KASUS
Pak Dadap 56 tahun dengan keluhan gigi-giginya goyah dan mudah berdarah. Akhir-akhir ini mudah lelah dan nafsu makannya berkurang. Riwayat medik pernah menderita angina pectoris kurang lebih 2 tahun yang lalu, dan saat ini dalam pengobatan dengan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor untuk hipertensi dan aspirin untuk arthritis. Pemeriksaan klinis menunjukkan kebersihan mulut kurang. Poket periodontal dengan kedalaman >6 mm dijumpai pada sebagian besar gigi yang masih ada. Vital signs: nadi=80, respirasi=15, suhu=38,2oC, tekanan darah=150/95 mmHg.
TANDA DAN GEJALA
Pada kasus, ditemukan lima tanda dan gejala yang tampak, yaitu :
- Vital signs, yang terdiri dari: – suhu tubuh
– tekanan darah
- Poket periodontal
- Oral hygiene kurang baik
- Gigi geligi goyah dan mudah berdarah
- Mudah lelah dan nafsu makan berkurang
Vital Signs
Vital signs terdiri dari empat unsur utama yaitu: denyut nadi permenit, respirasi permenit, suhu tubuh, serta tekanan darah. Pada kasus, vital signs pada pasien yaitu: suhu tubuh 38,2oC, dan tekanan darah 150/95 mmHg.
Suhu Tubuh
Dalam tubuh, panas dihasilkan oleh gerakan otot, asimilasi makanan, dan oleh semua proses vital yang berperan dalam tingkat metabolisme basal. Suhu tubuh normal, terutama di dalam mulut berkisar antara 36,3-37,1oC (Ganong, 2003). Suhu tubuh pasien 38,2oC yang menandakan pasien sedang demam.
Tekanan Darah
Peningkatan progresif pada tekanan seiring dengan usia adalah akibat dari pengaruh penuaan, pada mekanisme kontrol tekanan darah. Ginjal terutama bertanggung jawab untuk pengaturan jangka lama terhadap tekanan arteri. Ginjal akan memperlihatkan perubahan deskriptif seiring usia, terutama setelah 60 tahun.
Tabel 1. Tekanan Sistole dan Diastole Normal Pada Berbagai Umur (Pria dan Wanita)
Umur |
20-24 tahun |
25-29 tahun |
30-34 tahun |
35-39 tahun |
Pria (mmHg) |
114-142/62-88 |
114-142/63-87 |
112-148/64-94 |
112-148/64-94 |
Wanita (mmHg) |
108-134/60-84 |
107-137/61-85 |
109-139/63-87 |
110-140/65-91 |
Sirkulasi darah manusia dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya faktor hormon. Dua sifat penting dari hormon yang dapat mempengaruhi regulasi tekanan darah yaitu:
- Vasokonstriktor, menyempitkan pembuluh darah. Contohnya norepinefrin, angiotensi, dan vasopresin.
- Vasodilatasor, meningkatkan aliran darah. Contohnya bradikinin, histamin, dan prostaglandin.
Tekanan darah tinggi atau hipertensi adalah kondisi medis di mana terjadi peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam jangka waktu lama) (Ngatidjan, 2001).
Tabel 2. Klasifikasi Tekanan Darah pada Dewasa
Kategori |
Tekanan Sistolik |
Tekanan Diastolik |
Normal |
120-130 mmHg |
85-95 mmHg
Untuk para lansia, tekanan diastolik 140 mmHg masih dianggap normal |
Normal tinggi |
130-139 mmHg |
85-89 mmHg |
Hipertensi ringan |
140-159 mmHg |
90-99 mmHg |
Hipertensi sedang |
160-179 mmHg |
100-109 mmHg |
Hipertensi berat |
180-209 mmHg |
110-119 mmHg |
Hipertensi maligna |
210 mmHg – lebih |
120 mmHg – lebih |
Tekanan darah pada pasien tersebut adalah 150/95 mmHg. Berdasarkan dari teori yang diperoleh, maka pasien digolongkan dalam kategori hipertensi ringan.
