada saat pencatatan, hubungan rahang akan dicatat dengan perubahan jaringan yang minimal dan gigi tiruan akan beroklusi secara bersamaan setelah kontak pertama terjadi.

(Zarb, George, et all,2002)

BAB III

KESIMPULAN

  1. Relasi sentrik ialah posisi mandibula paling mundur terhadap maksila pada dimensi vertikal yang telah ditetapkan.
  2. Bermacam-macam metode yang dipakai untuk mencatat relasi sentrik dapat diklasifikasikan sebagai cara static dan cara fungsional. Kedua metode untuk mencatat relasi sentrik tersebut, masing-masing dapat dilakukan secara intra-oral maupun extra-oral.
  3. Faktor dasar yang perlu diperhatikan dalam pencatatan relasi sentrik adalah : Kestabilan, Hubungan horizontal antar rahang yang teta,  Free way space yang memadai, Kontak oklusi yang merata, dan Penampilan yang menyenangkan.
  4. Fungsi pencatatan relasi sentrik adalah : agar gigi posterior dapat mencapai hubungan antar tonjol yang sangat tepat sehingga penyimpangan dalam mulut mudah dideteksi, merupakan salah satu persyaratan fisiologis untuk memperoleh kenyamanan stabilitas dan efisiensi di dalam rongga mulut, dan agar beberapa tahap prosedur restorasi gigi geligi dapat dipindahkan ke laboratorium.
  5. Pada gigi geligi asli oklusi sentrik biasanya terletak di sebelah anterior dari relasi sentrik, dengan jarak rata-rata 0,5-1 mm. pada orang tak bergigi, tiadanya gigi geligi, dan dengan sendirinya juga tidak ada oklusi sentry, membuat perlunya relasi sentrik digunakan sebagi acuan posisi ini harus bertepatan atau tidak.
  6. Hambatan pada pencatatan relasi sentrik adalah : Struktur sendi TMJ sedemikian rupa sehingga memungkinkan sendi yang satu bergeser ke bawah oleh tekanan yang tidak sama rata ketika dilakukan pencatatan, walaupun kondilus itu masih tetap berada dalam posisi paling mundur. Keadaan ini tidak dapat terjadi di articulator, sehingga kontak oklusal yang mendorong mandibula untuk menyimpang dari pola geraknya yang normal merupakan sumber  ketidakstabilan, rasa nyeri, dan resorpsi meskipun hubungan-hubungan yang lain benar, jaringan lunak berbeda-beda kekerasannya dan memundurkan mandibula ke relasi sentriknya.

Gingival crevicular fluid (GCF)

Gingival crevicular fluid (GCF) is an inflammatory exudate that can be collected at the gingival margin or within the gingival crevice. The biochemical analysis of the fluid offers a non invasive means of assessing the host response in periodontal disease. Active phase of periodontal disease process can be measured or assessed by the constituents of gingival fluid. Bacterial enzymes, bacterial degradation products, connective tissue degradation products, host mediated enzymes, inflammatory mediators, extracellular matrix proteins either together or individually can be detected in higher levels in gingival crevicular fluid during active phase of periodontitis.

Indian Journal of Clinical Biochemistry, 2003, 18 (1) 5-7

GINGIVAL CREVICULAR FLUID A MARKER OF THE PERIODONTAL DISEASE ACTIVITY

M.V. Subrahmanyam* and Sangeetha M.**

Plak subgingival

Plak subgingival

Struktur dan organisasi sub gingival plak. Organism yang secara natural berkoloni pada sulkus gingival dan poket periodontal berbeda dengan organism yang ditemukan pada plak supra gingival. Fitur morfologi dari sulcus gingival dan poket periodontal membuat bagian sub gingival sedikit mengalami aktifitas self cleansing dari rongga mulut. Berhubungan dengan maturasi dan akumulasi dari plak supragingival , terdapat perubahan  proses inflamasi yang mengubah hubungan anatomis  dari marginal gingival dengan permukaan gigi, yang merupakan hasil dari lingkungan ekologi baru, yang memproteksi dari lingkungan supragingiva.Epitel dan sel inflamasi dan produk  bakteri yang mempengaruhi dari kehadiran dan proporsi relative dari microorganism subgingival pada bagian terdalam.

Bentuk area retensi secara relative mengambang pada lingkungan dimana mikroorganisme tidak dapar edhesi pada jaringan keras. Organism kemungkinan beradhesi dengan bacteria lain , kepada gigi, kepada poket pada lumen atau poket pada epithelium. Pada poket lumen , memiliki akses langsung untuk nutrisi (terutama protein) yang ada pada cairan gingival dan lingkungan dengan oksidasi rendahdan potensial dapat reduksi , yang hanya mengizinkan bacteria anaerob tertentu. Dibawah kondisi ini , perubahan lingkungan local dan factor host local mengijinkan mikrobiota subgingival spesifik untuk meningkatkan atau menurunkan hingga titik dimana perubahan patologis terjadi.

Karakteristik dari subgingival plaque

melekat pada gigi Tidak melekat melekatl pada epitelium
Didominasi bakteri gram positif Variable gram Variable gram
Tidak berekstensi hingga pertemuan epitel Dapat meluas hingga epitelim junctional Dapat meluas hingga epitelim junctional
Dapat berpenetrasi ke dalam sementum Dapat berpenetrasi ke epithelium dan jaringan ikat
Diasosiasi dengan formasi kalkulus dan karies pada akar Diasosiasikan dengan gingivitis Diasosiasikan dengan gingivitis dan periodontitis

Hubungan gigi dengan plak yang melekat dengan plak subgingival. Strukturnya mirip dengan plak supragingival. Bacteria dengan rapat , berdekatan dengan material cuticular yang menyelimuti permukaan gigi. Flora yang mendominasi oleh gram positif rods dan coccus, misalnya: streptococcusmitis. S. sanguis, eubacterium, bifidobacterium, actinimyces viscous, dan spesies lainnya. Pada kondisi tertentu , beberapa cocus gram negative dan rod dapat selalu ditemukan pada plak yang melekat

Caranzaa,F.A.1990. Glickman’s clinically periodontology,7th edition.philadelphia: W.B.Saunders.

PENGARUH STIMULASI BERKUMUR, MENGUNYAH, DAN ASAM SITRUN TERHADAP SEKRESI & pH SALIVA

Laporan Tertulis

PENGARUH STIMULASI BERKUMUR, MENGUNYAH, DAN ASAM SITRUN TERHADAP SEKRESI & pH SALIVA

disusun untuk

memenuhi persyaratan mata kuliah

ORAL BIOLOGY – III

KGH 3203

dibuat oleh:

Mawar Putri Julica

07/ 250270/ KG/ 08134

Kelompok : B-5

Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Gadjah Mada

2010

PENGARUH STIMULASI BERKUMUR, MENGUNYAH, DAN ASAM SITRUN TERHADAP SEKRESI & pH SALIVA

Mawar Putri Julica

07/250270/KG/08134

Laboratorium Biologi Mulut, Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

9 Maret 2010

ABSTRACT

Objectives: Saliva plays a critical role in oral homeostasis, as it modulates the ecosystem within the oral cavity.The Salivary flow rate and composition are influenced by the type of taste and kind of stimuli. The stimulation can be either intra-oral, such as taste or mechanical stimulation, or extra-oral, such as odors or expectations. Aim of this experiment was to understand how did gargling and chewing influence the salivary secretion.

