denture stomatitis

 

 

perlekatan mikrobial pada permukaan gigi tiruan dapat mengakibatkan proliferasi koloni bakieri sehingga terjadi pembentukan plak yang menyebabkan bau mulut dan denture stomatitis Perkcmbangan denture stomatitis dipengaruhi oleh adanya gigi tiruan. kandida sp. dan rnikroorganisrne Iainnya, serta faktor lokal dan sisternik seperti pH asam saliva. asupan tinggi karbohidrat terapi. antibiotik dalam jangka wakiu panjang. terapi hormonal pada penyakit sistemik seperti diabetes melitus dan arterial hypertension

DENTURE STOMATITIS

Soenartyo, Hadi. Denture Stomatitis: Penyebab dan Pengelolaannya. Majalah kedokteran gigi, 2000; 4(33): 148-51

Adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan perubahan-perubahan patologik pada penyangga gigi tiruan di dalam rongga mulut. Perubahan-perubahan tersebut ditandai dengan adanya eritema dibawah gigi tiruan lengkap atau sebagian, baik dirahang atas maupun dirahang bawah. Denture Sore mouth dan chronic atropic candidosis adalah istilah lain yang juga digunakan untuk menyatakan kelainan atau keadaan ini.

Prevalensi denture stomatitis di Indonesia hingga saat ini belum pernah dilaporkan secara pasti, walaupun demikian prevalansi tersebut (27-67%) telah banyak dilaporkan oleh pendeta di luar negeri, gigi tiruan bukan merupakan satu-satunya penyebab terjadinya perubahan pada mukosa mulut. Budtz-Jorgensen mengemukakan bahwa denture stomatitis dapat disebabkan oleh bermacam-macam faktor yaitu : trauma, infeksi, pemakaian gigi tiruan yang terus menerus,oral hygiene jelek, alergi, dan gangguan factor sistemik. Oleh karena itu gambaran klinis maupun gambaran histopatologis juga bervariasi, sehingga perawatannya pun perlu dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan kemungkinan penyebabnya.

PENGERTIAN DAN PREVALENSI

dokter gigi yang telah membuatkan gigi tiruan pada seorang penderita sering mendapatkan keluhan tentang adanya rasa kurang enak atau rasa sakit akibat pemakaian gigi tiruan tersebut. Biasanya dokter gigi hanya mengurangi atau menghilangkan bagian-bagian dari gigi tiruan yang dianggap sebagai penyebabnya. Tetapi yang sering dijumpai adanya kelainan atau rasa sakit yang timbul karena mukosa penyangga tersebut tidak dilakukan perawatan. Akibatnya penderita yang telah menderita kelainan atau perubahan pada mukosa rongga mulut penyangga gigi tiruan sukar untuk dapat menerima gigi tiruan kembali bila tidak dilakukan pengobatan dengan baik.

Kelainan atau perubahan ini sering disebut sebagai Denture Stomatitis atau Denture Sore Mouth, atau Chronic Atriphic Candidosis. Pada jurnal ini, istilah denture stomatitis yang akan digunakan untuk menyatakan kelainan atau perubahan patologik pada mukosa penyangga gigi tiruan. Walaupun sering dijumpai keluhan sampai adanya perubahan patologik pada mukosa rongga mulut karena gigi tiruan yang dipakainya, prevalensi denture stomatitis pada pemakai gigi tiruan di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian.

Namun beberapa pendatang di luar negeri, antara lain : Nyquist melaporkan 27% dari 609 pemakai gigi tiruan kelainan tersebut, sebaliknya sebagai perbandingan Love et all melaporkan perubahan atau kelainan tersebut diderita 43% dari 552 pemakai gigi tiruan lengkap yang diperiksa kembali.

selanjutnya oleh Budtz-Jorgensen dilaporkan bahwa 67% dari 303% orang yang memakai gigi tiruan lengkap menderita denture stomatitis. Dia juga melaporkan bahwa kelainan atau denture stomatitis lebih banyak dijumpai pada wanita daripada pria.

KLASIFIKASI
Sehubungan dengan adanya berbagai macam etiologi yang diduga dapat menimbulkan denture stomatitis, gambaran klinis yang tampak tidak memberikan bentuk yang spesifik dan menurut Newton.

Secara klinis denture stomatitis dibagi 3 tipe yaitu :

Tipe I : Tampak Hyperaemia berupa noda atau titik sebesar jarum pentul

Tipe II : Eritema yang tidak terbatas tegas

Tipe III : Inflamasi Granuler atau hyperplasia papiler

Atropi epitel, stratum korneum yang tipis disertai infiltrasi leukosit pada epitel, adalah gambaran yang sering ditemukan pada pemeriksaan histopatologi, meskipun keadaan ini sering dijumpai pada denture stomatitis oleh karena Candida albicans disbanding denture stomatitis yang disebabkan trauma.