Poket periodontal
Poket periodontal merupakan kelanjutan dari penyakit periodontitis yang tidak ditangani dengan baik. Poket periodontal dapat menyebabkan beberapa hal, yaitu:
- Kedalaman probing akan meningkat
- Meningkatnya perdarahan saat probing dilakukan
- Meningkatnya temperatur pada poket periodontal itu sendiri
- Peningkatan volume GCF (Gingival Crevicular Fluid)
(Odont, 2002)
Oral hygiene kurang baik
Oral hygiene merupakan cermin dari kesehatan mulut seseorang. Rongga mulut yang sehat pasti memiliki oral hygiene yang baik. Oral hygiene yang buruk dapat memacu timbulnya berbagai macam gangguan dan penyakit, mulai dari halitosis (bau mulut), periodontitis, karies gigi, hingga poket periodontal. Pembersihan pada gigi dapat dilakukan oleh pakar kebersihan gigi, oleh dokter gigi, maupun dilakukan sendiri. Usaha yang dapat yaitu:
- Penggunaan disclosing wafers, yaitu sejenis tablet kunyah berwarna merah yang akan mewarnai plak gigi
- Oral rinsing, yang dapat membantu mengurangi plak pada gigi
- Menyikat gigi secara teratur
- Penggunaan dental floss
(Finn, 2003).
Gigi geligi goyah dan mudah berdarah
Gigi geligi yang goyah menandakan bahwa sudah terganggu atau hilangnya perlekatan gigi dengan ligamen periodontal. Gusi yang mudah berdarah merupakan efek dari hilangnya perlekatan gigi dan ligamen periodontal tersebut, terutama saat dilakukannya probing (Odont, 2002).
Mudah lelah dan nafsu makan berkurang
Pasien dengan kondisi tubuh mudah lelah dikarenakan pengkonsumsian obat-obatan seperti contohnya adalah aspirin sebagai obat arthritis. Nafsu makan berkurang dikarenakan efek samping dari penggunaan obat-obatan dalam jangka waktu lama, selain itu disebabkan oleh oral hygiene buruk yang menyebabkan berbagai penyakit gigi dan periodontal. Keadaan inflamasi akan memberikan sensasi tidak nyaman saat berbicara maupun pada saat makan.
LATAR BELAKANG MEDIS
Pasien pernah menderita angina pectoris kurang lebih 2 tahun yang lalu, dan saat ini dalam pengobatan dengan angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitor dan aspirin.
PEMERIKSAAN SUBYEKTIF
- Keluhan Utama (Chief Complain)
à Gigi goyah dan mudah berdarah
- Keadaan Sakit Sekarang (Present Illness)
à Hipertensi, Arthritis
- Riwayat Kesehatan Gigi (Past Dental History)
à Belum pernah melakukan perawatan gigi sebelumnya
- Riwayat Kesehatan Umum (Past Medical History)
à Angina pectoris kurang lebih dua tahun yang lalu
- Riwayat Keluarga (Family History)
à Tidak ada riwayat penyakit keturunan
PEMERIKSAAN OBYEKTIF
- Pemeriksaan Umum
à Mudah lelah, nafsu makan berkurang
- Pemeriksaan Lokal
à Oral hygiene kurang
à Poket periodontal dengan kedalaman >6mm pada sebagian besar gigi yang masih ada
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Untuk menegakkan diagnosis diperlukan pula pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan foto rontgen.
- Pemeriksaan Laboratorium
- Rheumatoid Arthritis
Beberapa hasil uji laboratorium dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis artritis reumatoid. Sekitar 85% penderita artritis reumatoid mempunyai autoantibodi di dalam serumnya yang dikenal sebagai faktor reumatoid. Autoantibodi ini adalah suatu faktor anti-gama globulin (IgM) yang bereaksi terhadap perubahan IgG. Titer yang tinggi, lebih besar dari 1:160, biasanya dikaitkan dengan nodula reumatoid, penyakit yang berat, vaskulitis, dan prognosis yang buruk.
Faktor reumatoid adalah suatu indikator diagnosis yang membantu, tetapi uji untuk menemukan faktor ini bukanlah suatu uji untuk menyingkirkan diagnosis reumatoid artritis. Selain itu, sekitar 5% orang normal memiliki faktor reumatoid yang positif dalam serumnya. Insidens ini meningkat dengan bertambahnya usia. Sebanyak 20% orang normal yang berusia diatas 60 tahun dapat memiliki faktor reumatoid dalam titer yang rendah. Tes faktor reumatoid biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis reumatoid terutama bila masih aktif.
Selain itu, pada pemeriksaan laboratorium, protein C-reaktif biasanya positif, LED meningkat, leukosit normal atau meningkat sedikit, anemia normositik hipokrom akibat adanya inflamasi yang kronik, trombosit meningkat, serta turunnya kadar albumin serum dan naiknya kadar globulin.