Methods:We determined the salivary flow rates and pH of saliva in 8 healthy subjects when Unstimulated and while stimulated by various stimulations; gargling, chewing, and citric acid. In this study we use ph meter to measure ph and single use syringe to measure the volume.

Results:The result show that shows that the nature of the saliva can change referred to its secretion and pH dependent-stimuli. during  salivary secretion it gets the lowest results without stimulation (0.72 ml / min) and highest at stimulation with citric acid (1.4 ml / min). the highest pH at apple mastication (8.6) and lowest in the citric acid (8,07)

Conclusions:There are differences in the average saliva secretion rate per minute before stimulation and after stimulation.

Keyword(s) : salivary secretion, flow rate , pH, mechanical stimulus, citric acid stimulus

PENDAHULUAN

Saliva adalah cairan yang terdapat dalam rongga mulut yang mengandung bakteri mulut, sisa makanan dan sel-sel epitel yang terdeskuamasi.  Saliva disekresi dari glandula saliva mayor dan minor bersama – sama dengan ginggival crevicular fluid(GCF), merupakan cairan oral atau keseluruhan saliva yang menyediakan lingkungan kimiawi dari gigi dan jaringan lunak rongga mulut.1 Komponen saliva terdiri dari beberapa macam elektrolit seperti kalsium, bikarbonat, fosfat dan magnesium. Selain itu saliva mengandung komponen protein atau organik seperti immunoglobulin, enzim, musin, serta produk yang mengandung nitrogen seperti ammonia dan urea.2

Fungsi saliva adalah sebagai lubrikasi, pelindung, buffering action, pembersih, anti pelarut dan antibakteri serta berperan dalam proses pengecapan dan pencernaan dengan bantuan enzim amilase. Faktor yang ada dalam saliva yang berhubungan dengan karies antara lain adalah aksi penyangga dari saliva, komposisi kimiawi, aliran (flow), viskositas dan faktor anti bakteri 2,3

Terdapat berbagai macam sel yang bertanggung jawab dalam proses sekresi saliva, diantaranya sel acinar, intercalated duct cells, striated duct cells dan main excretory duct cells. Pada sel asinar glandula terdapat dua tipe sel non-secretotry, yaitu sel myoepithelial yang bertanggung jawab pada pemindahan sekresi saliva dari sel asinar ke sistem ductus, dan sel saraf (nerve cells) yang menstimulus sekresi saliva.4

Kontribusi dari setiap glandula dan komposisi cairan sekresi cukup bervariasi, tergantung umur, jenis kelamin, waktu, dan diet; yang juga penting adalah tipe, intensitas, dan durasi stimulus. Dan dari kesemuanya, factor yang paling penting dalam mempengaruhi komposisi saliva adalah aliran saliva (flow rate)4. Hasil dari berbagai penelitian menunjukan iklim dapat mempengaruhi laju aliran saliva, selain itu, variasi mengenai tinggi badan, gizi, status kesehatan juga telah menunjukan pengaruh5,6. Kecepatan sekresi (flow rate) bervariasi dari hampir tidak dapat diukur pada waktu tidur sampai 3-4 ml/menit pada stimulasi maksimal. Kelenjar saliva dapat dirangsang dengan beberapa cara, yaitu :

  • Ø Mekanis, misalnya mengunyah makanan keras atau permen karet;
  • Ø Kimiawi, oleh rangsangan rasa seperti asam, manis, asin, pahit, pedas;
  • Ø Neuronal, melalui sistem syaraf autonom, baik simpatis maupun parasimpatis;
  • Ø Psikis, stress menghambat sekresi, ketegangan dan kemarahan dapat menjadi stimulasi
  • Ø Rangsangan rasa sakit, seperti  radang, gingivitis, dan protesa dapat menstimulasi sekresi.7

Tabel 1. Ketergantungan kecepatan sekresi (ml/menit) parotis dan submandibularis/sublingualis terhadap sifat stiumulasi

Stimulasi Gld.parotis Gld. SM/SL Jumlah
Tanpa stimulasi 0,1 0,2 0,3
Daya pengunyahan 0,6 0,25 0,85
Asam sitrun 0,8 0,9 1,7
Mentol 0,5 0,8 1,3

Sumber : Amerongen, 1991

Laju aliran saliva (salivary flow rate= SFR) dalam individu yang sehat dapat bervariasi sesuai dengan faktor-faktor yang berbeda. Korelasi antara SFR dalam periode gigi decidui, gigi campuran atau gigi permanen tidak ditemukan juga8. Pada salah satu penelitian mengenai aliran saliva yang dirangsang dengan asam, stimulasi mekanik dari bahan makanan buatan (chewing inert materials), atau mengunyah makanan alami (natural foods), ditemukan bahwa Konsistensi dan volume makanan akan mempengaruhi aliran saliva9. Rata-rata aliran saliva mencapai maksimum saat distimulasi dengan asam sitrun9. Merokok juga dapat mempengaruhi aliran saliva; ditemukan bahwa pada perokok, aliran saliva lebih banyak dibanding yang non-perokok 10 .

Cairan sekresi eksokrin, seperti urine dan saliva mempunyai derajat asam (pH) yang berbeda-beda dan tergantung banyak hal, antara lain kecepatan sekresi. pH saliva total yang tidak dirangsang biasanya agak asam, bervariasi dari 6,4 – 6,9. Penurunan pH pada saliva (waktu istirahat) paling jelas terlihat pada glandula parotis7. Beberapa faktor yang mempengaruhi pH saliva : irama siang dan malam, diet, perangsangan kecepatan sekresi7.

Praktikum ini dilaksanakan agar praktikan mampu memahami pengaruh rangsang mekanik (berkumur dan mengunyah) dan rangsang kimiawi (asam sitrun) terhadap sekresi saliva dan derajat keasamannya (pH).

BAHAN DAN CARA

Pada percobaan ini, kami menggunakan saliva 8 orang probandus sebagai subjek penelitian. Sebagai bahan berkumur, kami menggunakan aquabides distilled water dan menggunakan pot sebagai penampung saliva. Selain peralatan diatas, kami menggunakan pH meter untuk mengukur pH, single-use syringe untuk mengukur volume saliva, stopwatch sebagai pengukur waktu, kertas saring dan buah apel, pisang dan asam sitrun sebagai stimulator. Sebelum percobaan dilakukan, praktikan dianjurkan mencatat waktu makan terakhir probandus dan waktu memulai percobaan. Percobaan berikutnya dilakukan  setelah 15 menit dari percobaan sebelumnya dan selama pengumpulan saliva posisi probandus berdiri tegak lurus engan lantai.