Etiologi
Walaupun denture stomatitis hanya didapatkan pada penderita pemakai gigi tiruan lepasan, bukan berarti bahwa gigi tiruan tersebut merupakan satu-satunya penyebab. Beberapa penelitian mengemukakan bahwa denture stomatitis dapat disebabkan oleh beberapa macam factor yaitu :

¨ Trauma Adanya ketidaktepatan serta ketidakstabilan gigi tiruan lepasan, dapat mengakibatkan trauma mekanis serta dapat mengiritasi jaringan penyangganya, yang akhirnya dapat menimbulkan luka atau yang sering disebut Stomatitis. Hal ini sesuai dengan pendapat Phelan dan Levin, bahwa iritasi mekanis karena gigi tiruan yang kurang tepat merupakan factor penting penyebab terjadinya denture stomatitis.

Selain itu juga telah dibuktikan oleh beberapa peneliti mengenai adanya korelasi yang nyata antara trauma, membrane mukosa, dan denture stomatitis. Dengan mengetahui penyebab denture stomatitis yang hanya disebabkan oleh factor utama tersebut, menghilangkan ketidakstabilan gigi tiruan lepasan akan tampak adanya penyembuhan. Hal ini sesuai dengan pendapat Nyquist yang menyatakan adanya penyembuhan setelah perbaikan ketidakstabilan gigi tiruan.

– Infeksi

Pemakaian gigi tiruan merupakan salah satu factor penyebab keberadaan C. albicans didalam rongga mulut, kecuali itu juga dapat menyebabkan prevalensi C. Albicans di dalam rongga mulut. C albicans disamping merupakan flora normal dengan pravelansi sekitar 45% ternyata pravelansi tersebut dilaporkan meningkat pada pemakai gigi tiruan dengan keadaan rongga mulut sehat yaitu 47,5% sampai 55,6%.

Penderita yang memakai gigi tiruan lepasan harus benar-benar menjaga kebersihan, karena adanya plak pada basis gigi tiruan merupakan tempat yang baik bagi berkumpulnya mikroorganisme termasik C.albicans. Peningkatan jumlah C.albicans dapat mengubah sifat komensal menjadi parasit, yaitu dari bentuk yeast menjadi hyphae. Bentuk hyphae ini merupakan inisiator invasi kedalam jaringan sehingga dapat menimbulkan denture stomatitis.
Penanganan karena adanya C.albicans pada denture stomatitis ditekankan pada kebersihan rongga mulut dan gigi tiruan. Untuk kandidosis yang terjadi seperti Acute pseudomembranous Candidosis dan Acute erytematus Candodisis pengobatannya dilakukan dengan pemberian Nystatin, amphotericin, miconazole atau chlorhexidine secara topical. Gigi tiruannya didisinfeksi dengan menggunakan chlorhexidine untuk mencegah pelekatan antara C. Albicans dengan gigi tiruan lepasan yang terus menerus. Pada penderita yang memakai gigi tiruan lepasan, sehingga dari mukosa mulutnya tertutup oleh basis gigi tiruan lepasan, sebagian dapat mengurangi efek air ludah, karena gangguan kelenjar ludah pada mukosa. Gigi tiruan ini menimbulkan trauma ringan yang terus menerus pada membrane mukosa. Keadaan ini memudahkan invasi antigen C.albicans ke dalam jaringan. Efek ini akan diperberat bila disertai dengan obstruksi kelenjar ludah dan rusaknya epitel akibat jelas yang ditimbulkan gigi tiruan.

Selain itu sIgA (Secretory IgA) yang terdapat di dalam saliva dan merupakan salah satu mekanisme pertahanan terhadap kandisosis rongga mulut tidak bias mencapai mukosa karena terhalang gigi tiruan, sehingga penderita yang memakai gigi tiruan terus menerus mudah mengalami denture stomatitis. Karena itu, pemakai gigi tiruan disarankan melepas gigi tiruannya pada waktu istirahat, terutama pada malam hari.

– Kebersihan Rongga Mulut

Kebersihan rongga mulut yang jelek merupakan tempat subur bagi pertumbuhan mikroorganisme, karena pada kebersihan rongga mulut yang jelek bias terjadi perubahan pH saliva, sehingga meningkatkan jumlah/kepaduan dan vurulensi jamur C.albicans. hal ini dilaporkan pada penelitian sebelumnya bahwa pada ibu hamil yang kebersihan rongga mulutnya jelek dilaporkan sebanyak52 dari 55 penderita (94,5%) menderita kandidosis. Selain itu kebersihan rongga mulut yang jelek dilaporkan merupakan salah satu factor predisposisi local untuk terjadinya denture stomatitis. Yang terpenting dilakukan dalam hal ini adalah menghilangkan predisposisi local tersebut menjaga kebersihan rongga mulut.