Pemeriksaan laboratorium khusus untuk membantu menegakkan diagnosis lainya, misalnya : gambaran immunoelectrophoresis HLA (Human Lymphocyte Antigen) serta Rose-Wahler test.
- Hipertensi
Beberapa hasil uji laboratorium dipakai untuk membantu menegakkan diagnosis hipertensi, seperti pemeriksaan darah (rutin, BUN, kreatinin, elektrolit, KGD) dan pemeriksaan urine (urinelisa dan kultur urine). Diagnosis hipertensi dapat juga ditegakkan dengan pemeriksaan EKG (12 lead, melihat tanda iskemi) (Majid, 2004).
- Foto Rontgen
- Rheumatoid Arthritis
Pada awal penyakit tidak ditemukan, tetapi setelah sendi mengalami kerusakan yang berat dapat terlihat penyempitan ruang sendi karena hilangnya rawan sendi. Terjadi erosi tulang pada tepi sendi dan penurunan densitas tulang. Perubahan ini sifatnya tidak reversibel. Secara radiologik didapati adanya tanda-tanda dekalsifikasi (sekurang-kurangnya) pada sendi yang terkena.
- Hipertensi
Dilakukan foto dada untuk melihat apakah ada oedema paru (Majid, 2004).
EFEK OBAT
ACE Inhibitor
ACE inhibitor efektif untuk hipertensi ringan, sedang, maupun berat. ACE inhibitor bekerja dengan menghambat perubahan Al menjadi All sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Vasodilatasi secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan ekskresi air dan natrium serta retensi natrium (Nafrialdi, 2007).
ACE inhibitor dapat menyebabkan efek samping, seperti hipotensi, batuk kering, hiperkalemia, rash dan gangguan pengecapan, edema angioneurotik, gagal ginjal akut, proteinuria, dan efek teratogenik terutama bagi wanita hamil pada trimester 2 dan 3 (Nafrialdi, 2007).
Aspirin
Asam asetil salisilat yang lebih dikenal segabai asetosal atau aspirin adalah analgesic antipiretik dan anti-inflamasi yang sangat luas digunakan dan digolongkan dalam obat bebas. Pada orang sehat, aspirin menyebabkan perpanjangan masa perdarahan. Aspirin tidak boleh diberikan pada pasien dengan kerusakan hati berat, hipoproteombinemia, defisiensi vitamin K dan hemophilia, sebab dapat menimbulkan perdarahan (Wilmana dan Gan, 2007).
Walaupun telah banyak ditemukan obat antireumatoid baru, salisilat masih dianggap obat standar pada studi perbandingan dengan obat antireumatik laik. Sebagian pasien rheumatoid arthritis dapat dikontrol dengan salisilat saja; bila hasilnya tidak memadai, dapat digunakan obat lain. Selain menghilangkan nyeri, salisilat jelas menghambat inflamasinya. Dosisnya ialah 4-6 g/hari, tetapi dosis 3 g sehari kadang-kadang cukup memuaskan (Wilmana dan Gan, 2007).
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
- Periodontitis
Periodontitis adalah peradangan atau infeksi pada jaringan penyangga gigi (= jaringan periodontium). Yang termasuk jaringan penyangga gigi adalah gusi, tulang yang membentuk kantung tempat gigi berada, dan ligamen periodontal (selapis tipis jaringan ikat yang memegang gigi dalam kantongnya dan juga berfungsi sebagai media peredam antara gigi dan tulang).
Suatu keadaan dapat disebut periodontitis bila perlekatan antara jaringan periodontal dengan gigi mengalami kerusakan. Selain itu tulang alveolar (= tulang yang menyangga gigi) juga mengalami kerusakan.
Periodontitis dapat berkembang dari gingivitis (peradangan atau infeksi pada gusi) yang tidak dirawat. Infeksi akan meluas dari gusi ke arah tulang di bawah gigi sehingga menyebabkan kerusakan yang lebih luas pada jaringan periodontal.
Bila ini terjadi, gusi dapat mengalami penurunan, sehingga permukaan akar terlihat dan sensitivitas gigi terhadap panas dan dingin meningkat. Gigi dapat mengalami kegoyahan karena adanya kerusakan tulang.