Pada pengukuran saliva tanpa stimulasi, saliva dikumpulkan di dalam rongga mulut selama lima menit. Setelah lima menit, volume saliva yang tertampung diukur dengan syringe secara aspirasi. Segera setelah  volume dibaca, dituangkan kembali ke dalam pot penampung untuk diukur derajat keasaman saliva dengan menggunakan pH meter

Pengukuran saliva dengan stimulasi berkumur, probandus berkumur dengan aquabides sebanyak 10 ml selama 1 menit. Air kumuran dibuang dan saliva dikeluarkan selama 1 menit dan ditampung ke dalam pot saliva. Untuk pengukuran volume dan pH saliva, prosedur pengukuran dilakukan seperti langkah diatas.

Pada pengukuran saliva dengan stimulasi mastikasi, probandus mengunyah apel atau pisang selama 5 menit. Kemudian saliva di keluarkan selama 10 detik. Setelah saliva ditampung dalam pot, dilanjutkan dengan mengukur volume dan pHnya dengan prosedur yang sama.

Selanjutnya, pengukuran saliva dengan stimulasi gustatori dengan asam sitrun Probandus berkumur dengan aquabides sebanyak 10 ml selama 1 menit. Air kumuran dibuang, kemudian lidah probandus ditetesi dengan asam sitrun hingga timbul sensasi pengecapan. Kemudian saliva dibuang. Probandus berdiri tegak lurus terhadap lantai lagi dan saliva dikumpulkan di dalam pot selama 1 menit, kemudian volumenya dan pH-nya diukur. Semua data dicatat, kemudian praktikan menghitung rerata volume & pH saliva dan menganalisis hasilnya.

HASIL PENGAMATAN

Tabel. Hasil rerata pengukuran volume dan Ph saliva yang distimulasi dan tanpa stimulasi

TANPA STIMULASI STIMULASI
Berkumur Makan apel Makan pisang Asam sitrun
Volume (ml) 3,6

(5 menit)

0,72

(1 menit)

1,37

(1 menit)

0,75

(1 menit)

0,9

(1 menit)

1,4

(1 menit)

pH 8,35 8,42 8,6 8,4 8,07

PEMBAHASAN

Kapasitas buffer saliva merupakan faktor penting, yang memainkan peran dalam pemeliharaan pH saliva, dan remineralisasi gigi. Kapasitas buffer saliva pada dasarnya tergantung pada konsentrasi bikarbonat .hal itu berkorelasi dengan laju aliran saliva, pada saat laju aliran saliva menurun cenderung untuk menurunkan kapasitas buffer dan meningkatkan resiko perkembangan karies11.

Dari hasil pengamatan di dapatkan bahwa rata-rata volume saliva tertinggi di dapatkan setelah mendapat stimulasi dengan asam sitrun (1,4 ml/menit) sedangkan rata-rata volume saliva terendah terjadi pada saat tanpa stimulasi/ kontrol (0,72 ml/menit) . Hasil yang di dapatkan pada percobaan ini menguatkan teori bahwa stimuli asam dapat meningkatkan sekresi saliva secara signifikan. Selain itu, komposisi dan jumlah saliva yang dihasilkan memang cukup bergantung pada tipe dan intensitas stimulus, pada stimulus asam sitrun volume/ kapasitas sekresi saliva memiliki volume tertinggi dibandingkan yang lain. (tanpa stimulasi: 0,4 ml/menit12; daya pengunyahan: 0,85 ml/menit7; asam sitrun: 1,7 ml/menit7,12).

Pada percobaan dengan stimulus berkumur aliran saliva yang dihasilkan memiliki nilai yang sama (1,37 ml/menit). Kemudian, pada stimulus dengan buah pisang (0,9 ml/menit), nilai ini menjadi lebih rendah pada saat stimulus apel (0,75 ml/menit). Pada teori sebelumnya menyebutkan bahwa produksi saliva dapat dirangsang oleh berbagai stimulus, termasuk stimulus mekanik yaitu berkumur dan mengunyah. Hal ini dapat dilihat dari perbedaan nilai antara aliran saliva yang tanpa stimulasi dengan yang distimulasi secara mekanik pada percobaan kali ini (lihat tabel hasil). Konsistensi dan volume makanan juga berpengaruh terhadap aliran saliva9. Makanan yang membutuhkan daya kunyah besar atau makanan yang rasanya cukup mencolok dapat meningkatkan aliran saliva dan juga mengubah komposisinya13. Dalam hal ini, pisang dan apel mengandung rasa yang akan menstimulasi pusat saliva untuk mensekresi saliva lebih banyak dibandinkan kondisi yang tidak distimulasi. Kemudian, karena konsistensi pisang yang lebih lunak dibanding apel, wajar saja jika aliran saliva pemakan pisang lebih rendah dibandingkan dengan pemakan apel. Namun, jika dibandingkan dengan stimulasi asam, aliran saliva dengan stimulasi mekanik tidaklah sebesar nilai stimulasi asam sitrun. Hal ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa stimuli asam merupakan stimulator kuat dalam sekresi saliva dibanding dengan stimuli sukrosa14.

Derajat keasaman (pH) saliva sangatlah bervariasi antara individu satu dengan individu lainnya. Pada diet yang mengandung karbohidrat akan menyebabkan turunnya pH saliva yang dapat mempercepat terjadinya demineralisasi enamel gigi. Sepuluh menit setelah makan karbohidrat akan dihasilkan asam melalui proses glikolisis dan pH dapat menurun sampai di bawah pH kritis15. Normalnya sekresi harian saliva perhari 1,5 liter dengan pH sedikit basa (7,4)16. Hasil praktikum menunjukkan pH saliva yang tidak distimulasi bernilai 8,35. Nilai ini masih termasuk normal mengingat banyak variable tidak terkedali dalam percobaan ini, misalnya saja ada beberapa probandus yang baru saja makan, sehingga terjadi peningkatan pH sesaat. Kemudian setelah distimulasi, ternyata terjadi peningkatan pH (pH berkumur: 8,42; pH makan apel : 8,6; pH pada stimulasi makan pisang = 7, 13) dan terjadi penurunan pH pada stimulus dengan asam sitrun (8,07). Pada dasarnya, kecepatan sekresi saliva langsung mempengaruhi derajat keasaman saliva dalam mulut. Dari hasil praktikum, hal tersebut dapat dibenarkan (jika aliran saliva meningkat, maka nilai pH juga meningkat). Akan tetapi hal ini tidak berlaku pada nilai pH saliva yang distimulasi dengan asam sitrun. Meski aliran saliva maksimal dicapai oleh stimulasi dengan asam sitrun dan sebaliknya minimum dengan stimulus manis17. Namun pH saliva mengalami penurunan, hal ini sesuai dengan sebuah penelitian yang mengatakan bahwa secara umum asupan makanan dapat menurunkan level Ph. pada penelitian ini mencoba membandingkan pengaruh rasa asin dan asam terhadap produksi saliva. Hasilnya menunjukkan bahwa intake makanan yang mengandung asam terbukti menurunkan level pH. Saat nilai pH turun, muco-protein akan didenaturasi dan fungsi lubrikasi hilang karena tidak adanya asam sialin. Sedangkan bahan pemanis  mempunyai kemampuan untuk meningkatkan aliran saliva sehingga dapat meningkatkan pH saliva18.