– Alergi

Bahan basisi tiruan lepasan umumnya terbuat dari resin akrilik. Salah satu unsure resin akrilik yang menimbulkan reaksi alergi adalah metal-meta krilat. Biasanya reaksi alergi terjadi segera setelah kontak dengan gigi palsu. Tetapi denture stomatitis, radang terjadi pada penderita dengan gigi palsu yang sudah lama atau tidak baik. Akibatnya factor reaksi alergi ini sudah banyak diabaikan.

– Gangguan Faktor sistematik

Beberapa factor sistemik memudahkan terjadinya infeksi yang disebabkan oleh C.albicans, yaitu : diabetes mellitus, malnutrisi, dan pemakaian obat-obatan dalam waktu lama, misalnya kortikosteroid dan antibiotika. Penderita dengan gangguan factor sistemik akan mudah mengalami denture stomatitis, terutama bila tidak memperhatikan factor predisposisi local, antara lain : lama pemakaian gigi tiruan lepasan, kebersihan rongga mulut, kebersihan gigi tiruan lepasan.

Stomatitis Karena Gigi Tiruan Burket’s, 2003

Lesi ini umumnya disebut sebagai denture stomatitis, seringkali merupakan infeksi asimtomatis yang disebabkan oleh candida. Mikroorganisme ini ditemukan pada mukosa dan jaringan gigi tiruan. Stomatitis ini merupakan peradangan kronis pada mukosa pendukung gigi tiruan yang sifatnya dapat setempat atau menyeluruh.

Kondisi ini dipicu oleh pemakaian gigi tiruan yang terus menerus sepanjang siang dan malam hari. Factor lain seperti xerostomia juga mendukung terjadinya lesi ini. Hipersensitif terhadap salah satu komponen dari bahan gigi tiruan dengan reaksi alergiknya juga merupakan salah satu factor penyebab.

Stomatitis karena gigi tiruan seringkali merupakan kandidosisatrofik kronis. Adanya plak microbial serta jamur pada permukaan gigi tiruan yang bersinggungan dengan mukosa pengukung penting bagi perkembangan stomatitis ini. Kondisi ini biasanya hilang dengan pembersihan gigi tiruan yang baik, termasuk merendam gigi tiruan dalam larutan antijamur di malam hari. Obat anti jamur seperti amfoterisin, mikonasol atau nistatin mungkin diperlukan dan harus di aplikasikan ke permukaan gigi tiruan sebelum gigi tiruan dipasang ke dalam mulut.

Kebanyakan pasien tidak menyadari adanya kelainan ini, karena biasanya tanpa gejala. Beberapa pasien mengeluh adanya rasa panas atau gatal yang biasanya dirasakan pada mukosa palatum atau mukosa lidah. Intensitas peradangan berbeda-beda, kadang terbatas pada daerah tertentu atau bisa pula mengenai seluruh jaringan pendukung gigi tiruan. Kelainan ini cenderung terjadi pada rahang atas daripada rahang bawah. Kadang terlihat peradangan palatal tipe granular.

Beberapa prosedur di bawah ini dapat di anjurkan untuk perawatan stomatitis akibat gigi tiruan :

1. pemeliharaan kebersihan mulut dan gigi tiruan yang baik diikuti dengan mengistirahatkan jaringan , perbaikan oklusi, serta perbaikan gigi tiruan.

2. Terapi antijamur. Dilakukan setelah pemeriksaan apus jaringan membuktikan adanya infeksi Candida. Pemberian tablet nistatin cukup efektif untuk mengendalikan infeksi ini.

3. pengambilan papilomatosia secara bedah

Stomatitis karena gigi tiruan dapat timbul bersama-sama dengan keilitis angularis yaitu suatu peradangan pada sudut mulut yang kadang-kadang terasa sakit. Keilitis angularis dapat sembuh dengan pemberian salep antijamur pada daerah yang terkena

 

 

Yang di bawah ini ga ada dapus Cuma buat tambahan aja soalnya dari abstract skripsi anak USU

Pemakaian gigitiruan dapat menimbulkan beberapa reaksi terhadap jaringan yaitu stomatitis hiperplastik, stomatitis angularis, hiperplasia mukosa mulut, dan denture stomatitis.3 Basker menyatakan bahwa pemakaian gigitiruan menyebabkan mukosa di bawah gigitiruan akan tertutup dalam waktu yang lama, sehingga menghalangi pembersihan permukaan mukosa maupun gigitiruan oleh lidah dan saliva. Apabila kebersihan rongga mulut pasien jelek, maka pada permukaan gigitiruan akan terbentuk plak yang terdiri dari genus Candida dan akan menimbulkan denture stomatitis.14 Pada denture stomatitis mikroorganisme yang berperan adalah jamur Candida albicans.3,8,11,14,15 Cawson dan Budtz-Jorgensen (1974) menyatakan bahwa pada pemakai gigitiruan, Candida termasuk faktor etiologi denture stomatitis.15 Candida albicans dapat ditemukan dalam rongga mulut yang sehat dalam konsentrasi rendah, kurang dari 20 sel/cc saliva, bersifat patogen oportunistik.15,16 Sibele dkk (2000) melaporkan dari 120 pasien dari Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Sao Paulo, sebanyak 37 orang menderita denture stomatitis, dan 30 dari 37 orang tersebut diidentifikasi akibat Candida albicans.17