Penyebab Periodontitis
Periodontitis umumnya disebabkan oleh plak. Plak adalah lapisan tipis biofilm yang mengandung bakteri, produk bakteri, dan sisa makanan. Lapisan ini melekat pada permukaan gigi dan berwarna putih atau putih kekuningan. Plak yang menyebabkan periodontitis adalah plak yang berada tepat di atas garis gusi. Bakteri dan produknya dapat menyebar ke bawah gusi sehingga terjadi proses peradangan dan terjadilah periodontitis.
Tanda dan Gejala Periodontitis
Kadang pasien tidak merasakan rasa sakit ataupun gejala lainnya. Biasanya tanda-tanda yang dapat diperhatikan adalah
- Gusi berdarah saat menyikat gigi
- Gusi berwarna merah, bengkak, dan lunak.
- Terlihat adanya bagian gusi yang turun dan menjauhi gigi.
- Terdapat nanah di antara gigi dan gusi.
Tanda dan gejala:
- Berhubungan langsung dengan deposit plak dan kalkulus
- Keluhan yang disebabkan oleh hipersensitif dentin karena resesi sebagian besar gigi
- Terjadi pada umur lebih dari 40 tahun
- Plak banyak karena kerusakan yang terjadi
- Inflamasi gingiva (pembesaran, kemerahan dan perdarahan)
- Kerusakan hampir merata pada semua gigi, kecuali bila disertai faktor predisposisi seperti trauma, food impaksi
- Loss of attachment disertai poket dan resesi
- Rheumatoid Arthritis
Rheumatoid arthritis merupakan penyakit autoimun yang menyerang beberapa organ dan sistem tubuh serta juga dihubungkan dengan adanya destruksi jaringan ikat persendian dan tulang. Baik periodontitis maupun rheumatoid arthritis, keduanya memperlihatkan adanya ketidakseimbangan antara sitokin proinflamasi dengan sitokin antiinflamasi, di mana hal ini dianggap bertanggung jawab terhadap timbulnya kerusakan jaringan. Baik periodontitis maupun rheumatoid arthritis, keduanya dihubungkan dengan destruksi tulang, yang diperantarai oleh sitokin inflamasi seperti interleukin-1, tumor necrosis factor, dan prostaglandin E2.
Rheumatoid arthritis merupakan poliarthitis kronik. Sekitar dua pertiga pasien, penyakit ini muncul perlahan dengan rasa lelah, anoreksia, kelelahan umum, dan gejala musculoskeletal samar sampai sinovitis muncul secara nyata (Lipsky, 2008).
Hubungan 2 arah antara rheumatoid arthritis dengan periodontitis melibatkan juga patogenesis periodontitis terkait rheumatoid arthritis dan demikian juga sebaliknya. Juga masih ada kemungkinan adanya karakteristik genetik umum yang mempengaruhi kedua penyakit tersebut (disregulasi mekanisme inflamasi).
Manifestasi rheumatoid arthritis di rongga mulut yaitu peningkatan penyakit periodontal, rusaknya tulang alveolar (Tolo dkk., 1990 cit. Kaber dkk., 1997), hiposalivasi (Nagler dkk., 2003) serta xerostomia (Sreebny, 1996).
Rheumatoid arthritis dapat mempengaruhi patogenesis periodontitis melalui kerusakan motorik dan emosional akibat penyakit ini. Kerusakan motorik dapat menyebabkan pasien rheumatoid arthritis lebih sulit untuk menjaga kebersihan rongga mulut secara adekuat. Penururunan aliran air liur yang berhubungan dengan pengobatan atau timbulnya sindrom Sjögren secara sekunder dapat meningkatkan pembentukan plak supragingival pada pasien rheumatoid arthritis. Perubahan psikologis pasien rheumatoid arthritis dinilai sebagai indikator risiko timbulnya periodontitis.
Periodontitis mungkin terlibat dalam patogenesis rheumatoid arthritis melalui bakteremia; adanya mediator inflamasi, antigen bakteri dan imunoglobulin dalam serum. Studi pada tikus dan manusia yang melibatkan rheumatoid factor (merupakan imunoglobulin) mendukung konsep tersebut. Kadar tinggi rheumatoid factor serum berhubungan dengan aktivitas, derajat keparahan yang lebih berat dan kondisi penyakit rheumatoid arthritis yang buruk. Periodontitis mungkin memiliki reaksi sistemik yang diperlihatkan dengan adanya peningkatan kadar mediator inflamasi dan sering terjadinya bakteremia sementara yang berlangsung lebih lama. Pemahaman akan adanya kemungkinan hubungan antara periodontitis dan rheumatoid arthritis relevan untuk penanganan secara medis pasien-pasien rheumatoid arthritis.