Kemudian yang perlu diperhatikan lagi adalah perbedaan pH saliva pemakan pisang dan pemakan apel. Karena rasa pisang yang lebih manis dibandingkan apel, maka seharusnya terjadi peningkatan aliran saliva yang diikuti dengan kenaikan nilai pH nya. Hal ini berarti hasil praktikum tidak sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa makanan yang membutuhkan daya kunyah besar atau makanan yang rasanya cukup mencolok akan meningkatkan aliran saliva dan juga mengubah komposisinya4. Kesalahan ini dapat terjadi karena beberapa hal, seperti pembacaan ph-indicator yang salah, posisi probandus pemakan pisang tidak berdiri sewaktu akan mengeluarkan saliva (aliran saliva tidak maksimal), probandus baru saja makan (terjadi peningkatan pH sementara), ataupun variable lain yang tidak bisa dikendalikan.

KESIMPULAN

Stimulasi berkumur, makanan, dan sasam sitrun dapat meningkatkan volume sekresi saliva, sehingga aliran saliva yang distimulasipun meningkat dengan signifikan dibandingkan aliran saliva yang tidak distimulasi. Peningkatan aliran saliva diikuti dengan adanya kenaikan nilai pH nya. Aliran saliva maksimal dicapai saat saliva dirangsang dengan asam sitrun dan minimum pada rangsangan manis.

DAFTAR PUSTAKA

1 Edgar, W.M. Saliva:its secretion, composition and function. Br.Dent. J 1992; 172(8):305-12.

2 Humprey SP, Williamson RT. A Review of Saliva Normal Composition, Flow and Function. J Prosthet Dent 2001;85(2):162-169.

3 Angela, A. Primary prevention in children with high caries risk. Dent. J  2005; 38: 130–134

4 Roth, Gerald I & Calmes, Robert. 1985. Oral Biology. The C.V.Mosby Company : ST.Louis. Toronto, London. Halaman : 196-231

5 Bretz WA, Valle EV, Jacobson JJ, Marchi F, Mendes S, Nor JE et al. Unstimulated salivary flow rates of young children. Oral Surg Oral Med Oral Pathol Oral Radiol Endod 2001;91:541-5.

6 Kavanagh DA, O’Mullane DM, Smeeton N. Variation of salivary flow rate in adolescents. Arch Oral Biol 1998;43:347-52.

7 Amerongen, A.N., 1991, Ludah dan Kelenjar Ludah: Arti Penting bagi Kesehatan Gigi, Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Halaman : 6-22; 37-39

8 Torres S.R., Nucci, M., Milanos,E., Pereira R.P.,Massaud, A., Munhoz, T. Variations Of Salivary Flow Rates In Brazilian School Children. Braz Oral Res 2006;20(1):8-12

9 Gavião, Maria Beatriz D. & Bilt, Andries Van der.. Salivary Secretion And Chewing : Stimulatory Effects From Artificial And Natural Foods. Journal Of Applied Oral Science 2004; 12(2) : 159-163

10 Carter, K. 2008.The Effect of Smoking on Salivary Flow and Antioxidant Capacity. downloaded:http://iadr.confex.com/iadr/2008Toronto/techprogram/abstract_107797.htm , diakses : 4 maret 2010.

11 C. Fenoll-Palomares, J. V. Muñoz-Montagud, V. Sanchiz, B. Herreros, V. Hernández, M. Mínguez andA. Benages Unstimulated salivary flow rate, pH and buffer capacity of saliva in healthy volunteers. REV ESP ENFERM DIG (Madrid) 2004 ; 96. :773-783.

12 Engelen L, de Wijk RA, Prinz JF, van der BILT A, Bosman F.. The Relation Between Saliva Flow After Different Stimulations And The Perception Of Flavor And Texture Attributes In Custard Desserts. Physiology and Behaviour 2003; 78:165-169.

13 Gavião, M.B.D., Engelen, L., And Van Der Bilt, A. Chewing Behavior And Saliva Secretion. European Journal Of Oral Sciences 2004; 112: 19-24.

14 Lugaz O, Pillias AM, Boireau-Ducept N, and Faurion A. Time–Intensity Evaluation of Acid Taste in Subjects with Saliva High Flow and Low Flow Rates for Acids of Various Chemical Properties. Chemical Sense. 2005; 30(1) : 89-103.

15 Sulistiyani dan Pradopo, Seno. Rata-Rata Ph Saliva Setelah Minum Susu Sapi, Susu Kental Manis dan Susu Kedelai. Majalah Kedokteran Gigi 2003; 36: 1.

16 Preetha, A. and Banerjee, R. Comparison of Artificial Saliva Substitutes. Trends Biomater. Artif. Organs 2005;  18 (2): 178-186.

17 Byron J. BaileyJonas T. JohnsonShawn D. Newlands. 2006. Head and neck surgery—otolaryngology. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Page:522

18 Pratiwi., T. Sutadi, H.,  Mangundjaja, S., Apriati, Y. Pengaruh Sorbitol Dalam Permen Terhadap Populasi Streptococcus Mutans Dalam Saliva Majalah Kedokteran Gigi Dental Journal 2001; 34: 130–134

sementum

Dapus:

1.Krstić, Radivoj V.1997.Human Microscopic Anatomy: An Atlas For Students Of Medicine And Biology.  Switzerland: Springer.

SEMENTUM

Sementum melapisi permukaan akar gigi. Fungsi utamanya adalah sebagai perlekatan serabut ligament periodontal yang menahan gigi untuk tetap pada posisinya dan berhubungan dengan jaringan sekitarnya. Sementum, seperti dentin, dapat tumbuh secara terus menerus selama kehidupan gigi tersebut. Sementum yang pertama kali ada disebut sementum primer, sedangkan sementum yang baru terbentuk mengacu kepada sementum sekunder. Sementum sekunder biasanya terbentuk sebagai hasil dari perlukaan yang bersifat fisika, kimiawi, maupun akibat bakteri, namun penyebab yang paling sering ditemukan adalah akibat perlukaan secara fisikal atau tekanan.