Infeksi jamur Candida albicans pada denture stomatitis harus dirawat dengan menyikat permukaan gigitiruan sampai bersih, kemudian gigitiruan direndam dalam desinfektan.3,18,19 Bahan desinfektan dapat mengurangi jumlah mikroorganisme yang melekat pada gigitiruan.20-23 Bahan desinfektan yang dianjurkan sebagai perawatan tambahan pada denture stomatitis adalah klorheksidin. Klorheksidin merupakan bahan desinfektan golongan kemis.3,5,7,12,18,20

Universitas Sumatera Utara

Klorheksidin sangat efektif mengurangi akumulasi plak.3,24,25 Klorheksidin mempunyai anti bakteri spektrum luas, efektif untuk gram positif dan efektifitas lebih rendah untuk gram negatif.25 Di pasaran Indonesia tersedia Minosep buatan Minorock yang mengandung larutan klorheksidin glukonat 0,2%.24 Efek anti bakteri dari klorheksidin berupa pengikatan yang kuat terhadap sel membran bakteri, menambah permeabilitas, dan menghidupkan komponen intraselular sehingga menghambat absorpsi protein ke permukaan gigi yang dapat menyebabkan terbentuknya plak.26,27

Harga bahan-bahan desinfektan dan antiseptik yang bermerek sekarang cukup mahal, sehingga para ahli mengembangkan obat-obatan tradisional yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan dapat dipakai sebagai obat kumur serta berfungsi sebagai antiseptik maupun desinfektan.28 Obat-obatan tradisional Indonesia umumnya menggunakan bahan-bahan yang relatif mudah didapat dan tumbuhannya mudah dikembangbiakkan sehingga masyarakat lebih mudah mendapatkannya.29 Tumbuhan yang biasa dipakai sebagai obat tradisional diantaranya adalah daun semanggi, gambir, daun saga, daun jinten, daun kacapiring, dan daun sirih.28

 

 

 

 

myofacial pain

Definisi nyeri yang diusulkan oleh  the Subcommitte on Taxonomy of the International  Association for the Study of Pain  menyatakan bahwa nyeri merupakan sensasi dan  pengalaman emosional yang tidak menyenangkan yang diikuti gangguan atau kerusakan jaringan.8  Secara fisiologis nyeri adalah suatu mekanisme protektif tubuh yang timbul bila suatu jaringan sedang dirusak, sehingga individu yang bersangkutan berusaha menghindar, melarikan diri dan atau melawan.9  Meskipun nyeri pada mulanya merupakan proses  fisiologis, namun pada akhirnya akan bersifat patologis, apabila tubuh tidak mampu  mengatasi atau melawan rangsang yang merugikan tersebut, sehingga mempengaruhi fisik  dan mental individu yang bersangkutan. 10