Penyebab Rheumatoid Arthritis
Faktor genetik dan beberapa faktor lingkungan telah lama diduga berperan dalam timbulnya penyakit ini. Hal ini terbukti dari terdapatnya hubungan antara produk kompleks histokompatibilitas utama kelas II, khususnya HLA-DR4 dengan AR seropositif. Pengemban HLA-DR4 memiliki resiko relatif 4:1 untuk menderita penyakit ini (Dessureault and Carette, 1989).
Sejak tahun 1930, infeksi telah diduga merupakan penyebab AR. Dugaan faktor infeksi sebagai penyebab AR juga timbul karena umumnya onset penyakit ini terjadi secara mendadak dan timbul dengan disertai oleh gambaran inflamasi yang mencolok. Walaupun hingga kini belum berhasil dilakukan isolasi suatu mikroorganisme dari jaringan sinovial, hal ini tidak menyingkirkan kemungkinan bahwa terdapat suatu komponen peptidoglikan atau endotoksin mikroorganisme yang dapat mencetuskan terjadinya AR. Agen infeksius yang diduga merupakan penyebab AR antara lain adalah bakteri, mikoplasma atau virus (Dessureault and Carette, 1989; Harris, 1993).
Tanda dan Gejala Rheumatoid Arthritis
- rasa lelah
- anoreksia
- kelelahan umum
- gejala musculoskeletal samar sampai sinovitis
- xerostomia
Xerostomia
Penemuan yang paling menjadi perhatian dokter gigi pada pasien rheumatoid arthritis adalah seringnya ditemukan sekitar 50% kondisi xerostomia pada pasien dengan diagnosis rheumatoid arthritis (Reisine and Tanzer, 1994 cit. Russel and Reisine, 1998). Xerostomia bisa disebabkan oleh efek samping medikasi yang bersifat xerogenic yang diberikan (Sreebny, 1996) namun dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Russel and Reisine (1998) diketahui bahwa gejala xerostomia yang diindikasikan dengan penurunan curah saliva biasa ditemukan diantara pasien rheumatoid arthritis, bahkan pada mereka yang tidak mendapat medikasi yang bersifat xerogenic. Medikasi yang bersifat xerogenic antara lain tramadol, ibuprofen, amytriptiline, lansoprazole dan piroxicam (Scully, 2003 cit. Scully and Bagan, 2004., Byrne, 1998 cit. Guggenheiner dkk., 2003).
- Hipertensi
Penyakit darah tinggi atau hipertensi adalah suatu keadaan di mana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal yang ditunjukkan oleh angka sistolik (bagian atas) dan angka bawah (diastolik) pada pemeriksaan tensi darah menggunakan alat pengukur tekanan darah baik yang berupa cuff air raksa (sphygmomanometer) ataupun alat digital lainnya. Dikatakan tekanan darah tinggi jika pada saat duduk tekanan sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih, atau tekanan diastolik mencapai 90 mmHg atau lebih, atau keduanya. Pada tekanan darah tinggi, biasanya terjadi kenaikan tekanan sistolik dan diastolik.
Bila seseorang mengalami tekanan darah tinggi dan tidak mendapatkan pengobatan dan pengontrolan secara teratur (rutin), maka hal ini dapat membawa si penderita ke dalam kasus-kasus serius bahkan bisa menyebabkan kematian. Tekanan darah tinggi yang terus menerus menyebabkan jantung seseorang bekerja ekstra keras, akhirnya kondisi ini berakibat terjadinya kerusakan pada pembuluh darah jantung, ginjal, otak dan mata. Penyakit hipertensi ini merupakan penyebab umum terjadinya stroke dan serangan jantung.
Penyakit darah tinggi atau hipertensi dikenal dengan 2 tipe klasifikasi, diantaranya Hipertensi Primary dan Hipertensi Secondary.
Hipertensi Primary
Hipertensi Primary adalah suatu kondisi di mana terjadinya tekanan darah tinggi sebagai akibat dampak dari gaya hidup seseorang dan faktor lingkungan. Seseorang yang pola makannya tidak terkontrol dan mengakibatkan kelebihan berat badan atau bahkan obesitas, merupakan pencetus awal untuk terkena penyakit tekanan darah tinggi. Begitu pula sesorang yang berada dalam lingkungan atau kondisi stressor tinggi sangat mungkin terkena penyakit tekanan darah tinggi, termasuk orang-orang yang kurang olahraga pun bisa mengalami tekanan darah tinggi.