Struktur

Sementum memiliki struktur yang menyerupai tulang dan melapisi permukaan akar gigi. Sementum primer hanya merupakan suatu lapisan tipis, akan tetapi, karena deposit dentin sekunder yang terus menerus, maka lapisannya akan menjadi jauh lebih tebal. Penebalan tersebut tidak terjadi secara menyeluruh, akan tetapi dapat terlihat secara jelas di beberapa area, tergantung pada penyebabnya. Sementum berwarna kuning terang, lebih gelap dibandingkan enamel dan lebih terang dibandingkan dentin,  dengan demikian dapat dibedakan dari enamel dan dentin.

Sementum

Sementum adalah jaringan ikat klasifikasi yang meyelubungi dentin akar dan tempat berinsersinya bundel serabut kolagen. sementum dapat dianggap sebagai “tulang perlekatan” dan merupakan satu – satunya jaringan gigi khusus dari jaringan periodontal. hubungannya dengan tepi email bervariasi, dapat terletak atau bersitumpang dengan email tetapi dapat juga terpisah dari email oleh adanya sepotong kecil dentin yang terbuka. ketebalan sementum bervariasi, pada daerah sepertiga koronal hanya 16-60 mikrometer dan sepertiga apikal 200 mikrometer(difotonya pake lambang mikronya)

seperti jaringan klasifikasi lainnya, tulang dan denting, sementum terdiri dari serabut kolagen yang tertanam di dalam matriks organik yang terklasifikasi. kandungan organiknya, yaitu hidroksiapatit, lebih kecil dari tulang, misalnya hanya sekitar 45% (tulang 65%, dentin 70%, email 97%).

ada dua tipe sementum: selular dan aselular. sementum selular mengandung sementosit pada lakuna seperti osteosit pada tulang, dan saling berhubungan satu sama lain melalui anyaman kanalikuli. sementum aselular membentuk lapisan permukaan yang tipis, sering terbatas hanya pada bagian servikal akar. tidak mengandung sementosit di dalam substansinya, tetapi sementoblas terletak di permukaan sehingga istilah “aselular” sebenarnya kurang tepat diterapkan di sini.

ada dua susunan serabut kolagen pada sementum. serabut utama adalah serabut ligamen perodontal yang tertanam sebagai serabut sharpey pada matriks klasifikasi dan tergabung pada sementum ketika sementum dideposisikan. serabut ini tersusun tegak lurus terhadap permukaan sementum. serabut lainnya membentuk anyaman padat dan tidak teratur pada matriks. pada sementum aselular serabut sharpey tersusun padat dan sangat terkalsifikasi; pada sementum selular, serabut tersusun longgar dan terkalsifikasi sebagian. berbeda dengan tulang, di sini tidak terlihat adanya remodeling sementum misalnya melalui resorpsi internal dan deposisi; meskipun demikian, ada aposisi kontinu dari sementum permukaan karena aktivitas sementoblas terus berlanjut di sepanjang kehidupan. sementoid atau presementum adalah nama yang digunakan untuk menyebut matriks sementum sebelum kalsifikasi. selama kalsifikasi kristal hidroksiapit didepositkan di bawah serabut kolagen sejajar terhadap permukaannya, kemudian pada daerah permukaan dan akhirnya pada matriks sementoid. permukaan sementum berbentuk tonjolan konus di sekitar serabut atau bundel tunggal.

ketebalan sementum terbesar terjadi pada apeks dan pada daerah furkasi. dengan adanya atrisi misalnya ausnya permukaan oklusal gigi, deposisi kompensasi dari sementum apikal akan berlangsung, bersamaan dengan deposisi tulang pada puncak tulang alveolar dan pada fundus soket, untuk mempertahankan dimensi vertikal dari wajah.

pembentukan sementum yang berlebihan atau disebut juga sebagai hupersementosis, dapat terjadi setelah adanya penyakit pulpa atau stres oklusal. hipersementosis menyeluruh yang mengenai semua gigi umumnya herediter; keadaan ini juga terjadi pada penyakit paget. resorpsi sementum dapat disebabkan karena stres oklusal yang berlebihan , gerakan ortodonti, tekanan dari tumor atau kista, defisiensi kalsium atau vitamin A dan D. keadaan ini juga dapat ditemukan pada penyakit metabolisme tetapi patogenesisnya tidak jelas. Deposisi sementum dapat berlangsung setelah adanya resorpsi bisa penyebabnya sudah dihilangkan. kadang – kadang ankilosis sementum dan soket tulang, juga dapat terjadi.

Sementum

sementum adalah struktur terklasifikasi yang menutupi akar anatomis gigi. terdiri atas matriks terklasifikasi yang mengandung serabut kolagen. kandungan zat anorganik dalam sementum sekitar 45-50%.

Smentum dan Sementoid

Pada saat pertama kali terbentuk, sementum belum terklasifikasi, disebut sementoid. Setelah lapisan baru terbentuk. matriks yang telah tersusun sebelumnya terklasifikasi dan menjadi sementum matang. secara mikroskopis, sementum dapat dibagi menjadi dua tipe: selular dan aselular, namun tidak berbeda dalam fungsinya. sementum selular terdiri atas lakuna yang berisi sel – sel sementosit. sel – sel saling berhubungan melalui kanalikuli. penyebaran sementum selular dan aselular pada akar gigi bervariasi, biasanya sementum yang menutup bagian koronal akar gigi adalah sementum aselular, sedangkan yang menutup bagian apikal adalah sementum selular. sementum selular juga lebih banyak terdapat pada daerah bifurkasi dan trifurkasi serta sekitar apeks gigi, dan merupakan sementum yang lebih awal terbentuk selama penyembuhan luka.

Fungsi

Fungsi sementum adalah:

1. menahan gigi pada soket tulang dengan perantaraan serabut prinsipal ligamen periodonsium.

2. mengompensasi keausan struktur gigi karena pemakaian dengan pembentukan terus menerus.

3. memudahkan terjadinya pergeseran mesial fisiologis.

4. memungkinkan penyusunan kembali serabut ligamen periodonsium secara terus menerus.

sementum didepositkan sepanjang daur hidup sebuah gigi. sementoid dianggap sebagai penghalang terhadap migrasi epitelium fungsional ke apikal dan terhadap resorpsi permukaan akar.

pertemuan semento-email

hubungan antara sementum dan email pada pertemuan sementoemail ini memiliki arti secara klinis. ada tiga macam hubungan sementum dan email, seperti terlihat pada Gb. 1-10. pada 60-65% pasien, hubungan sementum-email saling menutupi atau overlap, 30% hubungan berupa butt joint (ujung dan ujung), sementara pada 5-10% pasien sementum dan email tidak bertemu sehingga dentin terbuka. pasien dengan dentin terbuka ini mempunyai sensitivitas tinggi terhadap rangsang termal dan taktil, bila terjadi resesi. Cacat ini juga meningkatkan akumulasi plak dan kalkulus. kalkulus yang terbentuk di daerah cacat ini sulit untuk dibersihkan, walaupun terlihat dengan jelas.