Terdapat 2 komponen nyeri, yaitu persepsi nyeri  dan reaksi nyeri. Persepsi nyeri adalah pengenalan usat nyeri di otak terhadap rangsangan nyeri. Biasanya digambarkan oleh pasien sebagai nyeri tajam, linu atau rasa tidak nyaman.  Reaksi nyeri adalah proses individu bereaksi terhadap proses persepsi nyeri yang telah mendahuluinya. Reaksi nyeri bervariasi pada tiap individu.9 Etiologi Sindroma Nyeri Miofasial Travell dan Simons 13  telah menjelaskan beberapa faktor  etiologi yang tampaknya  berhubungan  engan rasa sakit miofasial: 1) Rasa sakit otot lokal. Otot yang mengalami rasa sakit yang erkepanjangan memungkinkan untuk menghasilkan titik pemicu dan kemudian  menghasilkan tanda-tanda klinis pada nyeri miofasial. 2) Rasa sakit yang dalam dan konstan.  Sakit yang dalam dan konstan dapat menyebabkan efek eksitator (perangsangan) sentral pada  area yang jauh. Iika efek eksitator sentral melibatkan sebuah neuron eferen (motorik), du tipe efek otot dapat ditemukan, ko-kontraksi protektif atau pengembangan titik pemicu.  Ketika sebuah titik pemicu berkembang, ia menjadi sebuah sumber dari rasa sakit yang dalam dan dapat menghasilkan efek eksitator sentral tambahan. Titik pemicu sekunder ini disebut  titik pemicu satelit. Perluasan ini pada kondisi nyeri miofasial mengkomplikasi diagnosa dan  penanganannya. 3) Stres emosional yang meningkat. Stres emosional yang meningkat dapat  secara hebat menimbulkan nyeri miofasial. Ini dapat timbul karena aktivitas yang meningkat dari neuron eferen gamma pada spindel otot atau oleh peningkatan yang tergeneralisir pada   aktivitas sistem nervus simpatis. 4) Kelainan tidur. Penelitian-penelitian menyebutkan bahwa  kelainan dari siklus tidur yang normal dapat menyebabkan simtom musculoskeletal. 5)  Faktor-faktor lokal. Beberapa kondisi lokal yang mempengaruhi aktivitas otot seperti  kebiasaan, sikap badan yang salah, keseleo, dan aktivitas otot yang berlebihan dapat  menghasilkan nyeri miofasial.  6) Faktor-faktor sistemik. Beberapa faktor sistemik dapat mempengaruhi atau bahkan menghasilkan nyeri miofasial. Faktor-faktor sistemik seperti  hipovitaminosis, kondisi fisik yang rendah, lelah, dan infeksi virus. 7) Mekanisme titik  pemicu idiopatik. Penyebab pasti dari titik pemicu belum ditentukan.

Nyeri myofascial dapat di dideteksi dengan EMG jarum pada miofascial trigger point yang berukuran kecil beberapa milimeter saja (tidak terdapat pada semua otot) 28  Mediator kimiawi substansi endogen seperti serotonin( dilepas dari platelet),  bradikinin( dilepas dari belahan precursor plasma molekul kallin) dan Kalium (yang dilepas dari sel otot),  SP dan CGRP dari aferens otot berperan sebagai stimulan sensitisasi terhadap nosiseptor otot skelet. Jadi dianggap yang lebih sahih pada saat ini adalah peran miofascial terhadap timbulnya tension type headache.

7. Smith S. Atlas of Temporomandibular Orthopedics. Philadelphia: Philadelphia College of

Osteopathic Medicine Press. 1981.

8. Bell WE. Orofacial Pain Classification, Diagnosis, Management. 4

th

ed. Chicago: Year

Book Medical Publisher, Inc. 1985.

9. Bond MR.  Pain Ifs Nature, Analysis and Treatment.  2

nd

Ed. Edinburhg-LondonMelbourne-New York: Churchill Livingstone. 1984.

10. Guyton AC.  Fisiologi Kedokteran II. Edisi kelima. (Terjemahan Adji Dharma dan P.

Lukmanto). Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran. 1983.

11. Pertes      RA,      Gross      SG.      Clinical Management    of    Temporomandibular

Disorders  and Orofacial Pain.   Illinois: Quintessence Publishing Co, Inc. 1995.

12. Shankland W. TMJ & facial pain centre. 2005. Available at http://www. drshankland.

com (diakses 10 oktober 2006).

13. Travel JG, Simon DG. Myofascial Pain and Dysfunction, The Trigger Point Manual, Vol

1, The Upper Extremities. Baltimore: Williams & Wilkins 1983.

 

PENUTUPAN CEIAH BIBIR DENGAN METODE MILLARD

Metode Millard pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli bedah yang bernama Millard (1960) Kelebihan utama dan metode ini ialah penempatan parut yang tinggi di bawah dasar hidung dan sepanjang garis filtrum sehingga memperkecil jarak penglihatan bekas jahitan (parut). Hal inilah yang menyebabkan metode ini banyak dipakai oleh para ahli bedah mulut dalam memperbaiki kelainan celah bibir.

 

TENNIK PENUTUPAN CEIAH BIBIR DENGAN METODE MILLARD

Tujuan utama penutupan celah bibir. baik celah bibir unilateral maupun celah bibir bilateral adalah mengembalikan anatomi normal. Arah penutupan celah bibir ini ada 2, yaitu mengembalikan estetika bibir sceara normal dan mengembalikan fungsi dan orbicularis oris

Terdapat bermacam-macam teknik penutupan celah bibir yang dapat dipakai, salah satunya dikenal dengari rotation-advancement repair. Teknik ini pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli bedah yang bernama Millard (1960). Adapun yang menjadi kelebihan dari teknik rotation-advancement repair ini adalah penempatan jahitan sepanjang garis filtrum dan dasar hidung sehingga terlihat Lebih natural

Pada teknik ini dilakukan pemindahan sebagiao daii Jan ngan lateral ke dacrah di bawah columella. schingga equids bow dapat sebanyak- banyaknya dipertahankan Teknik ini terutama digunakan pada celah bibir inkomplit yang lebar dan bibir yang tebal dengan batas mucocutaneous junction yang jelas.’