Hipertensi Secondary
Hipertensi secondary adalah suatu kondisi dimana terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi sebagai akibat seseorang mengalami atau menderita penyakit lainnya seperti gagal jantung, gagal ginjal, atau kerusakan sistem hormon tubuh. Sedangkan pada ibu hamil, tekanan darah secara umum meningkat saat kehamilan berusia 20 minggu. Terutama pada wanita yang berat badannya di atas normal atau gemuk (gendut).
Penyebab Hipertensi
Penggunaan obat-obatan seperti golongan kortikosteroid (cortison) dan beberapa obat hormon, termasuk beberapa obat antiradang (anti-inflamasi) secara terus menerus (sering) dapat meningkatkan tekanan darah seseorang. Merokok juga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya peningkatan tekanan darah tinggi dikarenakan tembakau yang berisi nikotin. Minuman yang mengandung alkohol juga termasuk salah satu faktor yang dapat menimbulkan terjadinya tekanan darah tinggi.
Kegemukan (obesitas), gaya hidup yang tidak aktif (malas berolah raga), stres, garam dalam makanan bisa memicu terjadinya hipertensi pada orang-orang memiliki kepekaan yang diturunkan. Stres cenderung menyebabkan kenaikan tekanan darah untuk sementara waktu, jika stres telah berlalu, maka tekanan darah biasanya akan kembali normal.
Gejala Hipertensi
Pada sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala; meskipun secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi (padahal sesungguhnya tidak). Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan dan kelelahan; yang bisa saja terjadi baik pada penderita hipertensi, maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal.
Jika hipertensinya berat atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala berikut:
– sakit kepala
– kelelahan
– mual
– muntah
– sesak nafas
– gelisah
– pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak, mata, jantung dan ginjal.
Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma karena terjadi pembengkakan otak. Keadaan ini disebut ensefalopati hipertensif, yang memerlukan penanganan segera.
RENCANA PERAWATAN
Pasien mengeluh gigi-giginya goyah dan mudah berdarah, sedangkan pasien dalam pengobatan dengan aspirin. Gigi goyah dan mudah berdarah tersebut merupakan tanda dari peradangan jaringan penyangga gigi (periodontitis). Maka, prioritas pertama dalam rencana perawatan adalah menghentikan penggunaan aspirin sebelum melakukan tindakan dental.
Sebelum melakukan tindakan dental, pemberian aspirin dihentikan 1 minggu sebelum tindakan, dan dapat mulai kembali setelah dinilai aman oleh ahli bedah atau dokter gigi (Himpunan Bedah Toraks Kardiovaskular Indonesia, 2009).
Salah satu manifestasi klinis dari rheumatoid arthritis adalah periodontitis. Pada kasus-kasus periodontitis yang belum begitu parah, biasanya perawatan yang diberikan adalah kuretase, yaitu pengangkatan plak dan jaringan yang rusak dan mengalami peradangan di dalam poket dengan menggunakan kuret. Tujuan utamanya adalah menghilangkan semua bakteri dan kotoran yang dapat menyebabkan peradangan. Setelah tindakan ini, diharapkan gusi akan mengalami penyembuhan dan perlekatannya dengan gigi dapat kembali dengan baik.
Pada kasus-kasus yang lebih parah, tentunya perawatan yang diberikan akan jauh lebih kompleks. Bila dengan kuretase tidak berhasil dan kedalaman poket tidak berkurang, maka perlu dilakukan tindakan operasi kecil yang disebut gingivectomy. Tindakan operasi ini dapat dilakukan di bawah bius lokal.
Pada beberapa kasus tertentu yang sudah tidak bisa diatasi dengan perawatan di atas, dapat dilakukan operasi dengan teknik flap, yaitu prosedur yang meliputi pembukaan jaringan gusi, kemudian menghilangkan kotoran dan jaringan yang meradang di bawahnya.
Gigi-geligi yang goyah dapat dirawat dengan perawatan splinting (Mahrita, 2009). Antibiotik biasanya diberikan untuk menghentikan infeksi pada gusi dan jaringan di bawahnya. Perbaikan kebersihan mulut oleh pasien sendiri juga sangat penting.