Proyeksi Servikal pada email

proyeksi servikal pada email sering meluas denan jarak bervariasi (tingkat 1, 2, 3) dari batas pertemuan sementoemail ke arah pertengahan furkasi (Gb. 1-11). peranannya dalam penyebaran penyakit ke arah furkasi masih belum diketahui dengan jelas. namun, proyeksi servikal dari email lebih banyak dilindungi oleh epitelium fungsional daripada sementum dan serabut jaringan ikat. perlekatan epitel lebih lemah daripada perlekatan jaringan ikat dan dapat membuka jalan untuk terjadinya keterlibatan furkasi lebih awal.

2.Dept. of the Army United States.. 1971.Dental specialist: Sept. 20, 1971. Department of the Army technical manual Technical manualUnited States Dept. of the Army Technical manual 8-225. University of Virginia: Dept. of Defense, Dept. of the Army

3.Fedi, P.F., Vernino, A.R., Gray, John L.200. Silabus Periodonti. Jakarta: EGC.

4.Manson, J.D. and Eley, B.M. 1993. Buku Ajar Periodontiti. Jakarta : hipokrates.

Dapus gambar:

5. Melfi, Rudy C. , Alley, Keith E. , Permar, D. 2000. Permar’s Oral Embryology And Microscopic Anatomy: A Textbook For Students In Dental Hygiene
Oral Embryology & Microscopic Anatomy . Baltimore: Lippincott Williams & Wilkins.

ORAL ULCER

ORAL ULCER

Secara umum, ulcer yang telah ada selama kurang dari 3 minggu termasuk akut, sedangkan yang bertahan lebih dari 3 minggu termasuk ulcer kronik. Ulcer akut adalah ulcer yang menunjukkan adanya infeksi akut dan peradangan akut. Daerah terkena menjadi bengkak dan hiperemi, dan dasarnya kotor. Mungkin dijumpai limfadenitis inguinal dan tanda serta gejala infeksi akut seperti demam, leukositosis dsb. Ulcer kronik lebih tenang, sedikit discharge, terdapat hiperkeratotik, dengan jaringan fibrosa yang padat dan dasar ulcer berwarna pucat tertutup jaringan granulasi yang tidak sehat. Ulcer tampak statis tanpa tanda-tanda menyembuh.

Solitary ulcers appearing in a first episode

Acute ulcer

Traumatic ulcers dan chemical/thermal burn

Traumatic ulcers dan perlukaan akibat zat kimia atau thermal biasanya memiliki sejarah yang jelas dan tidak terlalu sakit  dibandingkan aphthous ulcers. Traumatic ulcers terdiri atas dasar ulcer yang berwarna kuning dan dikelilingi oleh eritema dan hyperkeratosis. Selama pemeriksaan wawancara dengan pasien biasanya penyebab untuk mengidentifikasi kasus ini adalah penggigitan yang tidak disengaja (accidental biting) atau pemasangan gigi tiruan yang kurang baik. Ulcer ini sering kali mengenai permukaan lateral lidah, mukosa bukal, lipatan mukobukal dan bibir (lokasi-lokasi yang mudah tergigit ataupun terkena iritasi gigi tiruan). Sebagian besar jenis ulcer ini akan sembuh dalam waktu 3 minggu selama penyebab yang terlihat jelas dihilangkan.

Chronic ulcer

Traumatic ulcerative granuloma

Sewaktu-waktu, traumatic ulcer pada lidah mungkin tidak sembuh dan tetap ada hingga kemudian menjadi traumatic ulcerative granuloma dengan stromal eosinophilia. Ulcer ini merupakan kawah yang dalam dengan tepi yang meninggi dan mengeras yang dengan mudahnya dapat terlihat seperti keganasan. Eksisi yang incomplete dari ulcer ini dapat menuju kepada recurrence.

Differential diagnosis of solitary ulcers appearing in first episode:

Local factor infectious Immune mediated
acute Traumatic ulcer none None
Chemical burn
Thermal burn
chronic Squamous cell carcinoma Tuberculosis ulcer Chronic ulcerative stomatitis
Traumatic ulcerative granuloma Primary syphilis : chancre Wegner’s granulomatosis
Necrotizing sialometaplasia Deep fungal infection
Ulcerated bony sequestrum Cytomegalovirus infection

Differential diagnosis  of multiple ulcers appearing in a first episode:

Local factor infectious Immune mediated
acute none Primary herpetic gingivostomatitis Erythema multiforme
Hand-foot-mouth disease Reiter syndrome
herpangina Sweet’s syndrome
Acute necrotizing ulcerative gingivitis
chronic none none Contact mucositis

Differential diagnosis  of multiple ulcers appearing in a recurrent episode:

Local factor infectious Immune mediated
acute none Recurrent herpetic infection Minor/major aphthous ulcers
Bechet’s syndrome
MAGIC syndrome
PFAPA
TRAPS
Celiac disease
Crohn’s disease
Cyclic neutropenia
Erythema multiforme
chronic none HSV infection in immunocompromised patients Lichen planus
Mucous membrane pemphigoid
Pemphigus vulgaris

MAGIC : mouth and genital ulcers with inflamed cartilage

PFAPA : periodic fever, aphthous stomatitis, pharyngitis, and cervical adenitis

TRAPS : tumor necrosis factor receptor associated periodic syndrome

Multiple ulcers appearing in a first episode

Acute

Pasien dengan oral ulcers yang berhubungan dengan primary herpetic gingivostomatitis, herpangina, dan hand-foot-and-mouth disease memiliki symptom lain berdasarkan viral infection yang bersifat akut seperti fever, malaise, headache, dan sore throat.

Multiple ulcers appearing in a recurrent episode

Acute

Sebagian besar ulcer ini berupa RAS atau recurrent HSV ulcerasi. Ulcer tidak dibedakan dari RAS tejadi sewaktu-waktu sebagai reksi hipersensitif untuk obat-onat tertentu atau sebagai manifestasi dari penyakit sistemik seperti AIDS, BS, celiac disease, inflammatory bowel disease, dan PFAPA syndrome. Untuk masalah komplikasi, beberapa penyakit immunologi dan alergi menghasilkan oral ulcer yang seringkali sulit dibedakan dengan RAS. Untungnya, RAS mudah dibedakan dengan penyakit-penyakit ini dengan evaluasi riwayat dan klinis dengan cermat.