4,1 Teknik Perawatan

Teknik perawatan celah bibir dengan metode Millard sebagat beñkut :

  1. Menentukari titik tengah dan equids bow, kemudian titik puncak cupid’s bow dan sisi yang lunak
  2. Sebelum melakukan insisi maka dilakukan dulu pembuatan pola gainbar untuk rotasi dari sisi medial dan pola advancerneni dan sisi lateral dengan gentian violet
  3. Dacrah yang akan diincisi pada bibir kita anesiesi secara infiltrasi dengan memakai bahan anestesi Lokal ditambah dengan vaso konstriksi..
  4. insisi sesual dengan pola rotasi pada vermilion, sehingga equids bow akan terotasi kebawah, Insisi dibuat sedikit tegak lurus desigan mucocutaneous junction untuk menjaga kesembangan bibir. Jika ketika peinbuatan pola rotasi, garis berlanjut lurus ke tubercle vermilion tegak lurus dengan insisi pada 90 derajat ke mucocutaneous junction maka jaringan ikat yang pentrng akan hilang.
  5. Incisi lagi sesual dengan pola advancement pada sisi lateral
  6. incisi AB tcrletak pada, philtrume colummnela sedangkan Z plasti dan bagian atas tersembunyi pada lipatan dasar hidung
  7. Melakukan Penjahitan

Jahitan pada kulit tidak boleh terlalu ketat tetapi diharapkan  tepi kulit tidak dapat bergerak untuk menghindarkan parut bekas tusukan jarum setelah penyembuhan. Jahit lapis demi lapis, mukosa dengan mukoa, otot dengan otot. kulit dengan kuIit. Untuk otot dengan benang absorbel. mukosa dan kulit dengan henang non absorbel 3.0, 4.0, 5.0..

  1. Setelah selesai, kemudian luka ditutup dengan kasa yang lunak (selalu dibasahi dcngan larutan ringer/air garam fisiologis) dan kasa diganti setiap hari

Dresing dengan kasa basah ini bertujuan untuk menjaga jahitan tctap bersih dan mencegah terjadinya keropeng dan juga kekeringan dari sekresi hidung. juga depat dipakai dengan tule saja. Akhirnya dilapisi dengan plaster sambil membebaskan ketegangan pipi.

Tangan bayi harus diikat agar tidak bergerak dan tidak menarik serta menghapus luka. Jahitan pada kulit dan mukosa dibuka pada hari ke-5 untuk menghindarkan bekas jahitan. Kalau terlalu lama. maka bekas jahitan akan kelihatan dan kemungkinan terbentuknya parut lebih besar.

 

Keuntunan dari tekrnk ini adalah :

1. Jaringan parut yang terselubung

2 dasar lubang hidung yang terangkat

3. Mengembalikan dasar colummela dalam kedudukan yang benar, terutama di daerah celah

Dapus:

Hoffman, S., Wesser, D.R., Calostypis, f., Simon, B.e., The rotation-advancement technique (millard) as a secondary procedure in cleft lip deformities. http://digital.library.pitt.edu/c/cleftpalate/pdf/e20986v05n1.06.pdf

INTRODUKSI

a. Definisi

Suatu tindakan pembedahan dari labium atau bibir untuk memperbaiki bentuk dan fungsi.

b. Ruang Lingkup

Sumbing bibir unilateral

c. Indikasi Operasi

Untuk memperoleh bentuk wajah secara morfologi yang normal dan fungsi yang optimal untuk perkembangan pertumbuhan gigi geligi, mastikasi, pendengaran, pernapasan serta status psikososial.

d. Kontra Indikasi Operasi

Malnutrisi, anemia, dan kondisi pediatri lainnya yang dapat mengakibatkan pasien tidak mampu mentoleransi anastesia umum. Kelainan jantung yang menyertai harus dinilai terlebih dahulu sebelum dilakukan labioplasti.

e. Diagnosis banding (tidak ada)

f. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah perifer lengkap

Teknik Operasi

Pasien anak-anak perlu pembiusan umum dengan bantuan pipa endotrakeal. Pada pasien dewasa yang cukup kooperatif dapat dilakukan bius setempat.

Untuk meminimalisasi risiko anesthesia, waktu operasi yang optimal adalah setelah bayi berumur 3 bulan dengan berat badan minimal 5 kg.

Posisi pasien sedikit mendongak sehingga dataran yang akan dioperasi tegak lurus dengan garis pandangan mata operator.

Terdapat beberapa metode labioplasti diantaranya : teknik Rose-Thompson, teknik flap quadrangularis, teknik flap triangularis, teknik Millard dan takenik modifikasi Mohler. Namun yang paling umum digunakan adalah teknik Millard yang caranya didasari oleh gerakan memutar dan memajukan (rotation and advancement).