Perawatan Rheumatoid Arthritis
Berbagai perawatan yang tersedia. Pengobatan non-farmakologis meliputi terapi fisik, orthoses dan terapi okupasi. Analgesia (penghilang rasa sakit) dan anti inflamasi obat-obatan, termasuk steroid, yang digunakan untuk menekan gejala, sedangkan penyakit-antirheumatic memodifikasi obat (DMARDs) sering dibutuhkan untuk menghambat atau menghentikan mendasari proses kekebalan dan mencegah kerusakan jangka panjang. Dalam beberapa kali, kelompok yang lebih baru biologis telah meningkat pilihan perawatan.
Tujuan pengobatan adalah dua kali lipat, yaitu mengurangi gejala saat ini, dan mencegah kehancuran masa depan sendi dengan cacat yang dihasilkan jika penyakit ini dibiarkan tak terkendali. Dua tujuan ini mungkin tidak selalu bertepatan, sementara penghilang rasa sakit dapat mencapai tujuan pertama, mereka tidak memiliki dampak pada konsekuensi jangka panjang. Untuk alasan ini, kebanyakan pihak berwenang percaya bahwa kebanyakan rheumatoid arthritis harus ditangani dengan setidaknya satu spesifik obat anti-rematik, juga bernama DMARD, obat-obatan yang lain dan non-intervensi medis dapat ditambahkan bila perlu.
Cortisone terapi telah menawarkan bantuan di masa lalu, tetapi efek jangka panjang telah dianggap tidak diinginkan. Namun, suntikan kortison tambahan yang dapat berharga untuk jangka panjang rencana pengobatan, dan menggunakan dosis rendah kortison sehari-hari (misalnya, prednison atau prednisolone, 5-7,5 mg per hari) dapat juga memiliki manfaat penting jika ditambahkan ke spesifik yang layak anti – pengobatan rematik.
Farmakologi pengobatan rheumatoid arthritis dapat dibagi menjadi penyakit-antirheumatic memodifikasi obat (DMARDs), agen anti inflamasi dan analgesik. Perawatan juga termasuk istirahat dan aktivitas fisik.
Setelah diagnosis rheumatoid arthritis dapat ditegakkan, pendekatan pertama yang harus dilakukan adalah segera berusaha untuk membina hubungan yang baik antara pasien dan keluarganya dengan dokter atau tim pengobatan yang merawatnya. Dengan penerangan yang baik mengenai penyakitnya, pasien rheumatoid arthritis diharapkan dapat melakukan kontrol atas perubahan emosional, motivasi dan kognitif yang terganggu akibat penyakit ini.
Penggunaan NSAID dalam pengobatan rheumatoid arthritis. NSAID umumnya diberikan pada pasien rheumatoid arthritis sejak masa dini penyakit ini dimaksudkan untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang seringkali dijumpai walaupun belum terjadi proliferasi synovial yang bermakna. Selain dapat mengatasi inflamasi, NSAID juga memberikan efek analgesik yang sangat baik. Bagi pasien yang sensitif dapat digunakan preparat NSAID dalam bentuk suppositoria, pro drugs, enteric coated, slow release atau non-acidic. Efek samping dari pengobatan NSAID adalah reaksi hipersensitivitas, gangguan fungsi hati dan ginjal serta penekanan system hematopoetik.
Selain NSAID, pada pengobatan rheumatoid arthritis juga dibutuhkan obat golongan DMARD. Obat yang termasuk dalam golongan DMARD tetap diperlukan karena NSAID tidak memiliki khasiat yang dapat melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat rheumatoid arthritis.
Penggunaan kortikosteroid pada pengobatan rheumatoid arthritis. Kortikosteroid memiliki efek anti inflamasi dari imunosupresif, akan tetapi pada rheumatoid arthritis obat ini tidak terbukti memiliki khasiat untuk mengubah riwayat alamiah penyakit. Kortikosteroid dosis rendah (setara dengan prednisone 5-7,5 mg) sebagai dosis tunggal pada pagi hari, sangat bermanfaat untuk digunakan sebagai bridging therapy dalam mengatasi gejala sinovitis selama menunggu obat DMARD mulai bekerja. Penggunaan kortikosteroid dosis rendah ini harus dihentikan secara bertahap jika obat golongan DMARD telah menunjukkan khasiatnya.
Suntikan kortikosteroid intra artikular (triamcinolone hexacetonide atau triamcinolone acetonide) akan sangat bermanfaat untuk mengatasi sinovitis jika terdapat peradangan yang berat satu atau dua persendian. Sebelum suntikan kortikosteroid intra artikular diberikan, adanya infeksi pada sendi tersebut harus disingkirkan terlebih dahulu.