Kronik

Kelompok penyakit ini sering didiagnosa secara keliru selama berminggu-minggu smapai berbulan-bulan. Dalam penyakit rekuren, seperti misalnya lesi yang dijumpai pada pasien dengan stomatitis aftosa, pasien dapat mengalami ulserasi yang berkesinambungan dari mukosa mulutnya, akan tetapi masing-masing lesi akan sembuh dan akan terbentuk yang baru. Dalam kategori dari penyakit ini, lesi yang sama bisa terdapat selama berminggu-minggusampai berbulan-bulan. Penyakit yang utama dalam kelompok ini adalah pemhigus vulgaris, pemphigus vegetans, bullous pemphigoid, dan erosive liken planus.

Dapus :

Ball, Gene ; Bridges, S.Louis . 2008. Vasculitis. USA :Oxford University Press

Lynch, Malcolm, et all. 1992. Ilmu penyakit Mulut : Diagnosis dan Terapi. Jakarta: Binarupa Aksara

Tinjauan Tuberculum Anomali Carabelli

Tugas Forensik

Tinjauan Tuberculum Anomali Carabelli

disusun untuk

memenuhi persyaratan mata kuliah

ILMU KED. GIGI FORENSIK

KUG3320-B

dibuat oleh:

Mawar Putri Julica

07/ 250270/ KG/ 08134

Fakultas Kedokteran Gigi

Universitas Gadjah Mada

2010

1.Struktur Tuberkulum Anomali Carabelli (TAC)

Antropologi dental dimulai pada sekitar abad 19, di mana antropolog dan ahli anatomi melihat adanya variasi morfologis gigi, dan mulai mendeskripsikannya. Variasi morfologi ini diduga berkaitan dengan variasi biologis manusia dari sisi non-dental, sehingga ada kaitannya dengan jenis-jenis ras manusia. Jenis karakteristik gigi yang mula-mula ditemukan adalah Carabelli cusp atau kadang disebut dengan Carabelli trait. Cusp ini banyak dijumpai pada orang Eropa. (Artaria,2007). etiologi dari tonjol Carabelli tetap tidak diketahui. Genetik dan faktor eksogen telah diajukan. Kebanyakan penelitian setuju bahwa penampilan fenotipik tonjol ditentukan secara genetik. Menurut Dietz (1994), harus ada gen dominan yang bertanggung jawab atas kehadiran tuberkel carabelli ini. (Mavrodisz, et al., 2007)

Gambar.Carabelli trait pada molar pertama (M1) atas kanan, dilihat dari oklusal(Carbonell,1960)

Sebagai cusp, Carabelli trait ini mempunyai ukuran yang bervariasi. Ukurannya mulai dari bentuk sebagai tonjolan kecil, sampai dengan cusp yang ukurannya sama besar dengan cusp inti. Kadangkala, Carabelli ini berupa cingulum yang muncul di bagian lingual. Hal seperti ini juga dijumpai pada primata selain manusia, misalnya chimpanzee, gibbon, orangutan dan gorilla

Alvesalo et Al3 (1975) meneliti 233 pasien penduduk pedesaan di Finlandia untuk kehadiran toonjol carabelli. 79% dari mereka memiliki tonjol di molar pertama. Terjadinya struktur bilateral dengan berbagai derajat asimetri. Mereka mengklasifikasikan struktur carabelli sebagai berikut:

1. Permukaannya halus.

2. satu groove atau parit.

3. double groove atau alur berbentuk Y.

4. Sedikit tonjol kecil atau titik puncak.

5. Puncak tonjol yang besar

Stuktur dari carabelli adalah berbentuk tuberkulum atau tonjolan kecil, atau groove, sering terdapat di permukaan palatal dari tonjol mesiopalatal dari molar permanen rahang atas dan molar decidui kedua rahang atas.(Biggerstaff R.H, 1973) termasuk mencakup berbagai jenis variasi, mulai dari sama sekali tidak ada pit, groove, tuberkulum, kups (tonjol). (Abrams,L., et al, 1992). Notasi ini memberikan dasar bagi upaya awal untuk mendapatkan skala deskriptif. Suatu tinjauan pustaka mengenai fitur ini menunjukkan perubahan dalam etnis dan dalam beberapa kasus Dimorfisme seksual.

Dietz (1944) menemukan bahwa tuberkulum carabeli atau tonjol carabelli memiliki berbagai macam ekspresi, dia menjelaskan 4 jenis kategori: lobular, cuspoid, ridges dan pitted. Oleh karena variasi dari penampakan dari tonjol carabelli, termasuk indentasi permukaan (ridges atau pit),  dirasakan bahwa istilah Carabelli’s Anomaly (tuberkulum anomaly carabelli= TAC) lebih banyak diterapkan berdasarkan pada fakta. Anomaly ini paling sering terdeteksi secara simetris di kedua sisi rahang atas (Alvesalo et al., 1975). Anomali umumnya bilateral, tetapi Dietz (1944) menemukan kasus unilateral yang langka. Hal ini terjadi biasanya pada molar pertama rahang atas, meskipun Carabelli sendiri menunjukkan bahwa tonjol carabeli dapat terjadi di salah satu molar rahang atas. Kejadian yang paling langka di molar ketiga Sejak itu banyak penelitian telah dilakukan pada morfologi dari tonjol carabelli, yang merupakan penemuan penting pada antropologi, dan modus hereditas. Kejadian dan tingkat ekspresi di antara spesies yang berbeda, yang dapat digunakan untuk mendeteksi dan untuk membandingkan berbagai populasi (Palomino et al., 1977). Ini merupakan produk akhir dari interaksi dari sebuah sistem yang kompleks dari faktor lingkungan dan ontogenetic. Terkadang tuberkulum carabelli muncul pada molar kedua rahang atas di bagian cuspid mesiopalatalnya.(Indriati, 2004)

2. Insidensi Tuberkulum Anomali Carabelli (TAC)

Carabelli trait ditemukan oleh Georg von Carabelli pada tahun 1842. Dia adalah seorang dokter gigi yang dipekerjakan oleh Kaisar Franz di Austria. Carabelli trait adalah accessory cusp yang letaknya pada bagian mesiolingual molar atas. Frekuensi kemunculan dari tonjol carabelli telah di laporkan di banyak tulisan. Karakteristik ini banyak di temukan pada bangsa eropa. Pada laporan lain melaporkan tonjol ini ditemukan jarang pada suku Indian, aborigin,Australia, bangsa china, Eskimo dan negroid.(Tedeschi, C.G.,et al, 1988)

Pada populasi kaukasoid memiliki perbedaan denga ras mongoloid, karena kaukasoid memiliki prevelensi dari tuberkel carabelli yang lebih tinggi( Hsu et al. , 1997 ).sesuai dengan penelitian, perkawinan antara ras eropadan mongoloid dapat mereduksi prevalesnsi kemunculan tuberkulum pada ras europid(eropa-mongoloid).(Mavrodisz,K., et al, 2007)

Pada salah satu studi di suku Saudi Arabia, ditemukan Hasil lebih lanjut menunjukkan bahwa walaupun varietas TB(tuberculum) lebih sering terlihat di salah satu dari dua jenis gigi lebih kasus dalam pertumbuhan gigi permanen daripada di gigi primer. Hal ini konsisten dengan temuan oleh Salako et al 1993 antara etnis Yoruba di Nigeria. Penjelasan untuk fenomena ini mungkin berkaitan dengan perbedaan dalam periode waktu pengembangan dan waktu yang diperlukan untuk Odontogenesis relatif pendek di gigi primer dibandingkan dengan pertumbuhan gigi permanen. Hal ini dapat menyebabkan perkembangan yang kurang ditandai dari karakteristik morfologi dari setiap gigi primer. Nilai prevalensi diperoleh untuk penduduk Saudi serupa dengan Malaysia (Rushman.), tetapi lebih rendah daripada populasi lain dalam penelitian lain.