Teknik operasinya yaitu pertama dari sisi lateral, mukosa dikupas dari otot orbikularis oris.Kemudian otot orbikularis oris bagian merah bibir dipisahkan dari sisanya. Kulit dan subkutisdibebaskan dari otot orbikularis oris secara tajam, sampai kira-kira sulkus nasoabialis.Lepaskan mukosa bibir dari rahang pada lekuk pertemuannya, secukupnya. Kemudian otot dibebaskan dari mukosa hingga terbentuk 3 lapis flap : mukosa, otot dan kulit. Lalu pada sisi medial, mukosa dilepaskan dari otot. Dibuat flap C. Kemudian dibuat insisi 2 mm dari pinggir atap lubang hidung, bebaskan kulit dari mukosa dan tulang rawan alae, menggunakan gunting halus melengkung. Letak tulang rawan alae diperbaiki dengan tarikan jahitan yang dipasang ke kulit. Setelah jahitan terpasang, lekuk atap dan lengkung atas atap lubang hidung lebih simetris. Kolumela dengan rangka tulang rawan dan vomer yang miring dari depan ke belakang sulit diperbaiki, sehingga masih miring. Luka di pinggir dalam atap nares dijahit. Kemudian mukosa oral mulai dari kranial, menghubungkan sulkus ginggivo labialis. Jahitan diteruskan ke kaudal sampai ke dekat merah bibir. Setelah itu otot dijahit lapis demi lapis. Jahitan kulit dimulai dari titik yang perlu ditemukan yaitu ujung busur Cupido. Diteruskan ke atas dan ke mukosa bibir. Jaringan kulit atau mukosa yang berlebihan dapat dibuang. Sebaiknya luka operasi ditutup dengan tule yang mengandung bahan pencegah perlenngketan dan kasa lembab selama 1 hari, untuk menyerap rembesan darah/serum yang masih akan keluar. 1 hari sesudahnya baru luka dirawat terbuka dengan pemberian salep antibiotik.

Komplikasi Operasi

· Wound dehiscence paling sering terjadi akibat ketegangan yang berlebih dari tempat operasi

· Wound expansion juga merupakan akibat dari ketegangan yang berlebih. Bila hal ini terjadi, anak dibiarkan berkembang hingga tahap akhir dari rekonstruksi langitan, dimana pada saat tersebut perbaikan jaringan parut dapat dilakukan tanpa membutuhkan anestesi yang terpisah.

· Wound infection merupakan komplikasi yang cukup jarang terjadi karena wajah memiliki pasokan darah yang cukup besar. Hal ini dapat terjadi akibat kontaminasi pascaoperasi, trauma yang tak disengaja dari anak yang aktif dimana sensasi pada bibirnya dapat berkurang pascaoperasi, dan inflamasi lokal yang dapat terjadi akibat simpul yang terbenam.

· Malposisi Premaksilar seperti kemiringan atau retrusion, yang dapat terjadi setelah operasi.

· Whistle deformity merupakan defisiensi vermilion dan mungkin berhubungan dengan retraksi sepanjang garis koreksi bibir. Hal ini dapat dihindari dengan penggunaan total dari segmen lateral otot orbikularis.

· Abnormalitas atau asimetri tebal bibir Hal ini dapat dihindari dengan pengukuran intraoperatif yang tepat dari jarak anatomis yang penting lengkung

Mortalitas

(tidak ada)

Perawatan Pasca bedah

  • Pemberian makanan per-oral : Untuk anak-anak yang mengkonsumsi ASI, dapat terus disusui setelah operasi. Bagi anak-anak yang menggunakan botol, disarankan untuk menggunakan ujung kateter yang lunak selama 10 hari, baru dilanjutkan dengan penggunaan ujung dot yang biasa.
  • Aktivitas : Tidak ada batasan aktivitas tertentu yang perlu dilakukan, namun hendaknya aktivitas perlu diperhatikan untuk meminimalisasi risiko trauma pada luka operasi.
  • Perawatan bibir : Garis jahitan yang terpapar pada dasar hidung dan bibir dapat dibersihkan dengan kapas yang diberi larutan hidrogen peroksida dan salep antibiotika yang diberikan beberapa kali perhari. Jahitan dapat diangkat pada hari ke 5 -7.