DAFTAR PUSTAKA
Dessureault M, Carette S.1989. Etiology and Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. Triangle; 28: 5-14.
Finn SB. 2003. Clinical Pedodontics. 4th edition. W.B. Saunders Company. Philadelphia.
Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. EGC. Jakarta.
Guggenheiner J, Moore PA. 2003. Xerostomia: Etiology, Recognition, and Treatment. J. ADA, 134: 61-69.
Harris ED Jr. 1993. Etiology and Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. Dalam: Kelley WN, Harris ED, Ruddy S, Sledge CB. Eds. Textbook of Rheumatology. 4th Ed. W.B. Saunders Co. Philadelpia; 833-873
Himpunan Bedah Toraks Kardiovaskular Indonesia, 2009, Bedah Toraks Kardiovaskular,
http://www.bedahtkv.com/index.php?/e-Education/Jantung-Dewasa/Manajemen-Anti-trombotik-Pada-Katup-Prostetik.html, diakses 8 Desember 2009.
Kaber UR, Gleissner C, Dehne F, Michel A, Willershausen-Zonnchen B, Bolten WW. 1997. Risk for Periodontal Disease in Patients with Longstanding Rheumatoid Arthritis. Journal American College of Rheumatology. 40 (14):2248.
Lipsky PE. 2008. Rheumathoid Arthritis, dalam Fauci AS, Kasper DL, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, Loscalzo J. (eds.): Harrison’s Principle of Internal Medicine, 17th edition., McGraw Hill Companies Inc. New York. h.2083-2089.
Mahrita. 2009. Terapi Penyakit Gingiva dan Periodontal.
http://www.scribd.com/doc/16732204/Terapi-Penyakit-Gingiva-Dan-Periodontal. Diakses 9 Desember 2009.
Majid A. 2004. Krisis Hipertensi Aspek Klinis dan Pengobatan.
http://library.usu.ac.id/download/fk/fisiologi-abdul%20majid.pdf. Diakses 9 Desember 2009.
Nafrialdi, 2007, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Jakarta: FK UI, hlm. 354-6.
Nagler RM, Salameh F, Reznick AZ, Livshits V, Nahir AM. 2003. Salivary Gland Involvement in Rheumathoid Arthritis and Its Relationship to Induce Oxidative Stress. Rheumatology. 42:1234-1241.
Ngatidjan. 2001. Farmakologi Dasar. FK UGM. Yogyakarta.
Odont PA. 2002. Diagnosis and Risk Prediction of Periodontal Diseases. Quintessence Publishing Co, Inc. Slovakia.
Russel S, Reisine S. 1998. Investigation of Xerostomia in Patients with Rheumathoid Arthritis. J. ADA. 129:733-739.
Scully C, Bagan JV. 2004. Adverse Drugs Reactions in The Orofacial Region. Crit. Rev. Oral Biol. Med. 15(4):221-239.
Sreebny LM. 1996. Xerostomia: Diagnosis, Management and Clinical Complication, dalam Edgar, W. M. and O’Mullane, D. M. (ed.): Saliva and Oral Health, 2nd edition. British Dental Association. London, h.48.
Wilmana, P. F. dan Gan, S., 2007, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, Jakarta: FK UI, hlm. 234-6.
http://www.tanyadokteranda.com/artikel/2008/01/waspadai-angina-pectoris (Diakses, 30
November 2009)
http://www.klikdokter.com/illness/detail/114 (Diakses, 30 November 2009)
http://iqbalsandira.blogspot.com/2009/03/periodontitis.html (Diakses, 30 November 2009)
http://www.kalbe.co.id/index.php?mn=news&tipe=detail&detail=19854 (Diakses, 30 November
2009)
http://www.infopenyakit.com/2008/01/penyakit-darah-tinggi-hipertensi.html (Diakses, 30
November 2009)
http://medicastore.com/penyakit/4/Tekanan_Darah_Tinggi_Hipertensi.html (Diakses, 30
November 2009)
http://www.anneahira.com/pencegahan-penyakit/rematik.htm (Diakses, 30 November 2009)
http://www.klikdokter.com/illness/detail/114 (Diakses, 30 November 2009)
http://www.blogdokter.net/2007/03/25/hipertensi-tekanan-darah-tinggi/(Diakses, 30 November
2009)