Karakteristik ini seringkali ditemukan pada sudut mesiolingual M1 permanen atau M2 gigi sulung, dan kadang-kadang dijumpai pada M2 permanen. Pada penelitian yang mengkorelasikan antara Carabelli cusp dengan ukuran mahkota gigi, ternyata terdapat korelasi yang positif antara besarnya Carabelli cusp dengan ukuran mahkota gigi. Ada indikasi dimorfisme sexual pada ukuran Carabelli cusp, di mana laki-laki cenderung mempunyai cusp yang lebih besar, meskipun tidak semua penelitian menghasilkan kesimpulan yang sama . (Harris,E.F., 2007). Pada penelitian Hsu et al., ditemukan juga bahwa terdapat korelasi yang positif antara kemunculan Carabelli cusp dan Shovel shape pada populasi di Cina di Taiwan dan Bunun (penduduk asli di Taiwan), khususnya pada populasi yang pertama.

3. Tonjol lain

Hypocone

Dari sisi evolusi gigi manusia, hypocone adalah yang paling belakangan muncul. Bentuknya cukup bervariasi, terutama pada molar ke dua. Hypocone sangat sering dijumpai di Afrika, dan cukup sering dijumpai di Asia. Identifikasi hypocone pada umumnya tidak terlalu sulit, kecuali pada molar ke 2 dan molar ke 3, di mana kadang kala hypocone sulit dibedakan dengan metaconule

Metacone (Cusp 3)

Metacone (cusp 3) pada molar atas mempunyai ukuran yang bervariasi.Turner 2 memberikan skor mulai 0 sampai 5 berdasarkan besarnya relative terhadap cusp yang lain.

Gambar . Metacone (Cusp 3) molar atas

Cusp 5 (Metaconule)

Metaconule (Cusp 5) ditemukan pada bagian oklusal, pada distal marginal ridge molar atas, di antara metacone dan hypocone, tetapi lebih dekat pada metacone. Kemunculan metaconule lebih sering pada molar 1 atas, meskipun dapat pula dijumpai pada molar 2 dan 3, sehingga scoring dilakukan pada molar ke satu. Pada penelitian yang dilakukan di Melanesia, meskipun metaconule dijumpai lebih sering pada molar ke 1, tetapi ketika muncul di molar ke 2 dan ke 3, ukurannya lebih besar.

Gambar. Variasi besarnya Metaconule (cusp 5 atau C5) pada molar atas. Terletak pada distal marginal ridge molar atas ke satu.

Parastyle

Parastyle terletak pada permukaan buccal paracone molar atas ke 3, atau ke 2, dan lebih jarang dijumpai pada molar ke 1. Parastyle kadang disebut sebagai paramolar tubercle. Meskipun jarang dijumpai, bisa saja parastyle muncul pada bagian buccal metacone.

Gambar. Parastyle pada molar atas

DAFTAR PUSTAKA

Alvesalo N , Nuutila M , Portin P 1975 The cusps of Carabelli, occurrence in fi rst upper molars and evaluation of its heritability . Acta Odontologica Scandinavica 33 : 191 – 197

Artaria, Myrtati D. 2007. Variasi Non-Metris pada Geligi Manusia. Departemen Antropologi, FISIP, Universitas Airlangga

Biggerstaff R.H., Heritability of the Carabilli Cusp in Twins; J Dent Res. 1973;52(1):40-44.

B. S. Kraus, R. E. Jordan, L. Abrams, Kraus’s Dental Anatomy and Occlusion; Second Edition, ch.5:75,1992.

Carbonell, V.M. The Tubercle Of Carabelli In The Kish Dentition, Mesopotamia, 3000 B.C. J Dent Res 1960; 39; 124

Dietz, V. 1944. A Common Dental Morphotropic Factor, The Carabelli Cusp. J. Am. Dent. Ass. 31: 784-789. Sit; Kraus, B.S. 1950.Carabelli’s Anomaly Of The Maxillary Molar Teeth, Observations On Mexicans And Papago Indians And An Interpretation Of The Inheritance. Department Of Anthropology, University Of Arizona, Tucson, Arizona

Harris, E. F. Carabelli’s Trait And Tooth Size Of Human Maxillary First Molars. Am J Phys Anthropol. 2007 , Vol. 132(2):238-46.

Hsu, J.W., Tsai, P.L., Hsiao, T.H., Chang, H.P., Lin, L.M., Liu, K.M., Yu, H.S., Ferguson, D. The Effect Of Shovel Trait On Carabelli’s Trait In Taiwan Chinese And Aboriginal Populations. J Forensic Sci. 1997, Vol. 42(5):802-6.

Indriati, E. 2004. Antropologi Forensik. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press.

Khraisat, A., Taha, S.T., Jung, R.E., Hattar, S., Smadi, L., Al-Omari, I.K., Jarbawi, M. Prevalence, Association, And Sexual Dimorphism Of Carabelli’s Molar And Shovel Incisor Traits Amongst Jordanian Population Odontostomatol Trop. 2007, Vol. 30(119):17-21.

Mavrodisz, K., Rózsa, N. , Budai, M. , Soós, A ., Pap,  I. And Tarján,  I.. Prevalence Of Accessory Tooth Cusps In A Contemporary And Ancestral Hungarian Population. European Journal Of Orthodontics 29 (2007) 166–169

Palomino H , Chakraborty R , Rothlammer F. 1977 Dental Morphology And Population Diversity . Human Biology 46 : 6 – 7. Sit:  Mavrodisz, K., Rózsa, N. , Budai, M. , Soós, A ., Pap,  I. And Tarján,  I.. Prevalence Of Accessory Tooth Cusps In A Contemporary And Ancestral Hungarian Population. European Journal Of Orthodontics 29 (2007) 166–169

Salako N.O., Allen A.O. Ashiru O.A. A Study Of The Carabelli Trait In The Nigerian Ethnic Population. Pediatric Dental Journal 1993, 3: 31-34.

Tedeschi, C.G., Eckert, W.G., Tedeschi, L.G. 1988. Forensic Medicine. Philadelphia: W.B. Sauders Company.