Follow – up

Setelah operasi labioplasti, pasien harus dievaluasi secara periodik terutama status kebersihan mulut dan gigi, pendengaran dan kemampuan berbicara, dan juga keadaan psikososial

 

Sakit nonodontogenik

 

 

Frequency of Nonodontogenic Pain after Endodontic

Therapy: A Systematic Review and Meta-Analysis

Donald R. Nixdorf, DDS, MS,*† Estephan J. Moana-Filho, DDS, MS,‡ Alan S. Law, DDS, PhD,§

Lisa A. McGuire, MLIS,k James S. Hodges, PhD,¶ and Mike T. John, DDS, MPH, PhD**

JOE — Volume 36, Number 9, September 2010

Sakit nonodontogenik

sakit gigi, dapat berarti nyeri pada pulpa atau diketahui etiologi periradicular, bukan merupakan satu-satunya alasan untuk rasa sakit yang dapat dirasakan di wilayah dentoalveolar (1). Nonodontogenic terdiri dari berbagai etiologi, menyebabkan seperti nyeri myofascial (2), sakit kepala (3), gangguan neuropatik (4), dan rasa sakit yang berasal dari berbagai kondisi patologis (5). Mengukur frekuensi nyeri nonodontogenic setelah terapi saluran akar merupakan aspek penting bagi dokter gigi dan pasien, sehingga pasien dapat membuat keputusan cerdas dengan mengetahui risiko dan manfaat terkait dengan pengobatan. Menentukan sejauh mana masalah ini adalah langkah pertama menuju tujuan jangka panjang untuk mengurangi kesalahan diagnosa yang sering menyebabkan prosedur gigi ireversibel dalam upaya untuk mengurangi rasa sakit, seperti saluran akar ulang operasi perawatan saluran akar dan pencabutan gigi (6). Beberapa studi telah menyelidiki komponen diagnostik, yang terdaftar sebelumnya, yang terdiri dari grup ini kasus nyeri nonodontogenic dimaksud persen perawatan tersier

sakit Nonodontogenic dentolalveolar seringkali sulit untuk didiagnosis. karena kurang dipahami . Bahkan mendefinisikan dan mengklasifikasikan nyeri persisten ini sulit, tetapi secara konseptual nyeri nonodontogenic di wilayah dentoalveolar timbul dari empat proses yang mungkin: (1) disebut gangguan nyeri muskuloskeletal, gangguan nyeri neuropatik (2), gangguan sakit kepala (3) yang memiliki di daerah dentoalveolar dan (4) suatu proses penyakit di luar daerah langsung dentoalveolar yang mengacu pada rasa sakit di daerah ini, seperti sindrom sakit pada sinus, gangguan kelenjar ludah , tumor otak, angina, kanker tenggorokan dan gangguan pembuluh darah Craniofacial .

Secara teori, perkiraan kami frekuensi nyeri nonodontogenic adalah perkiraan insiden kondisi ini. Dalam prakteknya, karena kondisinya yang sulit untuk mendiagnosis awalnya keliru dalam mengidentifikasi alasan untuk hasil rasa sakit nonodontogenic .Trauma kasus nyeri neuropatik awalnya terus menyakitkan setelah perawatan endodontik atau menjadi lebih sakit, sementara kasus nonodontogenic disebut nyeri dari jaringan jauh, seperti penyakit otot, dan gangguan sakit kepala, mungkin tidak akan cukup diatasi dengan perawatan endodontik. Jumlah klasifikasi tidak diketahui karena untuk pengetahuan kita tentang hasil penelitian tidak dilaporkan.

 

Odontogenik pain Endodontic Topics 2002, 3, 93–105. Building effective strategies

for the management of endodontic pain. KARL KEISER & KENNETH M. HARGREAVES

 

sakit odontogenik

Tahap awal mengobati nyeri pasien endodontik adalah mendiagnosis. Diagnosa harus menjadi titik awal untuk pengobatan rasa sakit, karena kondisi banyak yang bisa meniru rasa sakit odontogenik tetapi tidak selalu membutuhkan perawatan endodontik. Sebuah contoh klasik adalah pasien dengan sakit nyeri tumpul pada gigi posterior rahang atas, jelas diagnosis diferensial harus mempertimbangkan sinusitis sebagai sumber  sakit. Dengan demikian, mengembangkan diagnosis diferensial merupakan langkah awal yang penting dalam strategi untuk pengelolaan nyeri yang efektif.

Meskipun mayoritas pasien yang datang dengan keluhan sakit gigi benar-benar menderita gangguan odontogenik, jelas bahwa hal ini tidak selalu terjadi. Para dokter yang cerdas akan mempertimbangkan alternatif ini pathoses menandai presentasi, gejala dan hasil pemeriksaan klinis karena, tentu saja, strategi pengobatan dan prognosis tergantung pada diagnosis. Biasanya, pasien yang membutuhkan evaluasi endodontik mengalami semacam sakit, pernah mendengar cerita buruk tentang ‘root kanal’. Oleh karena itu, sangat penting bahwa dokter harus tetap objektif dan membuat prosedur diagnostik yang metodis dan konsisten, agar tidak disesatkan oleh kesalahpahaman pasien